Rabu, 31 Januari 2018

Another Day

“Dooo, di mana botol minum yang gue titipin?”

“Itu, didalem tas gue. Lo cari pake mata, dong!”

“Enggak nemu! Awas aja kalau sampe lupa bawa!”

Kedua orang itu saling berteriak, seolah-olah tidak ada orang, selain mereka didalam ruang kelas. Memang, hanya ada kami bertiga. Tapi, aku kan, juga orang, pantas dong kalau merasa terganggu. Iya, seharusnya sih, aku merasa terganggu. Sayangnya, tidak sama sekali. Aku terlalu terbiasa dengan semua keributan ini. Bahkan, ini belum seberapa. Percaya lha!

“Tuhkan, gue bilang juga apa!”

“Iya, maap, gue enggak liat, Do.”

“Heh! Mata lo ke mana sih, La? Itu botol gede banget, lho!” Aldo menggerlingkan mata.

Bisa aku tebak kelanjutannya, mereka berdebat tentang letak mata—yang seharusnya tidak perlu didebatkan—hingga salah satu dari mereka kehabisan kata-kata. Oh, aku? Aku hanya jadi penonton dan penyumbang efek ketawa aja. Mereka selalu menghibur. Benar-benar menghibur.

“Ren, mau makan enggak? Gue traktir.”

“Tuh, kan! Kenapa sih, lo curang banget, Do? Giliran gue ada rapat, lo mau traktir Rena. Giliran gue ikut, lo enggak pernah tuh, traktir kita!”

“Lo aja kali, yang kurang beruntung!”

“Sialan!” diikuti dengan lemparan pulpen ke Aldo. Kemudian, aku berdiri untuk memberi kode agar mereka berhenti bertengkar a.k.a bercanda. Aku membereskan barang-barangku diatas meja dan berjalan mendahului mereka ke depan pintu kelas.

“Ren, besok gue enggak bisa jemput lo. Gue harus nganterin ayah ke bandara. Lo sama Aldo aja, ya?” teriak Fella begitu aku sudah mencapai ambang pintu. Sembari aku menoleh ke belakang, aku berkata, “Iya, kalau Aldo enggak bisa tau enggak mau, gue naik ojek aja.”

“Iye, iye, gue jemput besok. Lo to the point kek, Ren!” saut Aldo yang membuat kami tertawa.

Begitu, lha, pertemenan kami. Tidak pernah tidak tertawa. Semua hal pasti tertawa, sekali pun sedang sedih. Tapi, khusus yang terakhir, hanya Aldo saja. Dulu, aku dan Aldo sedang menemani Fella di lobby rumah sakit tempat kakaknya kecelakaan dan koma. Pacar kakak Fella menangis tidak karuan dan tebak apa yang Aldo lakukan? Dia membuka salah satu OA receh di Line dan menunjukan salah satu post—yang sebenarnya tidak lucu—ke pacar kakak Fella sambil sedikit tertawa. Bayangkan! Iya, niat Aldo memang baik, untuk menghibur, tapi sangat tidak waras. Kalau kata Fella, “Gesrek lo, Do!”

“Lo mau makan apa, Ren? Gue ngikut.” kata Aldo begitu kami didalam mobilnya.

“Lo seriusan mau traktir gue?” balasku sambil melotot tidak percaya.

“Iya, Rena sayang, masa gue bercanda sih.”

“Abis kerjaan lo bercanda mulu sih.”

“Segitu seringnya, ya? Sampe lo aja enggak bisa bedain mana serius, mana bercanda.” Dan membuatku melempar tatapan ke jendela samping kiri. Kalimat terakhir Aldo terngiang-ngiang di kepalaku. Jika Aldo hanya berdua dengan Fella, apakah ia juga seperti ini? Aku tidak pernah tau, sebab kami terlalu sering bertiga dan banyak bercanda.

Mobil Aldo mengarah ke jalan Rasuna Said. Aku tau ke mana kami menuju. Tempat favoritku. Bila aku hanya berdua dengan Aldo, kami pasti ke tempat itu, salah satu restoran fast food di mall di Jalan Rasuna Said. Bukan berarti ditempat lain atau di mall lain tidak ada restoran tersebut, tetapi suasananya yang nyaman. Seperti biasa, kami memesan menu ayam yang sama dengan soda yang berbeda warna. Mencari tempat duduk di outdoor hanya untuk menikmati angin sore dengan pemandangan langit jingga dibalik gedung gedung tinggi dan suara riuh rendah dari lapangan bola milik salah satu universitas swasta dibelakang mall. Pemandangan tersebut ada di sisi kananku dan di sisi kiri Aldo. Aldo membuka bungkus rokoknya dan aku melotot.

“Matanya biasa aja dong, Mbak.” sambil menaruh lagi bungkus rokok ke dalam tasnya.

“Lo kayak anak kemaren sore aja sih. Heran gue.”

“Lo sewot aja sih. Harusnya gue ajak Fella nih, biar ada temen ngerokok.”

“Yeh, nyari penyakit kok ngajak-ngajak.” kataku sambil mengeluarkan kamera, bersiap untuk mengabadikan anak kecil yang sedang berjalan ke arah meja kami. Hanya dua menit dan aku mendapatkan dua foto lucu yang sedang tersenyum sambil berjalan ke arah meja sang ibu yang ada tepat dibelakangku. Aku tidak dapat menahan senyum selama beberapa saat.

“Udah dong, Ren, senyum-senyum sendirinya! Sini, bagi-bagi ke gue, kek! Gue kan juga mau ketularan senyum lo itu.”

Kemudian, aku memberikan kamera ke Aldo, dan dia tidak berhenti tersenyum dan berkata, “Sumpah! Lucu banget! Jadi pengen.”

“Pengen apa, Do?”

“Pengen punya anak.” dan membuatku tersedak.

“Yang bener aja? Seorang Aldo? Tiba-tiba pengen punya anak?”

“Heran, kan, lo? Gue aja heran. Baru kali ini gue liat anak kecil dan fotonya yang super lucu dan langsung pengen punya anak. Hehehe.” Aldo cengar-cengir sambil mengembalikan kamera itu. Aku melihat lagi dua foto itu sambil berkata dalam hati, ini lo muji hasil foto gue atau apa sih?

By the way, gue enggak pernah nanya deh, ke lo ataupun Fella, kalian rencana nikah kapan. Kalau gue tanya ke lo sekarang, lo marah enggak?” dan lagi, Aldo membuatku tercengang. Untuk beberapa saat aku diam, menunggu kelanjutannya, apakah ada jokes atau suara ketawa selanjutnya?

“Ini lo nanya serius, Do?”

“Rena, gue harus gimana, sih? Biar lo enggak nganggep gue bercanda mulu.” Aldo mencondongkan tubuhnya ke depan dan membuatku mundur ke senderan kursi.

“Hahaha iya, maaf deh. Enggak, gue enggak marah. Shoot!” kataku sembari tertawa.

“Pada salah satu tangga hidup lo, ada satu anak tangga yang isinya nikah, enggak?” begitu lha, Aldo. Benar-benar to the point. Dia selalu tau kata apa yang pantas digunakan jika berbicara denganku, Fella, atau teman-teman yang lain. Masing-masing memiliki kosa katanya sendiri, seperti seolah-olah ia tau setiap inci pikiran lawan bicaranya.

“Ada, tapi bukan diawal setelah gue lulus. Mungkin, sekitar 4 atau 5 anak tangga setelah gue lulus.” Aldo benar-benar menyimak.

“Gue enggak tau apa yang bikin gue mikir gini sekarang, yang jelas semua pelajaran yang gue dapetin mulai dari keluarga sampai agama, membawa gue ke gue yang sekarang, dengan anak tangga yang sedikit berubah. Mungkin itu cliche, but true. Gue kayak seolah-olah abis melakukan perjalanan panjang gitu deh. Tapi, gue enjoy and I am so excited for my new plan. Percaya atau enggak, semesta pasti punya beragam kejutan buat kita, Do.” aku menyeruput soda hingga habis.

“Gue beliin lagi, ya, Ren. Sekalian gue mau pesen kentang, lo mau apa?”

“Soda aja deh. Thank you!”

Ini salah satu yang aku suka dari Aldo, dia mengerti kapan harus mendekat dan kapan harus memberi jarak. Dia mengerti tanpa harus diberi sinyal. Teman-able banget.

By the way, sejak kapan anak tangga lo itu mengalami perubahan, Ren?” tanyanya setelah kembali ke meja.

“Enggak tau, sejak semester empat, mungkin? Gue enggak tau tepatnya kapan. Proses bikin gue lupa segalanya soal waktu.”

“Lo percaya enggak, Do? Sama orang yang bilang kalau, semakin sibuk kita menjalani kenyataan dan mencari ‘sesuatu’, semakin kita merasa waktu berlalu sangat cepat dan kita tidak memiliki banyak waktu yang tersisa.” pertanyaanku disambut kerutan samar pada alis tebal Aldo. Aldo paling jarang menunjukan kebingungannya. Berpikir untuk soal susah saat ujian pun, dia jarang menyerngitkan alis.

“Gue enggak pernah kepikiran sampe kayak gitu sih, Ren. Lagian, gue heran, deh. Lo main di mana, sih, sampe bisa mikir kayak gitu? Perasaan kita bareng-bareng mulu tiap hari.” ujar Aldo sambil tertawa.

“Tuh, kan! Ditanggepinnya malah bercanda. Males gue!” bibirku mengerucut dan demo tidak mau menjawab pertanyaan selanjutnya.

“Hahaha, maaf maaf, deh.”

“…”

“Ren”

“…”

“Ren, kok diem?”

“…”

“Ih, gitu doang, ngambek!”

“…”

“Ren, ngomong, dong!”

“…”

“Sumpah, enggak lucu, Ren!”

“Lha, lo nyebelin, sih, Do. Gue jawabnya udah serius, lo malah bercanda.”

“Hahaha, iya, sorry!” sambil tetap tertawa dan membuatku ikut tertawa juga.

“Kalau gue tanya dengan pertanyaan yang sama, lo mau jawab, Do?”

“Shoot!”

“Di life mapping yang lo buat di dinding kamar lo, ada tentang nikah?” tanyaku kepada Aldo. Karena memang, diantara kami bertiga, yang membuat plan nyata tentang hidup hanya Aldo. Dia membuat life mapping pada salah satu sisi dinding kamarnya. Karena itu, kami tidak pernah diizinkan masuk ke kamar Aldo.

“Ada, tapi enggak dengan punya anak. Lo tau, kan, gue enggak suka ribetnya ngurusin kalau anak kecil udah nangis?” Aldo menyeruput sodanya.

“Tapi, sejak sore ini, setelah gue liat hasil foto dan segitu senyumnya lo. Gue jadi pengen punya anak. Kayaknya, ini bakal gue gambar juga di dinding kamar gue.” lanjut Aldo dengan mata menerawang keatas dan membuat aku sukses melongo.

“Aldo, bahkan itu tadi cuma hal kecil. Gue iseng foto anak kecil lewat. Random, like everyday I do that.

“Maka dari itu Rena, enggak selamanya hal yang lo anggap kecil dan sepele, enggak berarti buat orang lain. Ini salah satu efek positif, mungkin dilain waktu, ada efek negatif yang bisa lo timbulkan. Sama seperti bercanda, lo enggak bisa terus-terusan menganggap semua hal buat bercanda itu lucu. Gimana kalau orang itu sakit hati? Atau malah jadi baper?”

“Dan hal kecil yang lo lakuin tadi, sukses membuat satu gambar baru lagi didalam life mapping gue.”

Aldo mengatakan itu dengan menatapku langsung ke manik mata. Aku diam, tidak berkutik.

Apa kata Aldo? Lagi?

Aku semakin tidak bisa berkutik.




***


Yogyakarta, 31 Januari 2018 – 18:00 WIB