Minggu, 11 Oktober 2015

Surat Untuk Bulan

Teruntuk kamu,

Semburat jingga di ufuk timur, tertangkap mataku dengan sempurna. Kabut tipis menyembunyikan Gunung Kidul disebelah utara, terbingkai indah dimataku. Satu lagi hal yang membuat aku jatuh hati dengan Jogja; Jogja dipagi hari. Sungguh, tidak kalah indah dengan pesona malamnya.

Tetapi, indahnya Jogja, tidak bisa membuat luka hati mengering dengan sendirinya. Tidak bisa membuat para pecahan hati berinisiatif untuk berkumpul menjadi satu lagi. Tidak bisa membuat obat penghilangkan memori.

Jogja memang kota yang sangat tepat untukmu berjelajah. Kota yang tepat untukmu merasakan ciri khas Indonesia; ramah tamah. Kota yang tepat untukmu mencari makanan enak dan murah. Kota yang tepat untukmu belajar bersopan santun. Kota yang tepat untukmu mencari teman baru. Kota yang tepat untukmu mencari, hem, hati baru? Untuk yang terakhir ini, aku tidak tahu. Sungguh.

Bagaimana bisa kamu mencari hati baru ketika hati yang lama saja belum tersusun kembali karena patah, belum sembuh kembali karena luka, dan belum terbuka kembali karena telah ditutup rapat oleh pemiliknya? Kalau aku sih, tidak.

Kau tau, Bulan?

Seberapa jauh aku pergi, hatiku tetap tidak mau ikut pergi (darimu). Seberapa jauh aku berjalan, tidak bisa membuat hatiku ikut berjalan (meninggalkanmu). Seberapa kencang aku berlari, hatiku tetap tidak mau ikut berlari (darimu). Seberapa tinggi aku melompat dan terjun, tidak juga membuat hatiku terlepas (darimu). Seberapa rendah aku tiarap, tetap tidak membuat hatiku ditelan oleh tanah (agar kamu menghilang dan masuk dalamnya). Seberapa dalam aku menyelami lautan, juga tidak membuat hatiku tenggelam (dari pahit-manisnya kenanganmu).

Bulan, terima kasih telah membuat hatiku patah berkeping-keping.
Doakan aku agar dapat menyusunnya kembali, ya!


Salam damai, 

Pujangga Bumi.


***

05.15 - 7 Oktober 2015