Selasa, 21 November 2023

Hello, The New Era!

 It's been a while.

Hello, world! I miss yoUUUU so mUch! Super kangen nulis blog. Kangen my old world (?) WKWKWK iya, aku masih lebay gini. Gak banyak berubah, kecuali orang-orang didalam hidup dan pola pikir.

Dan... mimpi. Iya, my dreams. All of my dreams. Semua berubah. Satu yang tidak, perpustakaan untuk anak jalanan. Tolong doain banget ya, guyss. HEHEHE.

So, how's your world? Covid banyak mengubah kebiasaan-kebiasaan kalian, kah? Overheard di Transjakarta kemarin, "Ternyata covid udah 3 tahun yang lalu. Kita semua survived." Kemudian aku dalam hati kayak, "Anjir, demi apa udah 3 tahun?" Bukan mau bilang cepet, tapi enggak banget, kayak, wow! Aku keren, kita semua keren!

But here we go... Menata kembali semua rencana-rencana yang gagal, merapikan kembali hal-hal yang berantakan. Menguatkan hati lagi untuk tetap berdiri dan percaya kalau kita tetap on our own track

Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun ini. Kalian semua tau, kita semua pun begitu. Banyak hal yang mengubah presepsi dan konsepsi kita dalam melihat dan menjalani hidup. Terutama perjalanan spiritual.

Aku yang tiga tahun lalu tidak akan menyangka sekarang aku ada di titik ini. Di titik yang sedang bergejolak dengan diri sendiri, apakah baik melangkah lebih ke kanan? Atau harus tetap berada di jalur tengah demi bisa merasakan hawa-hawa kekirian? Di titik yang berpikir, mungkin mati muda dapat menjadi salah satu opsi baik yang dapat dipertimbangkan. Bukan berarti aku bersih dari dosa dan tidak takut siksa kubur, bukan sama sekali. Jauh dari itu, aku tau perang yang akan aku hadapi nantinya tidak membuat orang sekitarku terbebani (i think so).

Kita semua pasti punya the lowest point selama tiga tahun ini. Seiring berjalannya waktu, kita semua pun pasti mengalami banyak titik balik. Coba lihat, deh. Bagaimana kondisi diri kamu saat ini? Apakah cukup senang dan tenang? Apakah orang-orang yang bersama kalian masih tetap sama? If the answer is yes, glad for you. Jaga mereka, yaa. Semoga hubungan-hubungan baik selalu menyertai.

Aku enggak tau apa yang mau aku ketik di sini, jujurly, cuma mau ngetik apapun yang ada diotak detik ini juga. By the way, apakah perjalanan kalian selama tiga tahun ini sudah membuat kalian merasa hidup? Sepertinya, banyak juga diantara kita yang membutuhkan pertolongan profesional dalam melanjutkannya, ya? Aku sedang berpikir sepertinya aku butuh. Bukan aku tidak mau, tapi masih dalam perdebatan egoku. Aku masih merasa aku dapat menyelesaikannya sendiri. Aku masih merasa aku harus memperbaiki dialogku dengan Tuhan dan orang-orang sekitarku terlebih dulu, sebelum aku berdialog dengan profesional. Jujur, takut. 

Kalian jangan ikuti ini, ya. Jika kalian butuh, go ahead! Jangan ragu, jangan banyak pertimbangan. 

Guys, keep going, yaa! Please.. I really mean it.


Tertanda,

Aku, the new era of life.



Sabtu, 17 Juli 2021

I Just Love You

Tulisan ini akan menyentuh kamu.
Iya, kamu.
Kamu akan tau kalau ini memang tentang kamu.

Uhmm..
It's been a long time.
Bertukar kabar sudah bukan menjadi rutinitas lagi.
Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menginterpretasikan sebuah perhatian dan pengganti kehadiran.
Tidak ada lagi celetuk-celetuk konyol yang mengisi ruang-ruang kosong.
Tidak ada lagi gossip-gossip hangat yang membuat jiwa tetap saling dekat.
Tidak ada lagi... kamu.

Warna itu kini kembali menjadi hitam dan putih.
Langkah kaki ini menjadi tidak terarah. 
Tidak tau jalan mana yang harus ia tapaki.
Tidak tau angin mana yang harus ia ikuti.
Semua menjadi hampa, kembali.
Tepat seperti sebelum ada kamu di sini.

Sungguh, tidak ada penyesalan.
Rasa yang ada selama ini--bahkan hingga detik ini--menguatkan dalam segala aspek.
Terima kasih sudah memberikan dan menumbuhkan rasa yang begitu candu kepada jiwa kosong yang gelap ini.
Maaf jika ternyata tidak banyak yang dapat diberikan oleh hati dan tangan ini.

Kamu tau,
akan selalu ada lilin padam yang menunggu untuk dinyalakan.
Hanya untuk satu tujuan.
Memberikanmu penerangan untuk melihat langkah yang tepat, 
atau hanya sekedar menemani hari-harimu yang gelap.



Regards, 
Yours.

***
Jakarta, 17 Juli 2021

Minggu, 13 Juni 2021

Katamu Tempo Hari

"Jangan menyerah, ya?"

Katamu saat itu yang aku anggukan.

Sejak saat itu, aku berusaha sebaik mungkin, aku berusaha memberikan apa yang bisa aku berikan. Termasuk duniaku.
Aku bertahan dengan apa-apa yang aku yakini, termasuk perasaanmu dan tindak-tandukmu.

Salahku, memang. Menaruh semua mimpi pada satu hati.
Mempercayakan sepenuhnya untuk sesuatu--yang bahkan--kamu sendiri tidak tegas. Tidak yakin. Hanya bisa berkata, "Aku tidak tau. Aku bingung."
Kalau kamu saja bingung dengan perasaan dan dirimu sendiri, bagaimana dengan aku?

Bodohnya, bagaimana bisa aku masih saja terus berharap dengan semua kegilaan ini?
Bagaimana bisa aku bertahan dengan semua rasa sakit ini?
Dan sampai di titik ini, hal-hal itu masih aku genggam. Dengan harapan--yang ternyata--masih sama.

Aku terus berjalan, tentu saja.
Aku akan berpindah, nantinya.
Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja.
Hanya saja, melangkah dengan tidak terseok-seok dan tidak menangis sesenggukkan itu tidak mudah.


***
Jakarta, 13 Juni 2021

Selasa, 25 Mei 2021

Hal-Hal Baik

Senyum itu perlahan menghilang
Tidak dapat lagi 'ku lihat
Atau hanya sekedar 'ku bayangkan

Genggaman itu terlepas
Menyisakan hangat yang terus menjalar
Atau hanya aku saja yang mencoba agar rasa hangat itu tetap ada?

Kaki itu menjauh
Meninggalkan jejak yang tak mampu 'ku hapuskan
Atau hanya saja, aku yang tak mau?

Sorot mata itu memudar
Tidak lagi memancarkan cahaya yang sama
Atau memang sudah sejak lama dan aku baru menyadarinya?

Tidak apa-apa
Setidaknya semua itu pernah ada
Pernah masuk ke dalam dunia kecilku

Kamu dan hal-hal terbaik yang pernah terjadi kepadaku

Aku dan kamu akan bahagia
dengan atau tanpa kata kita


***
Jakarta, 25 Mei 2021

Sabtu, 27 Februari 2021

Satu Arah Dua Tujuan

 I love you but I am letting go

Berapa lama waktu yang dibutuhkan pikiran dan hati untuk mencerna sebuah kejadian? Mengapa semua terasa begitu lambat?

Ketukan pintu kamar menyadarkan Vira lamunannya. Alih-alih membukakan pintu atau menjawab ketukan, Vira semakin menenggelamkan diri didalam selimut dan membesarkan volume pada earphone-nya.

Little did I know, love is easy, but why was it so hard?

Vira memejamkan mata. Berusaha membangkitkan memori-memori yang seharusnya ia pupuk dalam-dalam. Dipelupuk matanya sudah terbentuk bulir-bulir yang menunggu waktu untuk dapat menyentuh pipi. Lagi-lagi, Vira menangis hingga terlelap.

***

Tok tok tok

"Vir, kamu beneran belum bangun? Vir?" Tok tok tok

"Udah, kok, Ma. Mau tiduran aja."

"Ini udah ada yang nunggu. Kasian loh, pagi-pagi udah dateng ke sini."

Vira langsung loncat dari tempat tidur dan melihat jam dinding. Pukul 8 pagi dan siapa yang berani ganggu Minggu pagi gue? Katanya dalam hati sembari memilih baju yang sedikit layak untuk dilihat orang lain. Sebelum masuk kamar mandi, Vira bertanya sedikit membisik siapa yang datang ke mama. Mama hanya tersenyum dan Vira semakin cemberut. Firasatnya semakin menjadi-jadi. 

Dan ternyata benar, ia yang sedang menunggu di rumah tamu adalah orang yang paling tidak ia harapkan di dunia ini.

"Kita ngobrol di luar aja, ya. Sekalian cari sarapan." Ucap Vira tanpa sapaan pembuka. Alih-alih menjawab, lelaki yang sedari tadi hanya menunduk, langsung berdiri dan dengan sigap mengambil tas dan memakai sepatu. Vira sudah berjalan menjauhi pagar rumah. Langkahnya sangat cepat, tanda bahwa ia sedang marah.

"Vir, kita enggak bisa jalan pelan-pelan, ya? Kita mau ke mana, sih?"

"McDonald's."

"Kenapa jalan kaki, sih? Kan, kita bisa naik motor atau mobil."

Vira hanya diam dan semakin mempercepat langkahnya. Dalam hatinya, Vira takut, jika harus didalam satu ruangan yang hanya mereka berdua. Vira takut pertahanannya melemah.

"Aku yang pesenin aja, Vir. Kamu duduk aja."

"Enggak perlu, gue bisa sendiri."

***

Mata lelaki itu tidak bisa lepas dari kesibukan yang Vira buat-buat. Ada sesuatu yang menusuk di hati lelaki itu, dalam sekali. Ia tidak pernah merasakan sakit yang terlalu, seperti saat ini. Ia mengerti, rasa ini tidak akan sebanding dengan rasa sakit yang telah ia berikan kepada perempuan berambut hitam legam yang sedang dikuncir kuda didepannya ini. Untuk saat ini, yang ia inginkan hanya menaruh tangan kanannya diatas kepala perempuan itu dan mengacak-acak rambutnya, agar Vira tersenyum. Tapi, itu tidak akan bisa ia lakukan.

"Kalau tujuan lo ke sini cuma buat ngeliatin gue doang, mending lo pulang sekarang."

"Aku.. Aku cuma mau minta maaf, Vir."

Vira kembali mengaduk-aduk kopi didepannya, tidak berminat untuk menatap lawan bicaranya, walau ia tau kedua mata yang meneduhkan hatinya itu sedang menatapnya dalam-dalam. Vira takut terhanyut didalamnya. Untuk kesekian kalinya.

"Aku tau semua enggak akan pernah sama lagi. Aku juga tau akan susah buat ambil hati kamu lagi, tapi tolong, maafin aku, Vir."

Vira menahan bibirnya untuk berbicara, lo salah, hati gue masih ada sama lo, jadi enggak ada yang perlu lo ambil, lo salah, katanya dalam hati. Vira tidak akan mengutarakan apapun yang akan membuatnya jatuh ke dalam lubang yang sama lagi. Setidaknya, untuk hari ini dan dalam waktu dekat. 

"Mungkin enggak usah dimaafin sekarang, gapapa. Maafinnya bisa besok atau lusa atau minggu depan, tapi yang jelas, tolong dimaafin, ya, Vir?" 

Ia meraih dagu Vira agar Vira menatap matanya. Dua pasang mata yang sama-sama menyiratkan rasa sayang dan rasa sakit yang bersamaan. Dua pasang mata yang sama-sama tidak ada yang ingin saling mememutuskan tatapan tersebut. Bagi Vira, jatuh ke dalam tatapan mata lelaki didepannya ini adalah hal menyenangkan. Jika ini dalam kondisi baik-baik saja, ia akan sangat senang dengan moment ini, ia akan senyum-senyum sembari menatap lebih dalam lagi. Unfortunately, ini bukan kondisi yang ia inginkan. Dalam waktu yang sengat cepat, ia akan kehilangan tatapan yang ia sukai itu. Cepat atau lambat, tatapan tersebut akan menjadi miliki perempuan lain yang ia tidak pernah tau siapa dan seperti apa. Semoga perempuan itu adalah perempuan yang membuat kamu cukup, katanya didalam hati, untuk beribu kalinya.

"Iya, gue maafin dan akan mencoba ikhlas. Lo gausah khawatir, lo tau kan, untuk soal memaafkan gue sangat cepat, tapi enggak untuk mengikhlaskan dan menerima kembali. Maaf.."

"Aku masih boleh ketemu kamu?"

"Untuk berteman dan bergaul dengan teman-teman yang lain, seperti biasa? Tentu bisa."

Ia menggenggam kedua tangan Vira. Menyimpan tangan kecilnya kedalam tangannya yang besar. 

"Vir, kalau kamu butuh bantuan atau apapun itu, kamu bisa kabarin aku."

"Emang cewek lo gak akan marah?"

"Vir..."

"Iya, okay." Vira menarik kembali tangannya. Hatinya masih membara. Memaafkan memang mudah, tapi mengetahui lelaki yang kamu sayangi bersama perempuan lain? Sulit sekali menerima kenyataan itu.

"Aku pesenin kamu ojek online, ya? Biar kamu enggak usah jalan kaki ke rumah."

"Gausah, gue mau jalan aja."

"Nanti kamu capek."

"Lo udah kenal gue berapa tahun, sih?"

Lelaki tersebut menelan ludah. Ia tau jika Vira memang keras kepala, tapi ia melupakan fakta bahwa Vira menyukai jalan kaki dan menikmati waktu-waktu sendirinya, terutama di kondisi seperti ini.

"Lo aja sana pesen ojek online. Gue tau lo gak bisa jalan kaki terlalu jauh."

"Tapi motor aku di rumah kamu."

"Ya lo pesennya ke rumah gue lah."

"Enggak, aku ikut kamu jalan kaki aja."

Vira menatapnya tajam. Lagi-lagi, lelaki itu sadar, bahwa ia tidak cukup mengenal perempuan yang sangat mengenalnya ini.

"Iya, iya, aku jalannya dibelakang kamu."

"Okay, yuk." Vira berdiri sambil menjulurkan tangannya.

"Dalam rangka apa?" Tanya lelaki tersebut sembari menyusul berdiri dan menyambut uluran tangan Vira.

"Kita berteman?" Vira tersenyum. Tidak lepas memang, tetapi didalam hatinya, seperti ada sesuatu yang lepas. Lega sekali.

Lelaki tersebut balas tersenyum dan mengayunkan jabat tangan mereka, "Iya, teman."

Vira berjalan lebih dulu, ia membiarkan lelaki itu tertinggal dibelakangnya. Ia sudah pernah bilang berkali-kali bahwa ia sangat menyukai jalan kaki dan menikmati waktu-waktu tersebut. Jadi jangan salahkan Vira, jika ia meninggalkan lelaki tersebut. Tapi Vira tau, mata lelaki tersebut tidak pernah lepas dari punggungnya. 

Semoga perempuan itu adalah perempuan yang bisa membuat kamu merasa cukup. Cukup hanya memiliki satu. Semoga perempuan yang beruntung itu bisa menyayangi kamu sebaik aku menyayangi kamu, bahkan lebih dari aku. Semoga kamu tidak akan membuat banyak hati terluka lagi, cukup berhenti di aku, ya? 

Ucap Vira dalam hati dan diikuti dengan tetesan air dari ujung matanya. Vira berjalan dalam derasnya air mata yang mengalir. Ia tersenyum, ternyata rasa sakit yang ia rasakan bisa menemukan rasa lega diantaranya. Langkah mereka mungkin bersisian dan satu arah, tetapi tujuan mereka tidak lagi sama. Setelah ini, Vira akan terus melanjutkan hidupnya, dengan harapan tidak terlalu terseok-seok, dan lelaki tersebut akan pulang ke tempat yang mungkin ia anggap rumah. 

Satu hal yang tidak Vira sampaikan, ia masih menyayangi lelaki tersebut seperti semua baik-baik saja.


But now I'll go
Sit on the floor wearing your clothes
All that I know is I don't know
How to be something you miss
I never thought we'd have a last kiss
Never imagined we'd end like this
Your name, forever the name on my lips

Last Kiss - Taylor Swift


***

Jakarta, 27 Februari 2021

Kamis, 31 Desember 2020

Tiga Rasa Dari Caraka

Aku mau ngobrol. Ketemu, yuk?

1 new message

Minggu pagiku berantakan. Siapa yang tidak panik? Tiba-tiba dapat notifikasi seperti itu dari so-called-boyfriend, huh? Overthinking-ku kumat, kemarin aku habis buat salah apa, ya? Sepertinya, kemarin kami tidak banyak berbicara, bahkan berbalas pesan dapat dihitung dengan jari. Sebaiknya aku balas apa, ya?

Namanya Caraka. Aku lebih suka panggil Caka, berbeda dengan panggilan teman-temannya, Raka. Sudah hampir satu bulan hubungan kami, hmmm, hambar? Aku tidak pandai dalam mendeskripsikan rasa dalam hubungan ini. Hanya dua rasa yang aku benar-benar tau. Rasa senang, ketika kami sedang melakukan aktivitas bersama atau ketika dia mengajakku untuk menemaninya hunting foto. Rasa sedih, ketika acara kami batal atau ketika dia tidak jadi menjemputku di tempat kursus. Karena itu, dalam satu bulan ini, aku tidak paham rasa apa yang ada dalam hubungan ini. Ini rasa baru bagiku. Tidak bagi Caka. Aku mengerti itu. Ah, betul juga, ia hanya minta ketemu untuk ngobrol seperti biasa, bukan? Aku harus mengerti.

First Crack Coffee, pukul 2 siang. Aku tunggu di sana, Elina.

Overthinking-ku yang kedua; Caka memanggilku menggunakan nama panggilan lengkap, tidak seperti biasanya yang hanya "El" atau "Na". Okay, kalian sudah boleh mengumpat kepadaku sekarang. Karena aku pun sedang benci diriku sendiri di saat-saat seperti ini. Sepertinya aku tetap harus mandi dengan aroma cokelat dan luluran, dengan ditemani relaxing piano music, seperti biasa. Kegiatan relaxation shower-ku hanya terjadi di setiap hari Minggu pagi, tujuan awalnya hanya untuk menenangkan diri setelah 6 hari bekerja keras. Semua keluarga dan teman dekatku tau bahwa aku paling benci diganggu Minggu pagi. Karena selain relaxation shower, agenda relaksasi lainnya yaitu membuat sarapan sendiri, sesuai mood tentunya. Hari ini sudah aku rencanakan untuk membuat sandwich isi telur dan keju, juga jus mangga sebagai pendampingnya. Tetap. Harus. Aku. Lakukan. 

Caka seharusnya tau bahwa mengganggu Minggu pagiku akan berakibat fatal selama 24 jam kedepan. Aku tau ada yang tidak beres dengan Caka dan pesannya. Aku hanya berusaha menumbuhkan positive vibes untuk diriku sendiri. Ah, dan satu lagi yang aku yakin tidak beres adalah tempat bertemu! Sejak kapan Caka mau ke daerah Kebayoran Baru di hari Sabtu dan Minggu?

***

"Maaf, ya, terlalu jauh dari rumah kamu." Sapaan Caka ketika aku menjatuhkan diri ke bangku sofa didepannya. Pilihan meja Caka memang tidak pernah salah. Bangku sofa untuk dua orang di pojok ruangan dengan cahaya yang cukup untuk membaca buku dan sudut pemandangan yang cukup untuk memanjakan mata.

"Gapapa, kok. Tumben banget, ada apa?"

"Kamu enggak mau pesan sesuatu dulu? Aku sudah pesankan kamu Coffee Latte, sih, tapi siapa tau kamu ingin yang lain?"

Aku balas dengan mengerutkan kening. Tidak biasanya Caka berbasa-basi seperti ini. Dia tau aku mengerti keadaan ini, maka dia menutup mulut dan kembali terhanyut ke dalam lamunannya sembari mengaduk-aduk cangkir kopi hitam yang tinggal setengah.

"Ada apa, Caka? Kamu tau aku akan selalu mengerti, bukan?" 

Caka mengehela nafas. Seharusnya ia tau aku tidak akan diam sampai ia berbicara, tapi kali ini aku kehabisan energi. Entah sejak kapan, berhadapan dengan Caka memakan banyak energiku. Tanpa sadar, aku lelah dengan apa yang kami jalani. Aku hanya mencoba untuk denial selama yang aku mampu. Tapi, tidak untuk sekarang, biarkan saja mengalir seperti seharusnya.

"Kita tidak bisa seperti ini terus, El. Aku tidak bisa."

"Kenapa? Ada apa? Ada yang salah dariku? Atau dari hubungan ini?"

"Kamu tidak salah, tidak ada yang salah. Aku saja yang tidak lagi bisa 'ada' didalam hubungan ini."

"Tapi, kenapa?" Aku tidak boleh terisak sekarang. Ini masih terlalu dini.

"Aku sudah tidak menumbuhkan api dan menaruh nyawa didalam hubungan ini. Aku masih haus. Aku belum merasa 'cukup'." Caka memajukan badan, kedua tangannya meraih tanganku yang sedang bertaut. Pramusaji menginterupsi kami. Setidaknya, aku punya waktu beberapa detik untuk menikmati tangannya yang menggenggam kedua tanganku, dalam diam.

"El, aku sudah tidak bisa menjalankan hubungan ini lagi. Hubungan ini terlalu baik dan terlalu nyaman untukku. Kamu tau aku tidak bisa menetap lama di satu tempat, bukan?"

"Aku tau. Aku juga tau kamu tidak akan pernah cukup hanya dengan aku didalamnya. Belum merasa cukup."

"Maaf, El.."

"Iya, aku tau kamu tidak bermaksud, kok, aku mengerti. Jiwa kamu memang belum sepenuhnya ingin bersamaku. Aku mengerti, Caka."

"Maaf karena ternyata aku membuatmu merasakan sakit. Maaf karena sudah tidak tegas dalam hubungan ini. Maaf juga aku tidak bisa menemanimu menghabiskan sore, menemanimu membaca buku sampai mengabiskan tiga cangkir kopi. Tidak bisa lagi mengajarimu melukis, mengajarimu membuat dessert yang lucu-lucu. Maaf.."

Aku tertawa kecil mendengar Caka berbicara. Ah, betul juga, sudah banyak hal yang kami lewati selama dua tahun ini. Aku rasa, ini rekor untuknya yang menetap cukup lama pada satu orang dan menghabiskan hari dengan manusia membosankan sepertiku.

"Tidak apa-apa Caka. Aku mengerti. Aku seharusnya lebih siap untuk perpisahan ini, aku seharusnya sudah tau ke mana ujung dari hubungan ini. Aku hanya tidak menyangka hanya sampai di bulan ini, tepat tahun kedua kita bersama."

"Kamu tau, kamu yang terhebat karena bisa membuatku sejauh ini. Terima kasih banyak, Elina."

"Aku mengerti. Tidak usah ucapkan kata perpisahan atau semacamnya. Itu hanya membuatku semakin berat hati."

"Iya, terima kasih sudah mau menemaniku sampai di titik ini, El."

"Terima kasih juga sudah bertahan denganku selama ini, Caraka."

"Aku boleh peluk kamu untuk yang terakhir?"

Aku merentangkan tangan. Memeluknya untuk yang terakhir ternyata tidak sesulit itu. Mungkin yang sulit adalah menerima rasa baru yang hadir dalam diriku. Rasa sakit. Ternyata, Caraka menorehkan rasa baru. Rasa yang seharusnya sudah aku persiapkan, tetapi ternyata tidak akan pernah siap.

Seperti arti namanya, pengembara, Caraka akan selalu mengembara sampai ia merasa lelah. Caraka tidak akan diam di satu titik. Ia akan terus berpindah, entah kapan ia merasa lelah. Satu hal yang tidak aku mengerti dari Caraka, yaa hanya itu. Kenapa ia tidak pernah merasa lelah dalam mencari?

Aku tidak mengerti.

Tetapi tak apa, aku merasa cukup bersyukur dengan kehangatan hubungan ini walau sebentar.

Karena sudah pasti, ada hal yang tidak akan ia mengerti juga. Ia tidak akan mengerti sehebat apa rasa yang sudah ia berikan untuk perempuan biasa saja sepertiku. Ia tidak akan mengerti sekuat apa perasaan ini untuknya. Bahkan jika ia memintaku untuk menunggunya suatu hari nanti, aku akan siap. Ia tidak akan mengerti itu.

Tak apa. Aku rasa aku cukup kuat untuk semua ini.

***

Jakarta, 31 Desember 2020.

Penutup tahun yang sedikit berat dan menguras emosi. Terima kasih atas pelajaran hidupnya, 2020!

Minggu, 05 Juli 2020

Tulisan Untuk Diri Sendiri

"Kita tidak akan pernah bisa memuaskan ekspektasi setiap orang."

"Kita tidak akan pernah bisa membuat semua orang senang."

"Banyak hal terjadi diluar kontrol kita."

Tidak, kamu tidak salah.
Semua hal yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Bukan salahmu.
Semua rasa yang tertuang memang sudah seharusnya ada. Bukan salahmu.

Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja. Mungkin memang tidak sekarang, tapi nanti.
Nanti pasti baik-baik saja. Seperti sebelum dia ada.
Kamu hanya perlu bersabar sedikit lagi.
Kamu hanya perlu berjuang lebih lagi.

Kalau memang mimpi itu tidak untuk menjadi nyata,
Kalau memang dia pun tidak untuk menjadi ada,
Tidak apa-apa. 
Mungkin memang bukan di sana jalan yang sudah semesta gariskan untukmu.
Mungkin memang kamu perlu berganti arah untuk merasa hidup, merasa utuh.

Setiap kaki memiliki langkahnya sendiri.
Belum saatnya untuk menyerah.
Berhenti sebentar boleh, untuk sedikit merasakan semua yang sudah terjadi, untuk menarik napas dan mengumpulkan keberanian dan tenaga agar semakin kuat.
Berhenti saja, sebentar, dan lihat sekelilingmu. Kamu dikelilingi mereka yang siap menjadi tangan untuk kamu genggam dan menjadi bahu untuk kamu bersandar sebentar.
Kamu mungkin tidak bisa membuat mereka senang sepenuhnya.
Kamu mungkin tidak akan bisa memenuhi semua ekspektasi mereka seluruhnya.
Tapi kamu pasti bisa menjadi baik. Demi diri kamu sendiri.

Apapun yang akan terjadi nantinya, 
Percaya saja, ia yang memang untukmu tidak akan pergi darimu.
Percaya saja, mimpi yang sudah ditakdirkan untukmu, tidak akan mengecewakan.


***
Jakarta, 5 Juli 2020