Minggu, 03 Juli 2016

Cerita Disetiap Jumat

Jumat, 21 Februari 2014

Ini mungkin bukan hari yang cerah untuk beraktivitas, tapi tidak bagiku, secerah atau seburuk apapun hari ini, aku akan tetap pergi ke tempat itu. Bukan tempat spesial memang, tapi aku selalu tenang di sana. Ah, ya! Perkenalkan, aku, Maya Fitriana, semua orang, kecuali Papa, memanggilku May. Papa? Iya, dia lebih suka memanggilku Ana atau Na. Terkesan lebih singkat dan gampang di lidah, katanya. Oh, ya! Mengenai tempat tersebut, aku sedang dalam perjalanan menuju tempat itu. Bila sedang beruntung, 50 menit waktu tempuh dari rumahku ke tempat itu. Tapi, bila sedang sial, dua jam. Jalanan Jakarta memang tidak bisa diprediksi. Contohnya saja seperti hari ini, hari Jumat pagi, biasanya ruas jalan Mampang menuju Rasuna Said pasti padat merayap, tapi kali ini tidak, ruas jalan tersebut lancar jaya. Ini mungkin pertanda baik. Entahlah, aku suka sekali mengaitkan suatu kejadian kecil dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama satu hari tersebut.

            Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta adalah tempatnya. Luas, putih, dingin dan kokoh itu kesan pertama saat aku menjajakan kaki didalamnya. Perpustakaan ini menempati dua lantai di Gedung Nyi Ageng Serang. Lantai 7 dan lantai 8 lah perpustakaan tersebut ada. Dan tempat favoritku ada di lantai 7, karena di sana lah letak rak-rak novel fiksi berada. Dan spot favoritku adalah bangku kecil disela-sela rak yang menghadap langsung ke jendela luar yang menyuguhkan pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung sangarnya. Itu selalu menjadi spot favoritku dari pertama aku berkunjung. Tetapi, lain dengan hari ini, begitu aku sampai, spot tersebut telah terisi. Tidak biasanya ada orang yang mau membaca buku dengan duduk tanpa bersandar dan diapit rak-rak buku yang tinggi dan terkesan berdebu, itu jarang sekali. Selama dua tahun aku menempati spot itu, jarang sekali orang berada di sana dalam waktu lama selain aku. Iya, tanpa aku sadari, sudah hampir satu jam penuh yang aku lakukan hanya memperhatikan lelaki berkaos hitam tersebut. Dengan langkah gontai, aku mengambil dua novel yang sudah menjadi targetku dan duduk di karpet merah yang telah disediakan. Tentu saja, masih menghadap kearah lelaki tersebut, dengan meja kecil sebagai penghalang tubuhku agar tak terlihat langsung.

            Bertepatan dengan novel kedua yang aku baca sudah habis, lelaki itu berdiri dan berjalan kearah rak novel fiksi paling belakang untuk mengembalikan novel yang sedari tadi ia baca. Setelah itu, lelaki itu berjalan lurus menjauhiku dan menghilang dibalik pintu keluar perpustakaan. Tanpa sadar, aku menarik nafas lega dan kecewa. Entah mengapa, aku tertarik.

Jumat, 28 Februari 2014

            Hampir seminggu, aku dihantui oleh bayangan punggung lelaki itu. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas saat itu. Dua hari berturut-turut setelah hari itu, aku pergi ke perpustakaan tersebut untuk melihat lelaki itu kembali, tetapi dia tidak ada di sana. Jadi, aku beranggapan, mungkin hanya hari Jumat ia pergi ke sana. Dan ternyata, dugaanku tepat. Ia ada di sana. Duduk di spot favoritku dan menggunakan kaos dengan warna yang sama seperti minggu lalu. Aku, seperti minggu lalu, mengambil dua buah novel dan duduk di karpet merah dengan posisi yang sama. Sepertinya, hari ini ia selesai lebih cepat. Dan kali ini, ia berjalan kearahku. Oh, tentu saja, aku merasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Wajahnya seperti ombak. Jernih, tenang, dan menentramkan. Hanya dengan melihat wajahnya, aku merasakan desiran halus pada kulitku. Lelaki itu putih, bersih, mata yang tenang dan dalam, bibir tipis agak kemerahan, alis yang tebal dan tidak lupa lesung pipi disebelah kanan. Sungguh mempesona. Aku semakin tertarik. Dan akan aku merahkan setiap hari Jumat di kalenderku.

Jumat, 7 Maret 2014

            Papa bilang, hari ini wajahku terlewat ceria. Aku mendapati diriku menggebu-gebu setiap hari Jumat datang. Perpustakaan memang selalu membuatku senang dan menggebu-gebu, tapi kali ini berbeda. Kali ini terselip rasa mendesir diantara dua rasa tersebut. Ah, ya! Hari ini aku juga pindah tempat. Aku duduk di kursi didekat meja kecil yang biasa aku gunakan untuk menghalangi tubuhku, setidaknya dari kursi itu, aku bisa melihat siluet wajahnya dari serong belakang. Ini sangat menenangkan dan menyenangkan. Novel sedih yang aku baca tidak akan berdampak besar bagi moodku karena begitu mendongakkan kepala, yang ada didepanku jauh dari kata sedih. Saking asyiknya aku memperhatikan wajahnya, aku bahkan baru sadar bahwa hari ini aku hanya menghabiskan satu novel, itu pun sisa kemarin. Dan yang menambah senyum dibibirku adalah mata kami bertemu! Saat ia berjalan untuk mengembalikan buku, tanpa sengaja (atau sengaja?) aku memperhatikan matanya dan sepertinya ia sadar, ia pun menoleh kearahku. Walau hanya beberapa detik mata itu sanggup membuat cacing-cacing di perutku jumpalitan. The best Friday ever.

Jumat, 14 Maret 2014

            Lelaki berkaos hitam itu sudah ada di spot seperti biasa, bahkan sudah berusaha datang lebih pagi, tetapi tetap saja kalah cepat. Bukan, aku datang lebih pagi bukan untuk merebut spot itu kembali, tetapi untuk melihat lelaki itu datang. Pasalnya, tiga Jumat sebelumnya, selalu lelaki itu yang datang lebih dulu. Aku hanya penasaran, pukul berapa tepatnya ia menempati spot favoritku itu. Oh, ya! Aku berencana untuk melihat matanya lagi hari ini. Aku ingin sekali merasakan cacing-cacing diperutku lompat-lompat tidak karuan. Rasanya sungguh menyenangkan. Dan ternyata, ada sesuatu yang lebih dari itu. Saat lelaki itu mengembalikan buku ke rak novel paling depan, aku habis menukar novel dari rak buku tersebut, kami berpapasan, mata kami bertemu dan dia tersenyum. Dia tersenyum! Tersenyum kepadaku, tentu saja! See? Hal kecil, seperti melihatnya tersenyum, bisa sangat menyenangkan. Tidak perlu sesuatu yang besar untuk membuatku senang. Cukup lelaki itu, tatapan mata dan senyumnya.

Jumat, 21 Maret 2014

            Entah mengapa, pagi ini rasanya aku sangat malas bangkit dari tempat tidur. Setelah berkali-kali memastikan hari ini adalah hari Jumat, aku merasa akan ada hal yang tidak beres dengan hari ini. Ternyata, memang, hari ini dua artikelku ditolak oleh penerbit dan disuruh merevisi satu artikel yang aku kirim kemarin. Dan yang terakhir ini, yang membuat hariku semakin buruk: lelaki itu tidak datang. Aku pikir, dengan melihatnya, hatiku sedikit lebih tenang, tetapi tidak. Justru lelaki itu tidak hadir. Mungkin, ini lha jawabannya. Hari yang buruk sepertinya akan terus berlanjut. Dan aku semakin malas melanjutkan hari. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tidak ada lagi semangat yang tertinggal dalam diriku.

Jumat, 28 Maret 2014

            Sudah seminggu berlalu, hari yang selalu aku tunggu-tunggu telah tiba (lagi). Hari ini, seperti Jumat sebelum-sebelumnya, aku menggebu-gebu. Sebelum berangkat menuju perpustakaan, aku berdoa, berharap supaya hari Jumat ini tidak seperti Jumat lalu. Dan sepertinya, Tuhan tidak mengabulkan doaku pagi ini dan alam pun tidak berpihak kepadaku. Pasalnya, spot favorit kami, (boleh dong, ya, aku sebut ‘kami’?), ditempati oleh sepasang kekasih, yang seperti tampak nyaman sekali membaca dalam diam pada kencan mereka. Aku hanya bisa melirik iri. Akhirnya, aku hanya meminjam satu buah buku fantasi untuk dibawa ke salah satu coffee shop dibelakang perpustakaan ini. Hari Jumat indahku (biasanya), ditutup dengan satu cangkir espresso dan satu buah novel yang sedaritadi aku paksa untuk mengalihkan pikiranku dari sebuah pertanyaan: ada apa dengan lelaki itu?

Jumat, 4 April 2014

            Pagi ini aku terbangun dengan pertanyaan yang sama dengan Jumat lalu: ada apa dengan lelaki itu? Langkahku menelusuri lorong perpustakaan diiringi oleh satu pertanyaan tersebut. Aku berusaha berpikiran positif, tetapi tetap saja ada hasutan-hasutan negatif yang menghantuiku. Dan ternyata, hasutan-hasutan tersebut bersorak gembira. Lelakiku tidak datang (lagi). Sudah 3 Jumat lelaki itu tidak datang. Pertanyaan dibenakku semakin banyak bermunculan dan aku sedang tidak dalam mood baik untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan random itu.

Jumat, 11 April 2014

            Hari ini aku tidak pergi ke perpustakaan seperti Jumat biasanya. Aku kedatangan tamu dari luar kota, teman lama. Semua pertanyaan yang bermunculan, tertunda sementara. Untuk hari ini, mood-ku tertolong.

Jumat, 9 Mei 2014

            Sudah 4 Jumat berlalu, baru Jumat ke-4 ini aku menyempatkan diri pergi ke perpustakaan. Memang, sih, aku sudah tidak berharap bertemu kembali dengan lelaki itu, tetapi aku masih penasaran. Ah, oke, aku jujur, aku masih berharap, tetapi sedikit. Dan benar saja, begitu aku sampai di sana. Aku tidak menemukan lelaki itu duduk di spot kami. Sepertinya, aku akan menyerah saja. Percuma berharap kalau yang kita harapkan adalah sesuatu yang benar-benar tidak pasti.

Jumat, 30 Mei 2014

            Jumat ini adalah Jumat terakhir pada bulan Mei. Aku sudah tidak berkunjung ke Perpustakaan itu selama 3 minggu berturut-turut, termasuk Jumat ini. Pasalnya, pukul 11.00 WIB pesawat yang aku tumpangi, take off. Dan di sini lah aku, pukul 07.00 WIB terdampar di Starbucks bandara. So early memang, tetapi aku berjanji akan menikmati detik-detik terakhirku sebelum meninggalkan Jakarta untuk beberapa bulan kedepan. Bersama dengan satu gelas Pappermint Mocha Frappucino dan novel terbaru dari Winna Efendi, aku sangat menikmati pagiku ini. Ditambah lagi kabar dari kakakku, Dimas, akan menyusulku begitu aku sampai di Kuala Lumpur nantinya. Oh! Sepertinya berkah hari Jumat tidak sampai di sini. Aku merasakan ada seseorang memandangiku dari samping, seperti dua atau tiga meja dariku. Saat aku menoleh kearah yang membuatku penasaran, benar saja, aku mendapati sepasang mata melihatku. Sepasang mata yang tenang dan dalam. Sepasang mata yang selama ini aku cari dan tunggu. Sepasang mata yang aku rindukan.

            Saat aku merasa mata kami saling mengunci, ia mengalihkan pandangan. Setelah itu, aku melihatnya menuliskan sesuatu pada note yang ada didepannya. Kemudian, dengan tiba-tiba, ia berdiri dari duduknya dan berjalan ke arahku. Oh, God! Perutku melilit. Dan kemudian tanpa meminta izin, ia duduk dibangku depanku sembari menyerahkan sobekan note yang sepertinya ia tulis tadi. Isi kertas tersebut adalah

Halo! Nama gue Ardhito. Lo? Sorry, creepy ya? Gue tunawicara, bisu.

Saking tidak percayanya, aku membaca kertas itu berkali-kali. Begitu kesadaranku kembali, aku melihat raut wajahnya dan kemudian ia tersenyum dan menyerahkan pulpen. Oh, dia ingin aku membalas dikertas itu rupanya.

Hai! Gue Maya. Oh, its okay. Lo yang di Perputakaan itu, kan?

Iya, lo juga kan? Lo ngapain di sini? Btw, Nice to know u, Maya.

Iya, gue juga. Gue ada flight ke KL pukul 11 nanti. Lo?

Gue mau ke Aussie, satu jam lagi boarding dan gue harus cabut sekarang. Boleh minta nomer hp lo?

Oke, 0812xxxxxx12. Save flight, see u!
            
Dan, setelah aku membalas pesan terakhir itu, Ardhito berdiri dan mengajakku bersalaman. Sepertinya untuk formalitas dua orang yang baru berkenalan. Setelahnya, ia pergi dengan tas ranselnya dan meninggalkan senyum yang lebih hangat. Aku merasakan sekujur tubuhku ikut menghangat dan merinding disaat yang bersamaan. Aku tau ini bukan percakapan kami yang terakhir. Ah, ternyata benar, bila kita sabar menunggu, semua akan indah pada waktunya. Aku hanya bisa bersyukur.




***
23.39 - 2 Juli 2016