Minggu, 08 September 2019

Akhir Cerita Alin


Bila rasaku ini rasamu sanggupkah engkau
Menahan sakitnya terhianati cinta yang kau jaga

Lagu Kerispatih mengalun pelan dari pengeras suara di sudut ruang tunggu. Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu Alin. Brokat biru laut melengkat indah pada tubuh Alin. Rambut yang biasa dikuncir satu, sudah menggerai rapi melewati leher dan pundak Alin yang semampai. Dengan mata bulat yang sudah terpasang softlens, bibir tipisnya sudah terpulas cantik oleh ombre lipstic dan liptint, senyum manis yang selalu terpatri dari sejak ia memasuki ruang tunggu, Alin sempurna.

“Alin? Ini beneran Alin?”
“Asli, lo cantik banget!”
“Sumpah, lo Alin Winata?”
"Nah, gini, dong! Make up!"

Teman sepergengan Alin heboh bukan main dan Alin hanya tertawa-tawa menanggapi teman-temannya.

“Lin, lo mau tunggu di sini aja atau mau keluar dulu cari angin? Gue temenin.” tanya Tasya sambil berbisik, teman terdekat Alin yang sangat mengerti segala kondisi. Tasya tidak ikut heboh dan tertawa meledeki Alin, Tasya tau apa yang sedang berkecamuk didalam diri Alin.

“Gue di sini aja, asal lo juga di sini.”

“Iya, gue akan selalu di sini.”

Semua orang di ruangan tersebut bersorak heboh. Pasalnya, acara sebentar lagi dimulai. Ditengah hiruk pikuk sorak-sorai, Tasya dan Alin saling bertatapan. Tasya dapat melihat getar di mata Alin. Tasya dapat melihat gerak-gerik jari kelingking Alin dikala ia sedang grogi. Orang-orang tersebut berhamburan keluar dari ruang tunggu menuju hall primary, tempat diselenggarakannya akad nikah.
Tasya menggenggam tangan Alin.

Everything will be ok.” ucap Tasya kepada Alin, yang diikuti anggukan kepala dari Alin sebagai jawaban.

MC membuka rangkaian acara. Semua mata tertuju padanya. Tasya beberapa kali melirik Alin, melihat kondisi Alin. Senyum di bibir Alin tidak luntur. Matanya mengikuti hal-hal yang ada didepannya.Pikirannya fokus pada apa yang ia lihat. Tapi, ia tau, tidak dengan hatinya. Hatinya tidak bisa diam. Hatinya berisik, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi dibungkam oleh pemiliknya.

Penghulu memimpin khotbah nikah dan ijab kabul. Semua menahan napas dan air matanya. Termasuk Alin. Alin mendengarkan dengan khusyuk dan khidmat. Semua tamu hadirin bersama-sama mengucapkan kata sah diikuti dengan doa dan suara riuh rendah.

Renata dan Deva resmi menjadi sepasang suami istri.

Tasya menggenggam erat tangan sahabat di sebelahnya. Tangan Alin dingin. Ia tidak akan mengira, bahwa menghadiri dan menyaksikan langsung prosesi pernikahan Renata, sahabat dekatnya semasa kuliah, menjadi istri dari seorang Deva, lelaki yang sudah menemaninya melewati hari selama 5 tahun terakhir. Deva, lelaki satu-satunya yang ia harapkan dan ia doakan untuk menjadi teman seumur hidupnya. Lelaki yang selalu ada disaat susah maupun senangnya. Pun dengan Renata.
Tetapi, Alin lega. Setidaknya, lelaki yang ia cintai jatuh ke tangan yang baik. Mantan pacarnya tersebut didampingi oleh salah satu sahabat terbaiknya. Alin bersyukur karena mereka saling menemukan. Walau ternyata, Alin lah perantaranya.

“Lin, kita ke Vood Kitchen & Bar, yuk? Gue butuh asupan anggur.” ajak Tasya yang sudah lemas menyaksikan semua ini. 

Tasya mengerti, tidak mungkin senyum yang terpampang pada bibir Alin adalah sentrum langsung dari hatinya. Tasya sangat yakin, hati Alin sedang berusaha menyapu serpihan-serpihannya sendiri. Tidak, Alin tidak butuh orang lain untuk membantunya membereskan semua kehancuran yang terjadi didalam hatinya. Alin dapat melakukannya seorang diri. Tasya sangat tau itu.

Tanpa menjawab pertanyaan Tasya, Alin berdiri, bersiap meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang seharusnya menjadi menyenangkan dan mengharukan untuk semua orang. Tapi, tidak dengan Alin. Alin tidak bisa terus bertahan di sini. Alin tidak ingin kedua mempelai melihat air mata yang sudah ia bendung sedari pagi.

Sebelum Alin membalikan badan, matanya bertemu dengan mata Deva. Tatapan mereka mengunci selama beberapa detik. Hingga pada akhirnya, Alin memutuskan untuk membuang pandangan dan menyudahi segala hal yang terjadi. Benar-benar ingin mengakhiri segala yang sudah seharusnya sudah berakhir sejak hari lalu. Deva tersenyum datar. Ia sangat tau apa yang disampaikan Alin dari tatapannya. Deva masih dapat merasakan segalanya, dan ia tidak dapat berbuat lebih. Alin berlalu. Kali ini, ia yang meninggalkannya.

Saat ini, segalanya memang sudah berakhir. Aku harus terus melangkah. Harus.

Ucap Alin dalam hati selepas membalikan badan, keluar dari gedung, ditemani dengan langkah kaki Tasya dan deras air mata yang tiba-tiba turun.



***
Jakarta, 8 September 2019.