Sabtu, 15 Oktober 2016

Sepucuk Surat Itu

Pagi ini aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Yang aku lakukan pertama adalah mencari dimana handphoneku dan melihat waktu. Ternyata pukul 08.00 pagi dan hari Minggu. Kupikir, ini hari Senin dan aku terlambat. Kantor baruku sangat menyiksa. Tidak hanya lokasinya yang berada dikawasan macet, tetapi juga jam masuk kantor yang sangat on time dan sistem yang tertib. Adaptasi memang tidak pernah mudah, ya.

Tadi malam, sepertinya aku jatuh tertidur ketika sedang menonton film Refrain untuk kesekian ribu kali. Laptop disampingku pun sepertinya telah kehabisan baterai. Cangkir kopi, remahan biskuit, serta sampah tisu masih berserakan didekat laptopku. Entah ini malam keberapa yang aku habiskan hanya untuk menonton film. Iya, aku tau, tidak hanya menonton film, memang. Sebelumnya, ada ritual flashback yang dilanjut dengan curhat ke Vio, dan berujung pada nangis menye-menye. Iya, aku memang selemah itu kalau menyangkut masalah Ren. Dan film Refrain lah yang membuat semuanya memuncak dan semakin nangis menjadi-jadi hingga capek dan tertidur. Semua ‘rutinitas lucu malam’ itu mungkin telah terjadi selama hampir 3 bulan. Tidak setiap malam kok, hanya setiap malam ‘yang besoknya libur’.

Terkadang, penyebab flashback bukan karena tiba-tiba oknum tersebut ada di timeline sosmed kita, tetapi bisa juga karena barang-barang darinya, atau kita sedang melewati tempat yang bersejarah dengannya, atau bisa saja melihat makanan kesukaannya, atau bisa jadi hanya karena melihat barang yang mirip dengan barang favoritnya. Tetapi, yang terjadi denganku tadi malam bukan ketiganya. Aku membaca ulang sebuah surat yang pernah aku tulis untuknya. Surat itu aku buat tepat dihari jadi kami yang kelima tahun (seharusnya) dan hari itu tepat 6 bulan ia pergi. Aku menghitungnya. Semua yang berhubungan dengannya pasti kuingat. Kapan pertama kali kami bertemu. Kapan pertama kali kami saling bertukar nomer handphone. Kapan first date kami. Kapan dinner pertama kami sejak resmi berstatus. Kapan, kapan, dan kapan lainnya. Termasuk kapan ia mulai berusaha melangkahkan kaki menuju tujuan yang tak sama lagi. Aku mengingatnya.

Sore ini udara diluar sangat sejuk. Ari, saudara kembarku, mengajakku pergi ke salah satu cafe rooftop dibilangan Kemang. Sepertinya ia tau kalau aku sedang tidak beres. Aku selalu suka caranya menghiburku, yaitu dengan mengajakku pergi dan tidak bertanya apapun. Ari selalu tau bagaimana memperlakukanku dengan amat baik. Ari adalah pahlawan keduaku setelah papa. Dan, Ren adalah pahlawan ketiga. Dulu. Sekarang, bagiku, dua pahlawan itu saja cukup. Bahkan lebih dari cukup.

Sebelum pergi, aku melihat surat itu kembali. Ujung surat yang berwarna orange itu muncul dibalik novel Refrain yang aku taruh diatas meja belajar. Aku membacanya kembali. Dan bodohnya, suara sesenggukanku terdengar hinggan kamar Ari. Ya, memang, sih, kamarnya ada disebelah kamarku, tapi kenapa bisa sekencang itu? Atau pendengaran Ari yang tajam? Karena tidak lama kemudian, Ari mengetuk pintu dan langsung masuk tanpa aku bukakan. Ia memelukku. Ia hanya diam sambil mengusap rambutku. Setelah itu kami masuk ke mobil dan pergi. Sepanjang jalan, Ari berceloteh tentang segala hal. Apapun yang bisa membuatku tertawa. Sepanjang sore hingga malam, hanya itu yang ia lakukan. Ketika kami sampai di rumah kembali, sebelum kami masuk ke kamar masing-masing, Ari mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun dan sepertinya memang harus dilakukan. Aku membacanya sekali lagi, memfotonya, meng-insert foto tersebut ke tulisan ini dan merobek surat itu. Iya, aku memang melakukan seperti apa yang Ari katakan, tetapi aku juga butuh sesuatu untuk aku kenang kembali nantinya. Kalau-kalau saja suatu hari nanti aku benar-benar melupakannya. Ini akan menjadi cerita yang magis ketika dibaca.


“Abis ini suratnya harus lo buang, ya, Ra? Ini harus jadi malam terakhir lo ngenang dia dari surat itu. Gue Cuma minta dari surat itu kok. Karena gue tau, mengenang seseorang itu gak hanya dari satu objek. Night, Ra!”

***


Halo, Ren! Apa kabar? Sepertinya, kabarmu akan selalu baik, ya?

Selamat hari jadi kelima tahun, ya, Ren! Iya, harusnya, sih. Tidak apa-apa, selama kamu baik-baik saja, aku pun begitu.

Setahun yang lalu aku berjanji mengajakmu ke pantai karena kamu ingin melihat senja pada saat hari jadi kita. Kamu ingat? Dan aku menepati janjiku, Ren. Aku ke pantai hari ini, bersamamu. Bukan fisikmu, tetapi serpihan hatimu yang masih berserakan dihatiku. Aku juga membawa memori-memori kita ke pantai ini. Setidaknya, ada mereka yang mewakilimu untuk menepati janjiku.

Ren, ketika hari itu aku melihat punggungmu yang menjauhiku, aku sadar sesuatu. Kamu tidak akan pernah berbalik lagi. Semuanya terlihat dari punggung itu, Ren. Punggungmu memperlihatkan langkah tegas dan mantapmu. Memperlihatkan juga bahwa kamu sudah sangat siap berjalan kearah yang kamu tuju itu. Dan arah itu bukan lagi jalan yang sama denganku.

Ren, aku bahkan tidak berani menanyakan kenapa kamu berganti arah. Aku terlalu takut mendengar jawaban yang akan keluar dari mulutmu. Terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, bahwa tidak akan ada kamu lagi disampingku, yang menemaniku berjalan. Bukan berarti aku tidak berani atau tidak sanggup berjalan sendiri, Ren. Hanya saja, membiasakan diri menjalani arah itu sendiri akan sangat sulit. Kamu sudah terlalu lama menemaniku berjalan, Ren. Wajar, bukan, jika itu sulit?

Ren, pada akhirnya aku pun berganti arah berjalan. Tidak sulit, hanya butuh sedikit kekuatan dan menguras sedikit pikiran. Aku sangat sanggup. Itu yang aku pikirkan. Aku menganggap semuanya mudah dan aku bisa. Memang, pada akhirnya aku berhasil. Tetapi, ternyata, tidak sedikit kekuatan yang aku keluarkan, tidak sedikit pikiran yang terkuras, dan tidak sedikit yang aku korbankan. Adaptasi selalu sulit bagiku. Dan kamu selalu tau itu.

Ren, pasir pantai didepanku membentuk jejak-jejak kaki yang menjauhi arahku berdiri. Sepertinya, sebelumku, ada seseorang yang berjalan dan menimbulkan jejak. Semua orang yang berjalan pasti meninggalkan jejak. Benar begitu, Ren? Termasuk kamu. Kamu menimbulkan jejak yang mendalam bagiku. Jejak yang selalu ingin kuikuti. Jejak yang selalu kurindukan.

Ren, andai jejakmu seperti jejak pasir itu. Jika terkena ombak laut akan menghilang begitu saja. Tetapi, sayangnya, tidak, Ren. Aku tidak punya ombak laut atau sejenisnya yang dapat menghapus jejakmu begitu saja. Bahkan, sekalipun aku punya, aku tidak akan bisa melakukannya.

Ren, jika memang arah yang kamu tuju sudah tidak sama denganku dan pulangmu bukan lagi aku, semoga kamu benar-benar menemukannya. Menemukan apa yang kamu tuju dan pulangmu yang sebenarnya, maksudku. Aku tidak berjanji untuk terus bisa berada dibelakangmu untuk mendukungmu. Aku pun tidak akan berjanji untuk bersedia menjadi pulangmu lagi, jika memang itu aku. Aku tidak akan dan tidak ingin berjanji, Ren.

Karena bagiku, semua yang pergi, tidak akan penah sama jika ia kembali lagi.

Karena bagiku, jika ia bersungguh-sungguh, ia tidak akan pergi.

Doakan aku menemukan semuanya, seperti apa yang kamu lakukan, Ren!

I will miss you, Rendi Putra Wijaya.

- Ara Syantika, Jakarta, 7 September 2016, 23.48 -

***

22.52 - 15 Oktober 2016