Minggu, 23 Juli 2017

Terima Kasih, Tuhan dan Kamu.

Hai, kamu yang di sana!

Sudah siap untuk membaca tulisan ini?
Tulisan ini bukan puisi romantis.
Bukan cerita pendek yang menyentuh.
Bukan pula, quotes kekinian yang akan di-save anak remaja.

Tulisan ini hanya sebagai bentuk rasa syukur dan ungkapan terima kasih.
Dari saya, kepada Tuhan dan kamu.

Untuk Tuhan,
Terima kasih atas segala kesempatan yang Engkau berikan.
KarenaNya, saya dapat merasakan semua hal amazing ini.
KarenaNya, saya dapat mengerti arti dari sebuah keikhlasan.
KarenaNya, saya dapat megetahui, bahwa bersyukur akan membuat kami jauh lebih bahagia.
KarenaNya, saya dapat belajar, bahwa setiap manusia memiliki batas masing-masing.

Terima kasih, Tuhan. Saya sangat bersyukur karena apa-apa yang telah terjadi hingga saat ini.
Especially, hari ini.

Untuk kamu,
Terima kasih telah mengajarkan saya banyak hal.
Tentang arti dari sebuah keluarga.
Tentang arti dari senyum yang mewakili berjuta kalimat.
Tentang arti dari mengalah dalam hidup. Dan arti lain, bahwa mengalah tidak selamanya kalah.
Tentang arti dari perjuangan.
Tentang arti dari jarak dan kepercayaan. Bahwa seharusnya, kepercayaan dan jarak memiliki nilai yang sebanding.

Terima kasih, untuk kesabaran dan ke-pengertian-annya.
Terima kasih untuk setiap senyum yang melelehkan saya.
Terima kasih untuk setiap tawa yang menggetarkan saya.
Terima kasih untuk setiap dekap yang menghangatkan saya.
Terima kasih untuk setiap genggaman yang menguatkan saya.

Sekali lagi,
Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih, kamu.

***
Yogyakarta, 23 Juli 2017 - 22:37 WIB

Senin, 03 Juli 2017

Pantai Sore Itu

Disini, dibawah atap biru, aku berdiri.
Menikmati sejuknya angin dan hangatnya mentari.
Terlihat perahu nelayan yang terparkir rapi diujung dermaga.
Hasil tangkapannya tak terlihat.
Mungkin saja hari itu sedang tidak ada transaksi.
Yang ada hanya, mereka yang melipir untuk sekedar mengabadikan dalam sebuah atau dua buah foto.

Disini, dibawah atap biru, aku berdiri.
Ini bukan pantai, pun pelabuhan besar.
Orang-orang disini menyebutnya, tempat singgah.
Singgah untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.
Singgah untuk sekedar tau, bahwa masih ada angin darat yang tak kalah sejuk dari angin laut.

Disini, dibawah atap biru, aku berdiri.
Ini mungkin bukan tempat yang sama dari tempat kita dulu.
Bukan juga air laut yang sama.
Bukan pula pemandangan yang sama.
Tapi, aku tau.
Ini adalah mentari yang sama seperti ditempat kita dulu.
Indah senja yang sama seperti saat itu.
Harum asin laut yang sama seperti disitu.
Dan rasa yang sama seperti yang kita simpan dilubuk itu.
Karenanya, aku rindu.

***
Lasem, 28 Juni 2017 - 16:56 WIB