Kamis, 22 Januari 2015

Sepahit Kopi Hitam

Pahit kopi hitam sore itu menamparku akan realita hidup.

Hembusan angin sore menusuk tajam permukaan kulit seolah-olah ingin menyadarkanku dari alam bawah sadarku.

Kutengguk kembali kopi didalam gelas itu.

Rasa pahit dan panas membasahi tenggorokanku. Membuat jantungku berdetak lebih cepat. Adrenalinku terpacu, tetapi  malah membuatku  merasa lebih tenang.

Aku tidak tahu bagaimana cara roda hidup berputar. Aku pun tidak mengerti bagaimana alam selalu tahu isi kepala kami—para yang hidup. Dan aku tidak bisa tidak peduli akan kemisteriusan semesta bekerja dan memengaruhi hari-hari setiap yang bernapas.

Aku merasa tidak adil. Tidak adil akan keadilan yang entah nyata atau maya di dunia ini.

Bagaimana bisa kesejahteraan dan kesengsaraan tidak mempunyai porsi yang sama pada dunia, yang usut punya usut, ada keadilan didalamnya.

Bagaimana bisa kecurangan dan kelicikan lebih mengusai dan memenangkan pertarungan hidup dibandingkan dengan kelurusan dan kejujuran yang seharunya menjadi moral utama.

Bagaimana bisa kecantikan dan ketampanan menjadi lebih berat timbangannya dari pada kesopanan dan kesantunan.

Tidakkah seharusnya keadilan membuat segala timbangan menjadi seimbang?

Hidup memang pahit.

Sepahit kopi hitam soreku.

Walaupun aku tahu, sepahit apapun kopi hitam, kita masih tetap menikmatinya.

Dan aku mencoba belajar untuk menikmati hidup dari secangkir kopi hitam.

Walau tetap, ketidakadilan yang merajalela.


17.50 - 22 Januari 2015

Sabtu, 10 Januari 2015

Novel Ally: All These Lives

Ally: All These Lives


     Kita tidak akan pernah tahu apa yang ada terjadi di dalam hidup kita.
Itu adalah satu kalimat yang ada dipikiranku setelah membaca dua bab pertama dari novel karya Arleen ini. Novel yang meceritakan tentang seorang perempuan yang memiliki hidup yang sangat unik dan penuh dengan misteri yang harus ia cari tahu dan selesaikan. Perempuan itu bernama Ally, seperti yang tertulis pada judul di cover buku. 

     Kejadian unik yang terjadi dalam hidupnya dimulai saat ia berusia sepuluh tahun. Saat ia sedang di dapur sambil bercerita kepada mamanya tentang ulangan matematikanya, dan mamanya sedang membuat kue cokelat, Ally mengalami suatu hal yang merubah segala hidupnya, termasuk memorinya.

     Ini bukan kisah klasik tentang hilang ingatan. Menurutku, kisah hidup Ally ini cukup rumit untuk aku pahami. Tidak sekedar hilang ingatan, tetapi juga seperti mengalami kejadian yang sama di masa yang berbeda. Bukan, bukan de javu. Apa ya? Aku sendiri pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Ally.

     Novel ini membuat sisi penasaran para pembacanya tergelitik dengan cara yang berbeda. Jalan cerita yang awalnya terlihat sederhana tetapi ternyata sangat tidak bisa ditebak. Gaya penulisan yang terlihat seperti novel terjemahan. Dan detail disetiap isinya benar-benar bagus. Novel ini benar-benar sukses membuatku sangat penasaran dengan ending ceritanya. Aku harus membaca novel ini sampai selesai, dan begitu pula kalian! Penasaran?

Sabtu, 03 Januari 2015

Cinta tak Bersatu


Bait terakhir lirik lagu Sepatu dari Tulus itu masih berdengung didalam kepala Arla. Baru selangkah Arla meninggalkan cafe itu, ia teringat akan pesan singkat yang masuk tepat ketika ia akan mematikan laptop dan bait terakhir itu berdendang. Pesan singkat yang membuat kepalanya terasa berputar dan hampir menjatuhkan handphone dari tangannya.

Valen: Bisa kita bertemu, La?

Hingga Arla berbaring di kasur, pesan itu belum terbalaskan. Bukan, Arla bukan tidak ingin membalas pesan itu, tetapi untuk apa? Untuk apa ia membalas pesan yang hanya membuatnya berharap? Untuk apa membalas pesan yang hanya akan membuatnya kecewa? Dan untuk apa Arla membalas pesan yang nantinya juga tidak akan terbalas kembali? Hal-hal seperti itu lah yang selalu membayangi benak Arla sejak Valen memilih 
meninggalkannya setelah memberikan banyak harapan kepadanya.

Kamu tau ketakutanku saat ini, Val? Aku takut kecewa untuk kedua kalinya.

<<< 

*lima tahun sebelumnya*

Pagi itu burung-burung berkicau seperti mengetuk jendela. Secercah cahaya masuk melalui cela-cela gorden. Arla bangun karena silau cahaya menyentuh lembut matanya, dan begitu melihat jam di meja tidurnya, matanya melotot dan buru-buru mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi.

Dret dret dret

Dret dret dret

Tangan kiri Arla mengobrak-abrik tempat tidur tetapi mata dan tangan kanannya fokus pada makanan di piringnya. Ia bisa pingsan kalau tidak sarapan, seburu-buru dan segenting apa keadaan pagi itu, ia harus tetap sarapan.

2 New Messages

Agnes: Lo enggak kesiangankan, La? Gue udah sama Dio nih.

Dio: Eh, kampret, lo dimana? Kita bisa telat nih presentasinya.

Iya, pagi ini Arla ada presentasi mata kuliah jam pertama, untung saja semua file sudah ia siapkan tadi malam. Arla membereskan sarapannya, kemudian merapikan barang bawaannya dan bergegas turun ke lantai bawah untuk pamitan dengan kedua adiknya yang pasti sedang sarapan.

“Kakak berangkat dulu ya, Alan, Alya. Bilang Pak Kodir, bawa mobilnya hati-hati.” Arla menciumi rambut kedua adiknya.

“Mama sama Papa enggak pulang lagi ya, Kak?” Tanya Alya, adik terkecilnya, dengan polos.

“Enggak sepertinya. Nanti Kakak telpon deh, ya. Bye, guys.” Jawab Arla sambil lalu. Ia selalu malas kalau salah satu adiknya sudah menanyakan mengenai orang tua  mereka pulang atau tidak, karena Arla tau kalau mereka hanya ingin mengonfirmasi pertanyaan yang jawabannya mereka sudah tau sendiri.

“Hai, guys! Sorry telat.” Sapa Arla begitu ia sampai di depan kelas.

“Gila lo, La. Lima menit lagi giliran kita dan lo baru sampai? Bagus! Untung lo pinter.” Saut 
Dio dengan wajah ditekuk dan mulut berkerucut.

Agnes dan Dio adalah teman dekat Arla sejak SMP. Mereka adalah satu-satunya teman yang bisa bertahan sangat lama dengan Arla. Arla bukan tipe yang gampang bergaul dan mendapat teman. Ia memang pintar, jago basket dan menulis, punya rambut cokelat tua alami yang membuat perempuan-perempuan lainnya menatap iri, tetapi itu semua tidak menjamin ia mendapatkan banyak teman. Dan akibat susah bergaul ini pula yang menyebabkan Arla belum pernah berpacaran dan selalu gagal di langkah terakhir dengan para calon pacarnya. Walau banyak yang mendekatinya dan berusaha menjadi pacarnya –walau akhirnya gagal, hanya ada satu nama sejak SMA yang bertengger paling atas di hatinya. Namanya Valen Adriantino.

“Eh kemana kita pulang ini? Temenin nyalon yuk? ” Tanya Agnes dengan wajah suntuk karena kena semprot seharian dari para dosen.

“Lo ngajak gue nih, Nes? Yakali lo ngajak cowok se-charming gue nyalon?” Dio meledek Agnes sambil menjambak rambutnya yang sudah tidak karuan.

“Gue enggak bisa, Nes, sorry. Udah ada janji sama Valen mau ke kwitang.” Timpal Arla sambil mengaduk-aduk tasnya, mencari benda sakral yang tadi ia masukkan asal kedalam tas saat di toilet, kacamata.

“Apa?! Lo masih berhubungan sama monyet yang satu itu?” Teriak Agnes seketika hingga membuat Dio dan Arla refleks menutup telinga, dan orang-orang disekitar menengok kearahnya.

“Eh, sorry, gila lo, La, ngapain lo masih jalan sama dia?” Kata Agnes dengan suara yang lebih kecil.

“Iya, La, bukannya kemarin lo udah liat sendiri ya kalau dia jalan sama cewek lain, mesra lagi.” Timpal Dio sambil menggiring dua perempuan itu duduk di salah satu meja kantin.

“Ya terus kenapa? Gue pacarnya aja bukan, punya alasan apa gue buat marah dan ngejauhin dia? Gue sama dia kan cuma temenan.” Tutur Arla dengan lebih pelan, takut ada yang nguping.

“Ah basi lo, La, temenan macam apa kalau salah satunya nyimpen perasaan.” Sindir Dio sambil melirik tajam kearah Arla.

“Udah lah. Gue duluan ya, udah ditungguin.” Arla sambil berdiri dan pergi meninggalkan meja mereka.

Sepanjang jalan dari kantin ke tempat parkiran, Arla memikirkan perkataan Dio. Apakah 
dirinya benar-benar memiliki perasaan kepada Valen?

Memangnya salah ya kalau berteman tetapi menyimpan rasa? Batinnya.

“Hai, La! Kok bengong sih jalannya?”  Arla melonjak dan hampir kesandung kebelakang kalau tidak cepat-cepat Valen memegang tangannya. Arla tersenyum kikuk karena jarak kedua wajah mereka terlalu dekat.

Sore itu Valen menggunankan kaos polo putih dengan celana jeans dan sepatu Nike kesayangannya. Serasi sekali dengan Arla yang menggunakan baju you-can-see putih dan rok marun dibawah lutut dengan sepatu cats hitam kesayangannya. Memang agak salah kostum sih kalau tujuannya ingin ke kwitang.

“Kita beneran ke kwitang nih, Val?” Arla membuka pembicaraan ketika mereka sudah didalam mobil.

“Dengan pakaian lo yang kayak gini? Ya enggak lah, cantik. Sayang-sayang kali penampilan lo kayak gini malah gue bawa ke kwitang.” Saut Valen dengan wajah yang sesekali menengok kearah Arla.

“Haha bisa aja lo,” Arla tersipu, “Terus kita mau kemana?”.

“Makan aja yuk. Sekalian gue mau cari sepatu di Kuningan City”

***

“La, sebenernya lo sama Valen tuh kayak gimana sih?” Agnes bertanya tiba-tiba disela-sela ngopi sore mereka, dengan Dio juga tentunya.

“Kayak gimana apa? Ya kita temenan.” Suara Arla yang terdengar tenang, walau sebenarnya jantungnya berdetak kencang dan hatinya bertanya-tanya mengenai ia dan Valen. Bukan status, tapi perasaan. Ia bertanya-tanya seperti apa perasaan sebenarnya ke Valen, begitu pula sebaliknya.

“Ya lo berdua, temenan pakai sayang-sayangan, peluk-pelukan, good night-good nightan, ke puncak berdua, ke bali berdua, lebih sering makan malam berdua dari pada sama temen-temen, ngegym berdua, temenan macam apa!” Ledek Dio dengan melempar bantal kecil kearah Arla dan membuatnya terkekeh.

“Tolong diralat ya, Dio.  yang pakai sayang-sayangan itu hanya Valen. Gue enggak ikutan ngomong.” Jawab Arla geli mendengar perkataan-perkataan kedua temannya. Jauh didalam pikirannya, Arla secara sengaja memutar semua memorinya dengan Valen tepat dibagian Valen memanggilnya dengan sapaan Sayang. Semua terasa indah tanpa celah sedikit pun.

“La, lo tuh cantik, pinter, rambut pirang, suara tenang, yaa walau kadang keteledoran dan kengaretan lo yang gak banget itu merusak semuanya, tapi that’s all right, La. Masih banyak ikan di laut yang bersedia lo tangkep.” Lanjut Agnes dengan suara serius dan diikutin lemparan bantal kecil dari Dio dengan muka mesemnya.

“Tapi, enggak ada ikan yang kayak Valen, Nes.”

“Lo berdua, sekali lagi pakai kata ikan, gue minggat.” Dan pecah lah suara tawa dari Arla dan Agnes.

“Jadi, ceritain dong gimana kemarin lo jalan sama dia, awkward gak?” Pertanyaan dari Agnes langsung membuat Arla menerawang kekejadian kemarin sore, disaat semuanya terasa masih indah diawal bertemu dan tiba-tiba menjadi pahit saat pulang.

Sore itu, setelah selesai Arla dan Valen berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mencari sepatu yang pas untuk Valen, mereka memutuskan untuk duduk di salah satu cafe favorit mereka.

“Lo kopi yang biasakan, La?”

“Iya, Val, tolong ya, makasih.” Jawab Arla dengan senyum yang tak kalah indahnya dari semburat senja sore itu.

“Apa rencana lo selesai kuliah, La?” Tanya Valen sambil menatap mata Arla.

“Cari kerja dulu.” Arla membalas tatapan mata Valen, dalam. Seandainya Valen tau, bahwa Arla sangat menyukai hal kecil seperti ini, saling tatap disetp obrolan santai mereka.

“Kenapa enggak cari beasiswa keluar kayak kakak lo?”

“Kasihan nanti adik-adik gue gak ada temannya di rumah.” Lanjut Arla, tapi kali ini dengan memalingkan wajahnya kearah kaca luar cafe yang menyajikan pemandangan kota jakarta dari ketinggian di sore hari.

“Ah, ya, um sorry, La.”

“It’s okay. Lo sendiri?”

“Gue mau lanjut ke Jepang, La. Nyokap nyuruh gue buat sekolah dan kerja disana, dan pulang setelah mapan buat menikah dan menlanjutkan bisnis bokap.” Valen menghela napasnya yang terdengar berat. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan.

“Kenapa, Val? Bilang aja.” Arla bisa membaca helaan napas Valen. Dan tanp disadari, tangan Arla dingin dan ia mulai merasakan kakinya bergerak-gerak tidak tenang.

“Nyokap minta gue buat..” Valen menarik napas panjang, “Cari calon istri yang seagama, La.”

“Dan dia menyarankan, sebaiknya kita enggak usah berhubungan lagi. Nyokap melihat hubungan kita tidak sekedar berteman biasa.” Suara Valen mulai melemah tetapi matanya masih menunjukkan kilat teduh menenangkan saat menatap Arla.

“Apa yang salah dari pertemanan kita, Val?” Suara Arla juga mulai melemah. Ia mulai merasakan ada yang mengganjal di pelupuk matanya, begitu pula di hatinya.

“Gue sayang lo, La, melebih teman. Gue ingin kita lebih dari teman.” Kalimat itu membuat Arla terkesiap dan satu tetes air mata jatuh diujung matanya. Ia tidak tau harus senang atau sedih.

“Kenapa... Begini, Val?” Valen mengerutkan kening mendengar pertanyaan Arla. Arla sendiripun tidak yakin apa maksud pertanyaannya.

“Nyokap melarang kita, La. Kita beda keyakinan. Dan gue enggak mungkin melanggar perintah nyokap gue, La.”

“Gue juga sayang lo, Val. Tapi, kenapa harus begini?” Suara Arla makin melirih dan kepalanya menunduk untuk menutupi air matanya yang mulai tumpah.

“Iya, gue tau. La, sorry..” Valen menarik tangan Arla dalam genggamannya. Tapi, baru sekali ini, Arla menolak untuk digenggam, ia menarik tanggannya dan menyembunyikannya kebawah meja.

“Dan cewek yang namanya Clara, yang tempo hari lo liat jalan sama gue, itu cewek yang nyokap pilihin agar gue mulai mencoba melihat cewek lain selain lo, La.” Valen selalu tidak tega melihat Arla menunduk sedih seperti itu, ingin rasanya menarik Arla dalam pelukannya. Tapi ia tau, itu akan membuat dirinya dan Arla semakin hancur.

“Gue duluan ya, La. Terima kasih buat semua kenangannya.” Valen berdiri dan menaruh sebuah kotak biru manis diatas meja. Dari ekor matanya, Arla bisa melihat Valen berlalu membelakanginya. Ia selalu benci melihat punggung cowok itu berjalan membelakanginya. Meninggalkan hatinya bersama hati Arla yang sama-sama hancur.

>>> 

*lima tahun kemudian*

“Nes, Di, gue balas apa enggak nih?” Akhirnya Arla tidak tahan untuk bertanya kepada kedua sahabatnya saat mereka sedang ngopi sore di sala satu cafe favorit mereka.

“Balas lah, Bro. Kali aja ada yang penting. Ngucapin bye-bye karena doi mau merit.” Jawab 
Dio asal dan tetap fokus pada laptop didepannya.

“Jangan lah, emang lo mau nerima ucapan bye-bye karena doi mau merit? Gue jadi lo sih, ogah.” Timpal Agnes ikut-ikutn menanggapi jawaban Dio.

“Gue serius...” Arla menghela napas dan menyerah dengan memandang pesan dari Valen untuk kesekian kalinya.

“Balas, La.” Kata Dio dan Agnes, barengan. Mereka saling lirik dan tertawa.

Mungkin enggak ada salahnya kalau dibalas. Batin Arla.

Arla: Bisa. Kapan?

Dan tidak harus menunggu lama sampai akhirnya ada balasan.

Valen: Malam ini di Kuningan City, cafe biasa ya, La.

Dan disini lah Arla dan Valen malam ini, cafe favorit mereka untuk menghabiskan waktu bersantai, dulu.

“Apa kabar, La?” Tanya Valen dengan senyum yang masih sama walau dengan sorot mata yang lebih tajam. Valen tidak banyak berubah, hanya wajahnya yang terlihat lebih terawat, dada lebih bidang, dan sepatu Nike kesayangannya sudah digantikan dengan sepatu yang baru.

“Ya seperti yang kamu lihat, Val.” Jawab Arla dengan mengendikkan bahu untuk terlihat lebih relaks. Arla pun tidak banyak berubah, masih dengan rok sebawah lututnya tetapi sepatu catsnya sudah berganti dengan heels yang tidak terlalu tinggi.

“Apa kabar Agnes dan Dio?” Valen selalu tau bagaimana cara untuk membuat Arla bercerita panjang. Dan sampai makanan mereka habis, mereka masih terlibat obrolan seru, seperti yang mereka lakukan lima tahun lalu.

“La, gue mau..” Valen ragu melanjutkan perkataannya.

Udah setengah jalan, lanjutin aja Val. Katanya didalam hati

“Gue mau ngasih ini, undangan pernikahan gue, dua minggu lagi.” Valen menaruh kertas apik berwarna silver dengan paduan abu-abu, warna kesukaan Valen.
Arla didepannya hanya terdiam, tidak bereaksi sama sekali.

Harusnya gue tau. Harusnya gue gak merasa kayak gini lagi. Toh udah hampir lima tahun, tapi kenapa semuanya terasa belum berubah. Harusnya gue gak boleh sedih dan.. Oh no, 
kenapa air mata gue udah diujung sih.

“La? Lo enggak apa-apa, kan?” Tanya Valen membuyarkan lamunan Arla.

“Iya, Val. Makasih ya.” Arla memaksakan senyum. Bukan, bukan tersenyum, tetapi nyengir untuk menyembunyikan air matanya yang ingin jatuh.


“Yaudah kalau gitu, gue duluan ya, Val. Udah malam juga. Insyaallah gue dateng kok.” Arla beranjak dari tempat duduknya dan berbalik badan memunggungi Valen sebelum ia berkata apa-apa lagi, dan berjalan menjauh sejauh yang ia bisa. Berjalan menjauhi Valen dan berharap hatinya tetap tertinggal di cafe itu, agar ia tidak perlu repot-repot menatanya sepulang dari ini. Arla berjalan cepat kearah parkiran sambil berdoa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketakutannya datang lagi. Ia dikecewakan lagi. Memang tidak seharusnya ia menemui Valen malam ini. Memang tidak seharusnya dulu ia menunggu Valen yang jelas-jelas sudah meninggalkannya. Meninggalkan hatinya di cafe itu, dan ini saatnya Arla untuk melepaskan hatinya secara paksa di cafe yang sama. Pasti akan sulit untuknya membuka hati yang baru. Bukan karena belum bisa melepaskan hati yang lama, tetapi karena takut hatinya akan dikecewakan lagi. Mungkin benar, cinta memang banyak bentuknya, tetapi tak semua bisa bersatu.

11.13. - 2 Januari 2015

Jumat, 02 Januari 2015

Ceritaku Dan Ray

Ini sebuah kisah sederhana tentang aku dan kamu. Tentang pertemuan kita di satu senja. Tentang perpisahan kita di satu cafe kelabu.

"Airin!" Begitu lah kamu memanggilku. Tahukah kamu? Bahwa hanya kamu seorang, yang memanggilku dengan nama tengahku. Senja itu, aku terduduk sendiri di tepi pantai. Memandang langit sore dengan mulut berkerucut dan kamu datang dengan seulas senyum, ikut duduk disampingku. "Mengapa wajahmu ditekuk?" Itu lah kalimat perkenalan yang kamu ucapkan. Aku hanya menengok kearahmu sambil mengkerutkan kening. Kemudian kamu mengulurkan tangan, "Namaku Ray, kamu Airin, kan?" Aku hanya menggelengkan kepala. Kamu terlihat panik dan salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepalamu yang aku yakin pasti tidak gatal. Sejurus kemudian aku tertawa terbahak-bahak. "Airin ialah nama tengahku, panggil aku Vin, kependekkan dari Vinnellia." Kataku sambil menyambut tanganmu. "Aku lebih suka memanggilmu Airin." Katamu dengan senyum tulusmu, Mulai sore itu, kami resmi berteman. Kami bercerita, tertawa dan berlari-larian. Hingga matahari benar-benar tenggelam.
Dan kami berjanji untuk bertemu kembali esok senja. Sejak saat itu, soreku tak pernah lagi sepi. Aku, yang berumur tujuh tahun, akhirnya menemukan teman akrab yang berjanji untuk terus menemaniku disetiap senja. Tawa, senyum, dan kejahilanmu yang kini selalu hadir dalam setiap senjaku. Itulah semangatku, semangat anak kecil berumur 7 tahun.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan kereta api yang akan membawaku ke Yogyakarta sudah tiba. Sepanjang perjalanan, aku teringat akan masa laluku, masa kecilku bersama Ray. Lelaki dengan raut wajah yang unik dan senyum yang selalu tulus. Lelaki yang kukuh memanggilku Airin. Sekarang umurku sudah 20 tahun, itu berarti sudah hampir 4 tahun sejak perpisahan kita. Bertemu pada usia 7 tahun dan berpisah pada usia 16 tahun. Sembilan tahun bukan waktu yang singkatkan, Ray? Dan 4 tahun itu waktu yang sangat cukup untuk meyakinkan diriku, bahwa aku benar-benar merindukanmu, Ray. Ya, I mean it, Ray. Pasti kamu akan tertawa terbahak-bahak dan meledekku karena perkataanku itu.

Tiba-tiba, perempuan disampingku bertanya mengapa aku tersenyum sendiri, mungkin ia pikir aku aneh. Ah tapi mengapa matanya menunjukkan keramahan dan keteduhan? Dan sebelum aku menjawab, perempuan itu memperkenalkan dirinya dan menceritakan masa lalunya bersama mantan pacarnya. Aku merasakan keteduhan, ketenangan tetapi juga ada kesedihan yang seperti sangat dalam.

Setelah selesai ia bercerita, ia bertanya kepadaku, "Apakah kau pernah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupmu?" Aku hanya memalingkan muka ke jendela, menghindari tatapannya dan aku langsung menemukan pikiranku menunjuk Ray, teman kecilku, sebagai pelakunya. Saat aku berpaling kepada perempuan itu dan ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba ia berkata "Kalau kamu tidak mau bercerita, tidak masalah, Vin." Aku hanya terdiam. Aku memang butuh teman untuk membagi kisahku ini. Seumur hidupku, tidak ada yang tau tentang Ray kecuali orang tuaku. Ya, selain faktor aku tidak mempunyai teman sebaya yang dekat selain Ray, aku juga tidak pernah percaya dan leluasa bercerita mengenai kisahku kepada siapapun, iya kecuali Ray (lagi) tentunya. Mungkin aku bisa bercerita dengan perempuan asing ini? Memang tidak menjamin ceritaku bisa tetap terjaga, tetapi setidaknya kami tidak saling mengenal untuk bisa saling menyakiti, bukan? Jadi kemungkinan aku tersakiti oleh perkataannya atau ketidakterjaminnya-ceritaku-tetap-terjaga ya sangat kecil.

***

Namanya Ray. Kami bertemu di tepi pantai suatu senja saat usia kami 7 tahun. Mulai hari itu, Ray lah yang menemani setiap senjaku. Kami bercerita, tertawa, berlarian, berenang, bermain, hingga bertengkar. Bertengkar aku dan Ray memang tidak pernah serius. Kami hanya saling tidak berbicara untuk beberapa senja, tetapi ia tetap menemaniku duduk atau tidur di pasir. Selepas aktivitas seharian, aku dan Ray punya tradisi untuk saling bercerita aktivitas selama seharian itu. Kalau hari ini Ray yang memulai, berarti besok giliran aku yang pertama bercerita. Aku tau Ray begitu menyukai es krim seperti aku menyukai cokelat. Aku tau Ray begitu tergila-gila akan photography sama seperti aku tergila-gila akan novel. Aku tau Ray rela tidur larut demi mengedit hasil-hasil fotonya hari itu dibandingkan menyelesaikan tugas sekolahnya. Aku tau Ray selalu ke tepi pantai tengah malam bila sedang ingin menyendiri dari keributan didalam rumahnya. Aku tau Ray sangat fanatik dengan warna Abu-abu dan sandal jepit. Aku tau sekali dalam seminggu Ray berantem dengan geng populer di sekolahnya karena pasti saat senja kami bertemu, dia punya beberapa luka yang kelihatan masih segar. Aku tau Ray selalu terlihat tidak tenang bila punya masalah tetapi malu menceritakannya. Aku tau Ray... Ah banyak sekali yang aku tau tentang Ray.  Tetapi walau begitu, aku tidak pernah tau rumah Ray, begitupun Ray yang tidak tau rumahku. Begitu pula dengan sekolah dan nomor handphone kami. Entah ini sengaja atau tidak, kami hanya berusaha saling mengenal dan dekat tanpa benar-benar tau identitas masing-masing kami. Begitu terus hingga 9 tahun, ketika usia kami menginjak 16 tahun. 

Ray tidak pernah absen datang ke tepi pantai, kalaupun ia tidak datang, pasti beberapa hari sebelumnya ia mengatakan kepadaku. Tetapi, hari itu berbeda. Aku, seperti biasa, duduk dibawah pohon di tepi pantai sambil membaca novel. Jam ditangan kiriku telah menunjukkan pukul 5 sore tetapi Ray belum menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, kalau Ray terlambat pasti hanya 30 menit, tetapi hari itu ia terlambat satu jam. Aku berdiri dan mengulet, mulai tidak tenang. Aku berjalan-jalan di tepi pantai dan ini ketiga kalinya aku melihat jam dan menunjukkan pukul 5.40. Aku akan menunggunya hingga pukul 6 dan kalau ia tidak datang, aku akan pulang. Begitu lah pikiranku sore itu dan benar saja, Ray tidak datang. Begitu pula lima senja kemudian. 

Hingga pada senja keenam, aku memutuskan untuk tidak ke tepi pantai, aku ingin pergi ke mall, mencari udara segar. Tentu saja segar maksudku adalah bebas dari bayangan Ray. Aku pergi ke toko buku di salah salah satu mall. Dan saat aku sedang mengantre, aku melihat laki-laki mirip sekali seperti Ray. Tinggi, sawo matang, kacamata bingkai putih, bekas luka di pelipis kiri, senyum jahilnya, tetapi bedanya laki-laki itu memakai sneakers bukan sandal jepit. Aku meninggalkan antrean dan berjalan sedikit lebih cepat kearah laki-laki itu untuk memastikan bahwa itu benar-benar Ray seperti perkiraanku atau bukan. Aku tinggal beberapa langkah lagi dari laki-laki itu dan akhirnya..

“Ray?” Panggilku.

“Airin?” Tengok Ray kearahku dengan nada yang lebih tinggi dan sambil menengok ke kiri dan kanan, pertanda kalau ia sedang panik.

“Sedang apa kamu, Ray? Kemana saja kamu? Kenapa ka...” Belum selesai aku bertanya, ia langsung menarikku dan berjalan cepat ke salah satu cafe dan mengambil tempat duduk disudut ruangan yang jauh dari keramaian.

“Ada apa, Ray?” Tanyaku cemas.

“Maaf, Airin. Kamu tidak akan mengerti.” Jawabnya sambil menundukkan kepala.

“Tidak mengerti apa? Aku bingung. Kemana saja kamu, Ray?”

“Kita tidak bisa bertemu lagi, Airin. Aku tidak bisa bertemu lagi denganmu.”

“Kenapa, Ray? Aku salah ya? Maaf, Ray.” Ujarku pelan. Aku benar-benar tidak mengerti maksud Ray.

“Pertemanan kita tidak lagi benar-benar murni pertemanan, Airin. Toh kehidupan berjalan dan kita juga harus berjalan, tidak bisa berdiam diri dan tetap berada di goa nyaman kita, bukan?” Ucap Ray yang diikuti tatapan matanya yang menusuk tetapi ada kilat kesedihan disana.

“Apa maksudmu tidak benar-benar murni pertemanan? Aku merasa kita berteman baik-baik saja selama ini.” Sanggahku dengan nada yang agak menuntut.

“Coba tanya pada dirimu sendiri, Airin.” Ray tidak benar-benar menjawab pertanyaanku.

“Aku harus pergi sekarang Airin. Terima kasih atas pertemanan dan kenangannya.” Ray berdiri dari tempat duduknya. Dan sebelum ia sempat melangkah, aku menahan tanggannya dan bertanya,

“Kemana saja kamu dari kemarin? Tolong, Ray.”

“Aku mencari hal baru, Airin. Mencari aktivitas baru dan keluar dari goa nyamanku bersamamu disetiap senja.” Tangan Ray memberontak halus dari cengkramanku, tetapi aku belum mau melepaskannya.

“Apakah kita bisa bertemu lagi suatu saat, Ray?” Tanyaku lemah sambil menatap matanya sebelum ia benar-benar pergi. Dan Ray hanya mengangguk dan tersenyum tulus. Lalu aku membiarkannya pergi. Menatap punggungnya berjalan membelakangiku adalah hal paling 
sulit untuk aku lihat. Aku menutup mata dan menangis.

Sejak sore itu, aku tidak pernah lagi pergi ke tepi pantai. Aku mencari kegiatan lain, kegiatan yang diluar dugaanku akan aku ikuti, seperti klub debat dan klub sains. Aku berusaha keluar dari goa nyamanku seperti Ray lakukan, sambil tetap berdoa, suatu saat agar aku dan Ray dipertemukan kembali di satu senja yang indah.

***

Aku menghembuskan napas. “Maaf, ya, ceritanya jadi panjang seperti ini.” Ujarku kemudian kepada perempuan disampingku ini.

“Aku tersentuh. Maaf telah membuatmu mengingat masa-masa kelam itu.” Ucap perempuan itu seraya tersenyum dan memberikan sebotol air mineral untukku.
Kereta api yang kami naiki sudah sampai di stasium tujuan. Aku dan perempuan itu membereskan barang dan bersiap untuk turun.


“Kita memang tidak pernah bisa melupakan masa lalu, Vin. Tetapi, kita bisa membuat masa lalu itu menjadi sebuah pelajaran dengan membiarkannya berjalan bersama waktu. Membiarkannya ikut kita meraih masa depan kita. Karena masa lalu adalah bagin hidup kita, Vin. Jangan direnungi, tetapi dibiarkan. Sampai jumpa, Vin.” Kata perempuan itu diujung koridor stasiun sebelum kami berbelok kearah yang berlawanan.

***

23.58 - 1 Januari 2015