Minggu, 31 Desember 2017

Dua Ribu Tujuh Belas

Dua ribu tujuh belas,
Sekuat apapun menghalau gundah, waktu akan terus berjalan.
Sedalam apapun tenggelam dalam kesibukan, waktu tidak akan menunggu.
Seramah apapun menghadapi kenyataan, waktu tidak akan berkompromi.

Saya mendefinisikan dua ribu tujuh belas dengan sebuah warna, abu-abu.
Warna yang hanya akan disukai oleh para pemelihara luka dan pendamba hujan.
Bukan karena mereka selalu terlihat menyedihkan dan seperti tidak memeliki harapan,
Tetapi karena mereka menggunakan perasaan yang teramat banyak untuk menjalani hidup.
Itu bukan hal buruk.
Itu hal baik.
Mereka akan jauh lebih mengerti makna dari setiap perjalanan yang mereka lakukan.

Begitu lha, dua ribu tujuh belas,
Membuat saya lebih mengerti makna dari setiap perjalanan yang saya tempuh.
Membuat saya jauh lebih berhati-hati untuk setiap langkah yang saya ambil.
Membuat saya jauh lebih bersyukur dengan yang terjadi hari ini.

Termasuk tujuh hari terakhir di dua ribu tujuh belas.
Tujuh hari yang mengajarkan saya untuk terus berjuang demi mimpi yang saya khayalkan.
Berusaha untuk mencapai sesuatu selagi saya dapat mencapainya.

Dua ribu tujuh belas,
Juga mengajarkan saya untuk berdamai dengan masa lalu, sepahit apapun itu.
Berdamai bukan berarti menerima kembali,
Berdamai berarti mengakui dan mengikhlaskan semua hal yang telah terjadi.
Seperti ditampar diri sendiri, memang.
Tapi, kamu menang.
Kita menang.
Menjadi jiwa yang tenang.
Setidaknya, itu yang saya dapatkan diujung dua ribu tujuh belas.
Melakukan sekuat yang saya bisa dan menikmati hasilnya dengan senyum.
Tentu, tidak hanya senyum saya saja.
Untuk apa memikirkan senyum diri sendiri, jika senyum yang ada didepan jauh lebih manis?
Saya tidak bilang kamu manis, ya!

Dua ribu tujuh belas,
Juga mengajarkan saya bahwa jarak dari sebuah kota ke kota lain hanya sebuah angka semata.
Lebih dari itu,
Ikatan keluarga, pertemanan, dan per-hati-an jauh lebih penting.

Dua ribu tujuh belas,
Tahun yang mengizinkan saya untuk terus mengabdi melalui beberapa perantara.
Tahun yang membuat saya untuk tetap menjaga hati agar tidak bosan mengabdi.
Tahun yang mempertemukan saya dengan teman-teman berhati sangat putih.

Dua ribu tujuh belas,
Jika tahun setelah mu datang secepat kamu melepas saya,
Izinkan hujan turun lebih banyak untuk membawa pergi noda diujung mata.
Izinkan pula angin untuk selalu terbang membawa setiap rasa dan asa yang saya punya.


Terima kasih, dua ribu tuju belas, untuk warna abu-abu yang indah.


***
Jakarta, 31 Desember 2017 - 22:21 WIB

Sabtu, 30 September 2017

Dear San (5)

Dear San,

Selamat malam dari Yogyakarta, San!

Apa kabarmu malam ini? Sudah terlelap, ya? Semoga mimpi indah selalu berpihak padamu, ya. Atau mungkin mimpi thriller? Lalu, pagi hari kamu cerita kepadaku tentang mimpi itu. Haha, I wish.

Akhir-akhir ini, Yogyakarta sudah mulai diguyur hujan. Iya, sih, hujannya sore atau malam hari. Jadi, kalau kuliah enggak harus basah-basahan. Tapi, jadi bikin mellow. Hahaha. Iya, aku selalu ingat kok, sapaan (re: ledekan) itu. Oh iya, kalau sore hujan, jadi pengin indomie rebus. Kerjaan kita ditengah-tengah les dan kelaparan, adalah makan indomie. Oh! Dan nutrisari atau pop ice! Yummy! By the way, Bandung gimana? Sudah mulai hujan juga?

San, entah memang seperti ini jalannya atau memang kita tidak pernah benar-benar ada pada satu circle yang sama, ya? Sangat sulit untuk menemukanmu. Dan anehnya lagi, aku masih berusaha mencarimu. Tapi, tidak pernah benar-benar berani mencari dalam arti yang sesungguhnya. Kamu mengerti, ya kan, San?

San, aku tidak tau, apakah kamu membaca ini, atau beberapa surat sebelumnya, atau tidak pernah. Aku memang tidak benar-benar berharap kamu akan membacanya. Setidaknya, aku lega karena memiliki bukti nyata jika suatu saat kita bertemu dan berbagi cerita.

Tapi, jika kamu membaca ini, jangan ragu. Iya, ini tentangmu, San.

Tentang pesan-pesan yang tidak pernah aku sampaikan kepadamu, dan tentang hal-hal yang baru aku sadari setelah semuanya terjadi dan terlambat. Sangat terlambat.

Selamat hari lahir, ya, San! Seharusnya, 98 hari yang lalu aku membuat tulisan “Dear San” ini. Tapi, tulisan “Tatap dan Senyum” lebih cocok di-post pada tanggal tersebut.


With smile,

Fin


***

Yogyakarta, 30 September 2017 – 01:20 WIB

Minggu, 23 Juli 2017

Terima Kasih, Tuhan dan Kamu.

Hai, kamu yang di sana!

Sudah siap untuk membaca tulisan ini?
Tulisan ini bukan puisi romantis.
Bukan cerita pendek yang menyentuh.
Bukan pula, quotes kekinian yang akan di-save anak remaja.

Tulisan ini hanya sebagai bentuk rasa syukur dan ungkapan terima kasih.
Dari saya, kepada Tuhan dan kamu.

Untuk Tuhan,
Terima kasih atas segala kesempatan yang Engkau berikan.
KarenaNya, saya dapat merasakan semua hal amazing ini.
KarenaNya, saya dapat mengerti arti dari sebuah keikhlasan.
KarenaNya, saya dapat megetahui, bahwa bersyukur akan membuat kami jauh lebih bahagia.
KarenaNya, saya dapat belajar, bahwa setiap manusia memiliki batas masing-masing.

Terima kasih, Tuhan. Saya sangat bersyukur karena apa-apa yang telah terjadi hingga saat ini.
Especially, hari ini.

Untuk kamu,
Terima kasih telah mengajarkan saya banyak hal.
Tentang arti dari sebuah keluarga.
Tentang arti dari senyum yang mewakili berjuta kalimat.
Tentang arti dari mengalah dalam hidup. Dan arti lain, bahwa mengalah tidak selamanya kalah.
Tentang arti dari perjuangan.
Tentang arti dari jarak dan kepercayaan. Bahwa seharusnya, kepercayaan dan jarak memiliki nilai yang sebanding.

Terima kasih, untuk kesabaran dan ke-pengertian-annya.
Terima kasih untuk setiap senyum yang melelehkan saya.
Terima kasih untuk setiap tawa yang menggetarkan saya.
Terima kasih untuk setiap dekap yang menghangatkan saya.
Terima kasih untuk setiap genggaman yang menguatkan saya.

Sekali lagi,
Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih, kamu.

***
Yogyakarta, 23 Juli 2017 - 22:37 WIB

Senin, 03 Juli 2017

Pantai Sore Itu

Disini, dibawah atap biru, aku berdiri.
Menikmati sejuknya angin dan hangatnya mentari.
Terlihat perahu nelayan yang terparkir rapi diujung dermaga.
Hasil tangkapannya tak terlihat.
Mungkin saja hari itu sedang tidak ada transaksi.
Yang ada hanya, mereka yang melipir untuk sekedar mengabadikan dalam sebuah atau dua buah foto.

Disini, dibawah atap biru, aku berdiri.
Ini bukan pantai, pun pelabuhan besar.
Orang-orang disini menyebutnya, tempat singgah.
Singgah untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.
Singgah untuk sekedar tau, bahwa masih ada angin darat yang tak kalah sejuk dari angin laut.

Disini, dibawah atap biru, aku berdiri.
Ini mungkin bukan tempat yang sama dari tempat kita dulu.
Bukan juga air laut yang sama.
Bukan pula pemandangan yang sama.
Tapi, aku tau.
Ini adalah mentari yang sama seperti ditempat kita dulu.
Indah senja yang sama seperti saat itu.
Harum asin laut yang sama seperti disitu.
Dan rasa yang sama seperti yang kita simpan dilubuk itu.
Karenanya, aku rindu.

***
Lasem, 28 Juni 2017 - 16:56 WIB

Selasa, 27 Juni 2017

Rasa Malam Ini

Ini menyakitkan.
Rasa itu menelisik dengan sangat lihai ke dalam relungku.
Aku bahkan tidak mengerti apa yang ia cari di sana.
Sebuah realita manis, pernyataan pahit atau hanya sekedar mencari tanya yang tak pernah terucap.
Aku tidak tahu bagaimana bisa kamu mempunyai pengaruh yang sangat dalam.
Kenapa?
Karena aku yakin, rasa yang masuk itu adalah kamu.
Sakit, memang, tapi bukan kah seharusnya kita sama-sama sudah terbiasa?
Kamu terbiasa dengan menciptakan dan aku terbiasa dengan penerimaan.
Aku dan kamu sama-sama tau rasa apa yang tumbuh saat ini.
Yang tidak kita tau, apakah rasa itu salah atau tidak?
Yang kita tau, setiap pertumbuhannya pasti menciptakan sakit.
Sebuah rasa yang telah akrab pada kita.
Mungkin untuk kali ini,
Tidak ada siapa pembuat dan siapa penerima.
Yang ada hanyalah, aku dan kamu, sama-sama merasakannya.


***
Kudus, 27 Juni 2017 - 23:15

Sabtu, 24 Juni 2017

Tatap dan Senyum

Pada lampu di ujung perempatan, kita berjumpa. Tatapmu lurus kedalam manik mataku. Aku diam membisu. 

Kita tidak beranjak. Seolah-olah, detik demi detik merayap pelan sembari menggerogoti kaki-kaki kita. Atau mungkin hanya kakiku yang pasalnya, seperti membeku ditempat atau dipaku kedalam bumi. 

Sejurus kemudian, kamu tersenyum. Senyum yang melelehkan semesta. Karena setelahnya, hujan turun rintik-rintik. Sepertinya, semesta pun setuju, bahwa senyummu dapat menggetarkan jantung siapapun. Termasuk aku dan langit. 

Pada detik itu pula, aku berdoa. Semoga Tuhan berbaik hati untuk mempertemukanku dengan tatap dan senyum itu setiap harinya di masa depan.


***
Pekalongan, 24 Juni 2017 - 21:47 WIB

Sabtu, 17 Juni 2017

Pertanyaan Bunga Kepada Daun

Tadi pagi, Bunga bercerita pada Daun. Bagaimana jika ia bisa menghentikan waktu? Walau hanya untuk sesaat. Daun pun menjawab, jika Bunga bisa, itu berarti Bunga hebat. Tapi, Bunga tau bahwa ia tidak hebat. Ia pun bertanya pada Daun, bagaimana cara menjadi hebat? Daun pun menjawab:

Untuk mengabadikan sebuah momen, tidak diperlukan mesin atau alat canggih untuk menghentikannya. Kamu cukup menutup mata, meresapi semua yang sedang terjadi. Kemudian menyimpannya diingatanmu. Kamu cukup mendengarkan dan merasakan yang sedang berlangsung saat itu. Jiwamu sendiri lha, alat canggih itu. Ia akan melakukan lebih dari membekukan waktu, ia akan mengenang semua itu secara apik pada salah satu sudut didalam relungmu. Jangan khawatir bila itu akan lenyap, karena jika itu sangat berarti bagimu, ia tidak akan menghilang dan lenyap tanpa jejak.

Bunga bertanya lagi kepada Daun, bagaimana jika seseorang itu tidak mengenang seperti kita mengenang mereka?

Daun berkata:

Biarkan saja! Itu bukan urusanmu. Jika ia melakukan hal yang sama, itu adalah bonus.

Ketika tersadar, Bunga bertanya, bagaimana bisa kamu melewati semua itu, Daun? Sedangkan kamu terlihat baik-baik saja saat ini.

Daun membisu. Hanya sesaat. Kemudian, berujar:

Kamu tidak pernah benar-benar tau apa yang aku alami, Bunga. Aku tidak ingin mengatakan bahkan itu sulit dan menunjukkan semua kesedihan dan kepedihan. Karena, yaa, memang itu adanya. Buat apa menunjukkan bila semua sudah tau? I'm not fine at all. Tapi, aku masih punya kenangan pada salah satu sudut didalam relungku, Bunga. Maka, dari sana lha, aku kuat.

Bunga merasa hampa, kemudian bertanya kembali, bagaimana kalau aku tidak kuat?

Daun menjawab:

Bila kamu tidak kuat, temui sumbernya. Temui ia yang membuatmu tidak merasa kuat. Cari tahu kebenarannya seperti apa. 

Bunga meragu, bagaimana bila jawaban yang aku temui tidak sesuai dengan hatiku?

Daun menjawab dengan lebih tenang:

Bungan, ingat lha. Karena pada akhirnya, kamu akan belajar bahwa sakit dan pahit atau lega dan bahagia itu hanya perkara waktu. Begitu juga dengan ikhlas. Jangan menerka-nerka jika tidak ingin kecewa. Ikhlas saja.

Bunga menangis sejadi-jadinya. Daun memberi sapu tangan dan meninggalkan Bunga sendirian untuk berpikir. Sambil tersenyum, Daun melihat ke langit, Bulan. Daun selalu tersenyum melihatnya. Entah pertanda apapun senyum itu.


***
Jakarta, 17 Juni 2017 - 23.19 WIB

Sabtu, 03 Juni 2017

Dear San (4)

Dear San,

"In another life, I would make you stay. So I don't have to say you were the one that got away."


Kamu bacanya sambil nyanyi juga gak, San? Hahaha.

Halo, San! Apa kabar? Surat pertama untukmu ditahun 2017 ini. Ah, ya, siapa tau kamu menunggu, hehe.

Oh, iya, begitu lagu The One That Got Away mengalun di radio, aku teringat kamu. Entah bagaimana, lagu itu terus mengingatkanku kepadamu. Tentang kita beberapa tahun yang lalu. Seingatku, kita sama sekali tidak pernah menyanyikan atau menyinggung lagu itu, iya kan?

By the way, Bandung apa kabar? Ah, iya, Nangor, yaa? Beberapa hari yang lalu, temanku ada yang protes ketika aku menyebut Nangor adalah Bandung, hehe. Ternyata, beda jauh, ya...

Ah, ya, bagaimana kabar genre film kesukaanmu? Ada film yang bagus lagi, kah? Bulan lalu, aku nonton film genre thriller, tapi lupa banget sama judulnya. Filmnya mirip sama Saw, tapi hanya karena filmnya terlalu gamblang sih. Keseluruhan ceritanya, beda banget.

San, semakin lama aku di Jogja, semakin mengingatkan aku akan semua ceritamu tentang kota ini. Tapi, membuatku semakin rindu Jakarta, Iya, memang, Jogja sangat membuat nyaman. Tapi, aku jauh dari rumah. Satu yang membuat semakin bingung. Jadi, apa sebenarnya arti rumah? Kalau nyaman, bisa kah disebut rumah? I'm waiting for your answer. I always like a moment when you share your mind.

San, if I had time machine, I would take our time back. If you had, too. Would you..?


With smile,

Fin.

***
Yogyakarta, 1 April 2017 - 23.15 WIB

#CumaDiSemester4

Selamat malam, kalian!

Ini adalah post pertama sejak semester 4 dimulai. Rasanya.. So happy! Akhirnya bisa bikin post disini lagi. Bukan berarti saya tidak menulis cerita atau sajak-sajak pendek. Hanya saja, tidak ada yang saya post, karena tidak ada yang benar-benar selesai. Pasti ada aja halangannya. Ups, iya, seharusnya bisa. Betul, ini memang bukan prioritas saya di semester 4. Jadi, sangat sangat sangat terlantar, deh. 

Sungguh, saya ingin sekali menceritakan semester 4 saya. SANGAT INGIN. But, I'm not in a good mood. Jika untuk diceritakan, semester 4 akan jadi cerita yang super panjang dan memiliki banyak fokus cerita. Mulai dari jadwal yang super padat, praktikum-praktikum yang membuat naik darah, tugas-tugas yang membunuh, sampai kegiatan-kegiatan yang ingin-ikut-tapi-sudah-kehabisan-tenaga. #CumaDiSemester4 yang merasa PMS itu tiga bulan sekali, bukan sekali, doang. Oh, bahkan, laki-laki, pun, bisa jadi PMS juga. #CumaDiSemester4 dalam seminggu pasti ada hari monang, atau bahkan, -nang beneran. #CumaDiSemester4 yang membuat saya mengemis-ngemis ke orang tua supaya boleh pulang ke Jakarta. #CumaDiSemester4 yang membuat saya ingin balik lagi ke masa-masa sekolah dasar, masa ketika masalah yang dimiliki hanya PR matematika dan tidak boleh main keluar rumah diatas jam 8 malam. #CumaDiSemester4 yang membuat saya belajar berbagai aplikasi baru, seperti Eagle, LogixPro, dan CX Programmer. #CumaDiSemester4 saya belajar membuat alat, literally, alat. #CumaDiSemester4 yang membuat saya memaki-maki sebuah aplikasi yang tak berdosa yang bernama AutoCad. #CumaDiSemester4 yang membuat saya merasa jadi orang terkasar karena sering sekali mengumpat setiap harinya. #CumaDiSemester4 yang membuat saya sangat sangat menghargai waktu main dan tidur. #CumaDiSemester4 yang membuat saya belajar bahwa mengendalikan emosi adalah wajib hukumnya. #CumaDiSemester4 saya mengerti tidak selamanya orang pintar di akademik memiliki management emosi, management waktu, serta managemet dan tanggungjawab di organisasi yang pintar pula. Dan #CumaDiSemester4 saya belajar bahwa sebanyak apapun tangan yang menggenggam kamu, pada akhirnya, kamu tetap akan berdiri diatas kaki sendiri. Thats all. 

Selamat berlalu, semester 4! Saya (mungkin) akan rindu semua-mua yang telah terjadi.
Selamat menjadi tua untuk kita semua yang akan memasuki semester atas. Semoga tetap istiqomah :)) wqwq.
Salam hangat dari Kota Pelajar dengan segala kenyamanannya.


***
Yogyakarta, 3 Juni 2017 - 22.40 WIB

Rabu, 25 Januari 2017

Pulang dan Pergi

Bagiku, Jakarta bukan hanya sekedar Ibu Kota.
Bukan juga sekedar tempat pulang.
Bukan juga tempat untuk pergi.
Jakarta adalah kota ramai yang membuat hati sunyi.
Kota padat yang membuat hati lengang.
Kota dimana rumah, nyaman, dan luka ada didalamnya.
Kota dimana kata pergi menjadi begitu dingin dan kata pulang menjadi sangat hangat.
Jika pulang memberi kekuatan baru, maka pergi pun memberi luka baru.
Jika pulang membuka luka lama, maka pergi pun membuka lembar baru.
Jika pulang berarti menyelami jejak yang pernah ada, maka pergi berarti menyulam kenangan-kenangan itu.
Tidak semua pulang itu dinanti dan tidak semua pergi itu dihalau.
Bagiku, seberapa jauh kita pergi, kata pulang akan semakin berarti.
Bagiku, pergi itu ketika berani untuk terus menatap setiap titik yang tidak pasti didepan sana, dan pulang itu ketika kita berani untuk menghadapi setiap luka yang pernah tercipta.
Bagiku, pergi adalah perjalanan, dan pulang adalah pengistirahatan.
Karena pergi dan pulang hanya perkara seberapa jauh jarak yang ditempuh.
Karena itu pula, setiap orang memiliki arti pulang dan pergi yang berbeda-beda.



***
Kereta Jakarta - Yogyakarta, 05:17 - 25 Januari 2017

Kamis, 12 Januari 2017

Tentang Keinginan

Saya mengerti, setiap hal pasti mempunyai masa jayanya masing-masing.
Ketika masa jaya tersebut habis, akan ada penurunan, dan kembali ke keadaan statis.
Itu pasti, saya tau persis.
Tapi, kadang, ada beberapa hal yang tidak bisa kita sangkal.
Contohnya, seperti kita ingin semuanya kembali ke masa jaya. Kita ingin tidak ada yang berubah.
Iya, saya mengerti, bahkan hakikat hidup sebenarnya adalah tentang moving forward.
Keinginan seperti itu sangat tidak masuk di akal, memang.
Tapi, bagaimana lagi?

Ketika hati bekerja lebih cepat dari pada otak.
Ketika rasa bermain lebih unggul dari pada logika.
Bisakah kita menahannya?

Seperti ketika rindu datang menerpa, bisakah otak menghalau lebih cepat dari pada hati yang berusaha membangkitkan rindu itu menjadi lebih besar?
Saya tidak mengerti.

Untuk saat ini, yang saya tau, saya hanya ingin dan rindu kamu.
So pathetic. And selfish, maybe? Maaf.


***
Jakarta, 12 Januari 2017, 00:40