Sabtu, 15 Desember 2018

Berlari dan Pergi



"Ini sudah pukul 7 malam. Kenapa baru datang?"

"Macet."

"Itu bukan alasan. Aku kenal kamu."

Kamu duduk di tepi bangku. Jauh dariku. Kemudian, hanya bisu dan terpaku.

"Kenapa selalu berlari?"

Tidak ada jawaban dari mulutmu. Aku sedikit mendekat dengan ragu.

"Butuh waktu berapa lama lagi?"

"Aku.."

Aku menunggu jawabmu. Tapi, hanya itu. Kamu kembali membatu.

"Aku tidak punya banyak waktu. Aku butuh penjelasanmu."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi."

"Kenapa? Kamu takut merasakan rasa salah? Atau rasa sesal?"

Kamu termangu. Matamu terlihat pilu.

"Maaf, aku tidak bermaksud sekasar itu. Aku hanya..."

"Aku mengerti. Kamu memang benar. Aku takut. Tapi, bukan dengan kedua rasa itu, melainkan dengan kamu."

"Kenapa aku?"

"Aku takut ini terlalu menyakiti. Aku takut duniamu berhenti."

"Sebelum kamu berkata seperti ini, itu sudah terjadi."

"Iya, aku tau. Aku pun kenal kamu. Tapi, aku tidak bisa. Kamu tidak akan mengerti. Ini terlalu rumit."

"Kamu meragukanku? Atau meragukan hubungan ini?"

"Hubungan ini."

"Kalau begitu, selesaikan saja. Jangan berlari. Kamu tau itu semakin menyakiti."

"Maaf, aku hanya butuh jeda. Mungkin saja, ragu ini dapat mereda."

"Ternyata tidak, bukan?"

"Maaf.. Tapi, sungguh, bukan ini yang aku mau."

"Kamu..."

Suaraku parau.

"Jangan menangis di sini. Sebentar lagi, keretaku datang."

"Kamu hati-hati."

"Kamu juga. Jaga diri. Jaga hati. Bukan untukku, tapi untuk masa depanmu."

"Kamu juga. Jika ada kesempatan lain, beri aku kabar."

"Untuk apa? Jangan berharap. Aku takut."

"Tidak, tidak. Hanya untuk bertukar cerita. Bertukar kehidupan setelah aku tidak lagi di sisi."

Keretamu datang sangat cepat. Secepat kamu berlari hingga benar-benar pergi.

"Aku pergi. Maaf untuk segalanya. Aku masih sayang kamu."

Kamu pergi.

Tidak menoleh kepadaku lagi.

Kamu pergi.

Meninggalkan hati yang sepi.

Kamu pergi.

Menghancurkan mimpi-mimpi.

Kamu pergi.

Hati

ini

terbengkalai.


***
Jakarta, 15 Desember 2018

Sabtu, 27 Oktober 2018

Bergerak dan Bertahan



"Ram, kenapa ya, aku pasti tremor kalau mau motret?" kataku dengan lalu, dan masih berusaha mengambil satu saja foto dirimu yang layak untuk dipamerkan.

"Mana aku tau. Kan, yang tremor kamu, bukan aku." jawabmu dengan nada khas nakal yang sedikit menyebalkan.

"Ram, liat, deh!" ucapku sambil menarik tangan kirimu. Kamu memutar badan dan pandangan matamu mengikuti arah tanganmu yang aku tarik untuk menunjuk satu titik.

Kerlap-kerlip lampu diantara gedung-gedung yang menjulang tinggi.

Kami diam beberapa saat, sampai akhirnya kamu berkata, "Ah, biasa aja."

Kamu berdalih. Pura-pura tidak terkesima. Aku tau, kamu pun setuju dengan pemandangan yang indah itu. Pemandangan indah tidak selamanya alam hijau atau matahari tenggelam diujung senja, bukan?

Kami berhenti di jembatan yang menghubungkan antara satu halte TransJakarta dengan halte lainnya. Kami menikmati semilir angin malam yang cukup bersahabat. Lalu lintas dibawah kami cukup padat, tapi tidak bising. Mungkin, orang-orang sedang malas memainkan klaksonnya seperti biasa.

"Kenapa orang-orang mau, ya, macet-macetan?" tanyamu dengan mata lurus memandang ke jalan.

"Karena keharusan. Mau tidak mau mereka harus tetap bergerak." jawabku dengan pandangan yang sama.

"Kamu pun begitu?"

"Iya, aku yakin, semua orang pun begitu."

Kami terdiam. Angin memainkan anak rambutmu. Kamu terlihat sibuk dengan pikiranmu. Pun terlihat tenang.

"Kamu lagi mikir apa?" tanyaku yang masih memandangmu. Aku selalu suka membiarkan mataku terhanyut kedalam dirimu.

"Enggak papa. Aku cuma heran, apa bedanya bergerak dengan bertahan?" tanyamu dengan alis berkerut.

Aku tersenyum. "Bagiku, semua orang butuh untuk bergerak agar tetap bisa menghidupi hidup. Tapi tidak dengan bertahan. Bertahan itu sulit. Apalagi, bertahan untuk tetap hidup pada satu titik kehidupan." jawabku sembari kembali memperhatikan mobil-mobil yang sibuk mencari celah untuk mendahului.

"Kenapa sulit?"

"Tidak selamanya satu titik dalam hidup itu kita inginkan. Itu yang membuat sulit."

"Jika bertahan untuk hidup dititik yang kita inginkan itu mudah, kenapa harus merasa sulit ketika ada dititik yang tidak diinginkan?"

"Karena pada dasarnya, ego sangat mendominasi. Diinginkan dan tidak diinginkan hanya perkara nafsu atau ego kita semata, bukan?"

Kamu tersenyum dengan tatapan yang semakin melembut. "Jadi maksudmu, bahwa sebenarnya, tidak semua titik yang tidak kita inginkan itu terasa sulit. Justru sebenarnya mudah dan mungkin itu adalah titik yang kita butuhkan. Begitu?" ucapmu dengan tetap menatap mataku semakin dalam.

Aku semakin terhanyut. Aku merasa, saat ini, hanya satu yang aku butuhkan. Oksigen. Aku takut tidak bisa bernapas saat tenggelam didalam matamu. Dan dirimu.

"Betul! Kamu cenayang, ya?" jawabku dengan sedikit gugup. Aku hanya ingin bernapas lega dan merasakan angin lagi, Ini terlalu sesak. Iya, untuk hatiku.

Kamu tertawa. Sedetik kemudian, kamu menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan kembali.

"Aku tau, Ram. Aku hanya perlu merasakan dan menemukan apa yang sesungguhnya aku butuhkan."

"Hanya itu?"

"Iya, hanya itu. Karena dalam prosesnya nanti, aku pasti akan tau apa yang sebenarnya aku inginkan, yang lebih dapat membuatku bergerak untuk terus menghidupi hidup."

"Dan jangan lupa poin bertahannya, Rys."

"Tentu! Bergerak dan bertahan. Terima kasih, Ram!" ucapku dengan menghadap ke arahmu dan tersenyum jenaka.

Kamu tertawa.

Dan menguatkan genggaman kita.



***
Jakarta, 27 Oktober 2018

Kamis, 27 September 2018

Senja yang Merindu



Senja hari ini
Tak seperti senja kemarin
Senja hari ini redup
Tak menampakan semburat warna lain
Sepertinya senja tau
Akan hati yang merisau
Pun senja mengerti
Atas harapan yang hanya terpatri
Dan masih menunggu untuk terealisasi
Semoga senja tidak sadar
Bahwa rindu ini semakin mengakar
Agar senja tidak turut merayakan
Perihal rindu yang tak kunjung diluapkan


***
Jakarta, 27 September 2018

Rabu, 19 September 2018

(Bukan) Teman Hidup



Genap empat bulan Nadin menghilang. Tidak membalas pesan-pesan yang gue tinggalkan disemua media sosial dan tidak pernah menjawab panggilan gue, entah itu nomor pribadi atau nomor rumah, bahkan sampai nomor kakak dan ibunya. Ressa, sahabat Nadin, selalu berkata bahwa Nadin baik-baik saja dan sedang butuh waktu sendiri. Lo tau, Din? Ini bukan lo banget. If you need it, you always shout it out, bukan menghilang tanpa kabar gini. And the worse thing is, it is only me, isn’t it? Kenapa, Din?

Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang, dan malam ini, pertanyaan itu sudah diujung lidah menunggu untuk dilontarkan. Hingga pada akhirnya, kemarin malam, Nadin mengirim pesan via WhatsApp.

“Gue mau ketemu. Besok di NZ Cafe jam 8 malam.”

“Nadin.. Lo gamau liat gue ngisi? Dari jam 7, please? Jam 8 udah kelar.”

“Oh, lo masih ngisi. Ok, see you.”

Hari ini, malam minggu yang ditunggu-tunggu. Selama dua tahun solo akustikan di cafe-cafe, baru kali ini merasa super nervous. Selama empat tahun gue bermusik, baru kali ini gue merasa sangat tidak siap untuk ditonton. Bukan tentang performa, gue sadar, ini tentang siapa yang akan datang nanti malam. Setelah empat bulan tidak mau berhubungan atau hanya sekedar melihat gue.

“Rapi banget lo, Za? Mau manggung di mana?” celetuk Rendi, teman sekontrakan gue. Gue melengos ke dapur sembari mengedarkan pandangan mencari gelas favorit gue.

“Gelas lo ada di rak piring nomor dua dari bawah.” Lanjut Rendi masih dengan tatapan curiga. “Lo gamau banget jawab pertanyaan gue?”

“Di NZ kayak biasa.” jawab gue sambil mengambil gelas dan menuangkan teh celup melati, gula, dan air panas. Kata Nadin, harumnya teh melati bisa bikin kita jauh lebih tenang. Iya, Nadin. ”Nadin dateng. Dia ngajak ketemu.”

WHAT?!

“Gue berangkat dulu. Nanti gue telfon kalau gue tiba-tiba butuh supir. Lo nggak pergi, kan?”

“Enggak, kok. Good luck, Bro!” Rendi melempar tinju ke bahu Oza.

“Sekali lagi, selamat datang untuk kalian yang baru aja bergabung. Gue, Oza, yang udah hampir satu jam menemani kalian di sini dan akan menemani kalian yang baru datang untuk beberapa menit kedepan.” Gue mengedarkan pandangan ke penjuru NZ Cafe. Belum ada Nadin.

“Oke, lagu selanjutnya masih dari Tulus dengan judul Sepatu. Selamat menikmati.” Suara intro gitar melantun ke penjuru cafe, membuat semua pengunjung terlena dan memfokuskan pandangannya ke satu titik di panggung. Kata orang-orang, gue selalu menyihir para wanita, terutama pecinta romance. Bagi gue, itu bukan suatu kebanggaan, karena Nadin, perempuan pecinta romance yang hampir enam tahun bersama gue, tidak pernah ikutan melihat gue dengan cara mereka—wanita-wanita yang melihat gue seperti tersihir. Walau dia yang sepenuhnya mendukung gue untuk terus bermusik, terutama solo akustik. Nadin, teman sekaligus manajer pribadi gue. Bukan, gue bukan musisi besar yang sampai punya manajer. Tapi, secara keseluruhan, dia yang membantu gue mengatur waktu gue, kuliah, latihan, tampil, dan menulis paruh waktu untuk salah satu media online. Kayak sepatu, Nadin itu pasangan gue, yang selalu mengimbangi langkah gue, yang selalu mau menunggu kalau gue lagi stuck disatu titik dan menemani gue untuk berjalan kembali.

Didekatmu kotak bagai nirwana, tapi saling sentuh pun kita tak berdaya

Detik itu, Nadin memasuki cafe dengan mata tajam yang mengarah lurus ke manik mata gue. Nadin tidak sama seperti terakhir gue lihat, empat bulan lalu. Rambut dipotong sebahu, ada jepit rambut abu-abu yang elegan disisi kiri, dan menggunakan softlense, satu benda yang jarang ia sentuh jika tidak benar-benar butuh. Tapi Nadin masih dengan sepatu converse biru buluknya dan a line dress yang kali ini berwarna abu-abu seperti jepit rambut dan softlense-nya. Gue tidak yakin lirik selanjutnya apa...

Cinta memang banyak bentuknya, mungkin tak semua bisa bersatu

Tepat saat kata dilirik terakhir selesai, Nadin duduk disalah satu kursi favorit kami yang gue reserved. Dia tau meja itu gue reserved untuk kami. Nadin selalu tau. Gue diam sepersekian detik untuk mengatur nafas yang mulai memburu. Nadin memanggil pelayan.

Well, ini lagu terakhir dari gue. Lagu ini punya arti lebih bagi gue dan lagu ini gue persembahkan untuk sahabat terbaik gue, teman hidup terbaik gue selama ini. Perempuan dengan senyum miring termanis di sudut ruang dekat jendela. Teman Hidup dari Tulus.” ucap gue sambil menatap tepat di mata Nadin. Akhirnya.

Dia indah meretas gundah, dia yang selama ini ku nanti
Membawa sejuk, memanja rasa, dia yang selalu ada untukku

Nadin tidak tersenyum sama sekali. Biasanya, kalau gue bercanda sok romantis—tapi serius, kayak tadi, dibibirnya akan muncul senyum miring yang menyenangkan dan mata nakal yang berbicara, “Mati lo abis ini.”

Di dekatnya aku lebih tenang, bersamanya jalan lebih terang

Gue tetap mempertahankan senyum kecil diantara lirik-lirik yang berusaha gue ingat. Gue hanya berdoa, semoga liriknya benar. Karena kalau salah, Nadin pasti malu. Gue? Tidak peduli, mau benar, mau salah, yang penting Nadin baik-baik aja. Tapi...

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku, berdua kita hadapi dunia
Kau milikku milikmu kita satukan tuju, bersama arungi derasnya waktu

Gue melihat sesuatu yang sangat tidak biasa. Lo tau apa? Pandangan Nadin kosong. Mata dia memang menatap kearah gue, tapi kosong. Terakhir gue lihat mata Nadin seperti itu saat dia gagal mendapat beasiswa luar negeri untuk ketiga kalinya, dua tahun lalu. Itu pun tidak lama, karena Nadin cerdas dan ulet. Ia bisa bangkit dengan mudahnya, sehingga tatapan kosong seperti itu hanya bertahan beberapa hari saja. Malam ini, malam yang seharusnya gue melihat mata yang selalu membuat jiwa gue membara, ternyata kosong.

Kau milikku, ku milikmu

Tepat pada lirik itu, Nadin membuang pandangan. Ia memutuskan kontak mata kami. Gue tetap bertahan untuk beberapa lirik kedepan, walau akhirnya gue pun beralih. Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nadin menunduk dan tidak lama, mengeluarkan ponselnya. Satu hal yang jarang ia lakukan jika sedang asyik menikmati suasana. Berarti dia sedang tidak menikmati suasana, dong? Gue semakin tidak karuan. Lirik-lirik selanjutnya meluncur cukup lihai dengan nada yang pas. Gue bersyukur. Setidaknya, lagu ini tidak buruk-buruk banget.

Setelah membereskan semua peralatan gue dan menaruh ke staff room, gue berjalan menuju meja Nadin. Nafas gue semakin memburu. Ini nervous melebihi sidang skripsi. Gue tetap tersenyum and pretend like nothing happened.

“Hai, Din!” Cuma itu yang keluar dari mulut gue. Lo harus tau sekaku apa mulut gue saat itu. “Lo mau pesen makanan? Gue laper.” tanya gue yang hanya dijawab anggukan oleh Nadin. Setelah kami pesan, gue mencoba membuka obrolan dengan ngegaring. “Lo lagi sariawan, Din? Diem aja.” Yeah, thank you pujiannya, people!

“Gue... Ehm, lo apa kabar, Za?” Nadin membetulkan posisi duduknya, dan sekarang kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang sudah bertaut diatas meja.

“Seperti yang lo lihat, baik dan berantakan. Always, right?” jawab gue sambil mengendikan bahu. Gue berusaha sesantai mungkin. “Lo gimana? Empat bulan menghilang, lo punya utang cerita ke gue, right?

“Gue...” dan pelayan pun datang mengantarkan pesanan kami. Gue menahan umpatan. Enggak, enggak boleh ngomong kasar, ya, Za, kata gue dalam hati. Setelahnya, kami sama-sama asyik menyantap makanan dengan pikiran masing-masing. Ini bukan kami. Ini bukan Nadin, dan jelas, ini juga bukan gue.

“So.. How was your day?” tanya gue seperti biasanya. Iya, seperti hari-hari yang kami lalui biasa. Gue dengan aktivitas gue, dan dia dengan segala kesibukannya. Hingga pada ujung hari, kami selalu menyempatkan makan malam atau hanya sekedar bertukar kabar via Skype.

“Lelah, Za. Hari ini, gue seperti robot, dan ini” Nadin mengeluarkan dua lembar amplop kecil dari dalam sling bag hitamnya. Satu amplop berwarna cokelat polos dan satu lagi berwarna rose gold. Sepertinya, jantung gue berhenti berdetak sepersekian detik.

“Apa tuh? Lo mau ngasih gue duit? Pakai amplop segala.” ucap gue sambil ketawa. Gue berusaha bercanda seperti biasa. Tapi, Nadin bergeming. Gue membuka amplop cokelat.

“Jadi, setelah sempat putus asa dari Swiss dan Jerman, lo beralih ke Swedia?” gue tersenyum lebar dan Nadin pun begitu. Gue tau dia hebat.

Well, gue daftar dua beasiswa dan dua-duanya dapet. Tapi, setelah beberapa pertimbangan, gue ambil yang Swedia ini. Bokap nyokap juga lebih setuju gue ambil yang ini karena...” cerita Nadin berhenti.

“Karena?” tanya gue dan mata Nadin menunjuk ke amplop rose gold yang ada didepan gue, yang belum gue sentuh sejak dikeluarkan. Gue semakin penasaran yang membuat detak jantung yang semakin cepat.

“Lo... Mau nikah?” tangan dan suara gue bergetar. Gue tidak percaya, gue menatap Nadin, mencari penjelasan dari mata itu. Semoga Nadin bercanda, kalimat itu yang gue ulang dalam hati.

“Iya... Dua hari setelah terakhir kita ketemu, Om Reno datang ke rumah. Beliau minta gue jadi calon istri dari anak sulungnya. Lo tau gimana hubungan bokap sama Om Reno, kan?” Nadin menatap gue, sayu. Kemudian, kosong. Gue kembali melihat ke ukiran nama dibelakang cover, Ardhi&Nadin. “Mas Ardhi?” tanya gue pada diri sendiri, tapi sepertinya Nadin dengar, karena dia langsung membuang muka.

“Kenapa Mas Ardhi nggak pernah cerita ke gue, ya?”

“Karena Mas Ardhi takut bikin lo patah semangat.” Dan patah hati, imbuh gue dalam hati. Itu klasik, Nadin. Cowok itu hanya tidak punya nyali buat ngomong langsung ke gue. Tapi, gue juga. Salah, apalagi gue, nyali gue kecil, lebih kecil dari nyali Mas Ardhi.

“Itu kenapa gue menghilang empat bulan ini. Gue butuh waktu sendiri dan gue.. Gue ingin membuktikan sesuatu.” Air mata Nadin mulai turun. Gue bergeming.

“Empat bulan ini gue berpikir, apa yang sebenarnya gue dan lo—selama enam tahun, sedang lakukan. Kalau lagi nggak ada lo, gue tetap bisa menjalankan hari-hari gue seperti biasa dan terus berkarir seperti semua impian gue. And true, gue bisa. Waktu ada lo, gue pikir gue nggak bisa. And yes, kalau gue masih bertahan di zona nyaman gue yang dengan lo ini, gue nggak akan berkembang. Dunia lo memang berkembang, tapi gue? Lo pernah mikir dunia gue berkembang juga atau nggak?” Mata Nadin semakin sayu, perbedaan yang sangat kentara dengan nada bicaranya yang berapi-api. Gue tidak menyangka ini semua yang Nadin pikirkan selama ini.

“Jawabannya itu nggak, Za. Lo emang pasangan sepatu yang paling menyenangkan dan teman hidup yang menenangkan, tapi lo bukan yang bisa membuat kita saling melangkah bersama. Lo hanya membiarkan diri lo yang melangkah dan mebuat gue menumpang di kaki lo. Ini bagi gue, mungkin bagi lo, kita adalah sepasang sepatu yang memiliki tujuan yang selalu sama dan teman hidup yang serasi. Sorry kalau gue nggak setuju.” Nadin meremas kedua tangannya. Ia menahan emosi, tapi kenapa sarat matanya tidak menunjukkan hal yang serupa?

“Bahkan, lo nggak mau mengakui perasaan lo, kan? Gue tau lo sayang, bahkan cinta ke gue. Gue pun tau, kalau lo tau, gue juga merasakan hal yang sama. Tapi, apa? Lo tidak mengambil langkah lebih. Lo hanya berkutik diketakutan-ketakutan lo sendiri. Jadi, gue menerima tawaran Om Reno dan Ardhi untuk mengenal lebih dekat. Gue mencoba membuka hati baru tanpa sepengetahuan lo, selama gue menghilang.” Nadin menyeruput es teh yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.

Sorry, Za. Gue.. Gue nggak tau harus gimana. Sorry kalau kata-kata gue terlalu kasar.”

It’s okay, Din. Gue tau itu dari hati lo yang terdalam.” Gue hanya bisa tersenyum lemah dan berusaha menyusun kalimat. Dan juga hati.

“Semua yang lo bilang ada benarnya. Gue terlalu membiarkan kita di zona nyaman. Dan gue tidak pernah membiarkan lo melangkah. Karena gue pikir, zona ini sudah sangat cukup karena tujuan kita sama. Semua yang kita punya selama enam tahun ini sudah lebih dari cukup.”

You know, I love you. And of course you know, gue akan melakukan apapun untuk menjaga lo dan membuat lo selalu nyaman dan happy. But, now, I know, thats not enough. Gue nggak bisa lagi menghalangi semua jalan dan pilihan lo. Gue tetep mau lo seneng dan nyaman dengan hidup lo. Walau itu tanpa gue.” ucap gue dengan memegang kedua tangan Nadin dan menatap matanya. Tangan Nadin bergetar, atau ini tangan gue, ya?

So, you will be Ardhi’s wife next month?! Hahaha, gue nggak percaya lo nikah secepat ini.” Gue menghela nafas dan menyenderkan punggung. Rasanya memang sakit, tapi lega. Can you describe this?

“Hahaha, apalagi gue. Ardhi dapet tawaran kerja di sana, by the way. Jadi, kami akan pindah ke Swedia. Memulai hidup baru di negara baru yang nggak pernah gue pikirkan sebelumnya. Ardhi udah mikirin itu, sih. Bagi dia, ini bukan kejutan atau kebetulan. Bagi dia, ini sudah rencana Tuhan. Sounds weird, huh?” Nadin tertawa sembari menghapus sisa air mata. Gue membantunya dengan menyodorkan tisu dan tersenyum.

“Asal lo janji jangan nangis dan bermata sayu kayak gini lagi, ya? Gue ikhlas, kok.” ujar gue yang sok bijak dan tegar ini. No, gue memang tegar. Lo semua yang bakalan mewek kalau jadi gue, betul?

Nadin tersenyum dan matanya kembali bersinar lagi. Sisa malam itu kami habiskan dengan membicarakan hidup masing-masing selama empat bulan tidak bersama. Pun membicarakan rencana masing-masing. Nadin terutama. Gue? Gue belum punya rencana sematang dan sejelas Nadin. Gue tidak pernah berpikir rencana hidup tanpa Nadin, sebelumnya. Tapi, sepertinya Nadin sudah melakukan hal itu. So, gue pun harus cepat-cepat melakukan hal yang sama. Betul, agar gue bisa membuktikan ke Nadin, kalau gue juga punya hidup dan rencana masa depan yang tidak kalah indahnya. Bikin Nadin nyesel? Of course! Hahaha. Jahat? Tidak juga. Sebagai pembelajaran aja, bahwa tidak selamanya manusia gagal dititik nyamannya. Ia pasti tau kapan harus bangkit, berjalan, dan kapan ia harus berhenti untuk menikmati kenyamanan yang sudah ia punya. Gue ingin membuktikan bahwa zona nyaman yang gue punya tidak akan menghalangi semua rencana hidup gue. Cari cewek baru? Itu gampang! Yang susah adalah cari teman hidup baru. But, let’s see!



***
Jakarta, 18 September 2018

Jumat, 24 Agustus 2018

Di Stasiun Sore Itu



Aku sudah pernah cerita, belum? Kalau aku menyukai stasiun. Aku menyukai hiruk pikuk dari ruang tunggu, loket tiket, dan cafetaria. Tapi, kamu selalu tersenyum miring. Katamu, "Mereka hanya melakukan kegiatan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang spesial." Tidak, kamu tidak mengerti. Stasiun menjadi tempat singgah dari satu tujuan ke tujuan berikutnya.
"Kenapa kita selalu bertemu di stasiun?" tanyaku sambil lalu.
"Karena tujuan kita tidak pernah sama." jawabmu sambil memainkan permainan di handphone-mu.
"Tapi, pulang kita tetap sama, kan?" tanyaku dengan sedikit serius.
"Kota atau arti yang sebenarnya?" balasmu dengan lirikan sekilas ke arahku.
Aku terdiam. Sebenarnya, aku tidak punya maksud apapun, hanya untuk membuka topik saja. Tapi, sepertinya ini menarik. Stasiun memang identik dengan tujuan dan pulang. Tapi...
"Katamu, stasiun salah satu tempat krusial bagi orang yang akan bepergian, tapi kenapa kamu selalu bermasalah dengan sebuah pulang?" selamu tiba-tiba. Saat aku sadar, kamu sudah menaruh perhatian penuh kepadaku. Handphone-mu sudah berada didalam saku celana dan kedua tanganmu sudah bertaut sembari memandang wajahku.
"Aku... Aku tidak tau."
"Kamu bahkan tidak pernah keberatan untuk pergi ke tempat-tempat jauh. Sekalipun itu tempat asing bagimu." imbuhmu, seperti menyudutkanku.
"Aku hanya tidak mengerti. Ke mana aku harus pulang?" jawabku dengan pandangan lurus kedepan. Aku tidak sanggup jika harus menatapmu lebih lama.
"Bagiku, bertemu denganmu di stasiun ini pun, sudah menjadi pulangku." lanjutku tanpa memandangmu. Pulang tidak selamanya sebuah tempat yang tetap, bukan? Tambahku dalam hati.
"Tapi, bagaimana dengan Jakarta dan isinya?" tanyamu dengan satu alis yang terangkat.
"Itu pun, pulangku." jawabku yang saat ini berani memandangmu. Kamu tersenyum lebar. Kamu selalu mengerti maksudku. Jakarta beserta isinya dan kamu. Iya, kamu mengerti. Setiap stasiun memang hanya akan menjadi tempat singgah untuk jiwa-jiwa yang butuh pulang--atau butuh tempat sementara untuk melepas rindu sebentar.


***
Kutoarjo, 29 Desember 2017 - 17.30

Minggu, 05 Agustus 2018

Kal, Ve, dan Sepi



(Sumber: Dani Pambudi, 2018)


"Menurutmu, apa itu sepi, Ve?"

"Keadaan yang hanya ada diri kita sendiri."

*hening*

*Kal menunggu*

"Udah, Ve?"

"Udah. Memang harus seberapa panjang?"

"Hmmm."

"Itu menurutku, Kal. Kalau kamu tanya ke orang lain, mungkin bisa lebih panjang."

"Hmmm."

*hening*

"Kal, kenapa ikannya kamu taruh terpisah?"

"Awalnya, aku hanya beli satu. Setelah tiga hari, aku pikir ikan itu kesepian. Jadi, aku beli satu lagi."

"Lalu kenapa tidak kamu taruh di tempat yang sama?"

"Karena aku takut kalau mereka tidak cocok."

"What?!"

"Aku tau ini absurd, Ve. Tapi, aku selalu merasa semua makhluk hidup itu sama. Aku memperlakukan mereka seperti manusia yang memiliki perasaan."

"Wait, aku belum paham."

"Ve, kamu sendirian di suatu tempat baru dalam jangka waktu lama, akan merasa sepi atau tidak?"

"Of course, yes."

"Lalu ada satu orang datang, kamu tidak kenal. Apakah kamu mau dia langsung tinggal satu tempat denganmu dalam jangka waktu yang lama itu?"

"Enggak juga, aku harus kenal atau paling tidak tau dia dulu, dan ya, setidaknya aku tidak sendiri lagi."

"That's the point, Ve. Aku membeli satu ikan dengan tempat yang berbeda dan tempatnya disejajarkan agar mereka tau kehadiran satu sama lain dulu, dan ikan lama tidak lagi merasa sepi."

"Hmmm."

"Akan ada satu waktu, ikan lama ini berdiam disudut tempat ia bisa melihat dengan jelas si ikan baru. Pun begitu yang terjadi pada ikan baru."

"Dan pada saat tersebut kamu merasa mereka sedang 'berkenalan' atau 'berbicara' begitu, Kal?"

"Betul, Ve! Setidaknya, mereka memiliki teman berbicara."

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Karena itu yang akan aku lakukan jika terjadi padaku, Ve."

*hening*

"Terkadang, sepi itu menyakitkan, Ve. Sepi membuat kita seperti membunuh diri sendiri secara perlahan."

"Sekalipun kamu sedang dikeramaian?"

"Iya, kesepian tidak selamanya kita sedang didalam keadaan tidak ada orang. Sepi lebih dari itu."

"Apakah itu sebuah suggest?"

"Aku tidak tau, Ve. Jika itu suggest seharusnya sekarang aku merasa tidak kesepian."

"Dan kamu sedang merasa kesepian?"

"Hmmm."

*hening*

"Kal, kalau kamu sudah tau kapan waktunya ikan baru pindah ke tempat ikan lama, kabari aku, ok?"

"Ok."

"Aku ingin tau, menurutmu, seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kita saling tau atau mengenal satu sama lain dan tidak merasa kesepian."


*** 
Jakarta, 5 Agustus 2018 - 11.05

Kamis, 14 Juni 2018

Kal, Ve, dan Rindu

"Ve, kamu tau enggak? Rindu itu terbuat dari apa?"

"Dari... Lima huruf. Hehehe."

"Kalau itu terdiri, Ve, bukan terbuat."

"Apa, dong? Aku enggak tau."

"Kamu pernah rindu, Ve?"

"Kayaknya, enggak."

"Kok, bisa, sih?"

"Aku enggak tau. Aku cuma tau, kalau aku pengin ketemu seseorang, ya, aku harus berusaha temui dia."

"Kalau ternyata kamu enggak bisa temui dia?"

"Aku enggak pengin lagi dan enggak akan aku pikirin."

"Segampang itu, ya, Ve?"

"Iya. Kenapa harus susah kalau bisa dibuat gampang?"

"Kalau ada orang yang rindu sama kamu, tapi kamu enggak pengin ketemu dia, gimana, Ve?"

"Kalau orang itu niat dan beneran, you-called-it, rindu, ya, harus usaha bikin aku pengin ketemu dia."

*hening*

"Kal?"

"Hmmm."

"Kamu lagi rindu, ya?"

"Mungkin. Tapi, yang pasti, aku lagi sama kamu, Ve."

"Iya, aku tau. Garing, Kal."

"Hehehehe."

*hening*

"Ve, aku cuma takut, suatu hari nanti, kalau aku sedang rindu-rindunya, dia tidak ingin ditemui."

"Percaya, deh, Kal. Kalau rindu itu baik dan tulus, semesta akan mendukung."

"Kira-kira, aku baik buat dia, enggak?"

"Mana aku tau, Kal. Aku aja enggak kenal."

"Kamu kenal banget, kok, Ve."

"Oh, ya? Siapa?"

"Kapan-kapan aku kasih tau, kalau kamu udah tau rindu terbuat dari apa."

***
Jakarta, 14 Juni 2018 - 00:45

Sabtu, 09 Juni 2018

Membuka Lembar

Untuk pembuka sebuah lembar baru, kamu terasa sempurna.

Lembar pertama,
tulisan yang terukir dari pena terasa tegas.
Kata-kata yang tercipta pun terbaca dengan sangat jelas.
Seperti tidak ada ragu,
pena bergerak dengan sangat lihai.
Indah.

Lembar kedua,
gambar-gambar kecil mulai tercipta.
Mewakili kata yang tidak mampu dituliskan,
gambar membuat semua moment terasa lebih hidup.
Gambar tahu,
bagaimana menjelaskan setiap kata yang hanya ada didalam pikiran.
Indah dan nyata.

Lembar ketiga,
gambar-gambar itu mulai memiliki warna.
Belum warna warni memang.
Hanya saja,
menambah warna menjadi salah satu langkah besar.
Tulisan, gambar, dan warna.
Almost perfect.

Lembar keempat,
seharusnya setelah kata 'warna' akan ada kata 'warni'.
Sepertinya,
kata 'warni' bukan untuk lembar ini.
Sepertinya,
jalan ditempat adalah kata yang tepat.
Tak apa,
menulis kata 'jalan ditempat' pun tetap terasa indah.

Lembar kelima,
tinta pada pena, habis.
.
.
.
.
.
.
.
Tidak, masih terdapat banyak tulisan, gambar, dan warna.
Tidak seharusnya selesai di sini.
Sepertinya,
saya butuh mengisi tinta.



***
Jakarta, 9 Juni 2018 - 23:00

Senin, 05 Februari 2018

Kita dan Jarak

Pada suatu pagi, dibawah terik matahari, kamu berdiri.
Pandanganmu jatuh tepat dibelakang bahuku.
Mata yang selalu ramah, berubah menjadi layu tak ada arah.
Kamu mendekat, tapi tidak benar-benar dekat.
Maksudku,
Hei, ada apa? Kamu tampak tidak baik.
Kamu memang didekatku, tapi tidak dengan pandangan dan pikiranmu.
Kamu bilang, tidak apa-apa.
Tapi, semua yang kamu tunjukkan berkata apa-apa.
Berbagai macam duga dan tanya, singgah dikepala.
Kamu bilang, beri jarak pada kita.
Aku bilang, apa yang salah dengan kita.
Kamu bilang, hanya jenuh.
Aku bilang, mungkin pikiranmu sedang penuh.
Kamu bilang, mungkin saja.
Aku bilang, berapa jauh jarak yang kamu butuh?
Kamu bilang, sejauh apapun sampai kembali merasa utuh.
Aku bilang, dan kamu akan kembali?
Kamu bilang, iya akan kembali.
Aku bilang, jangan terlalu lama.
Kamu bilang, semoga saja.
Pada akhirnya, aku tetap membiarkanmu berlalu.
Dengan sendu yang mengganggu,
Dan rindu yang memburu.



***
Yogyakarta, 5 Februari 2018 - 16:18

Rabu, 31 Januari 2018

Another Day

“Dooo, di mana botol minum yang gue titipin?”

“Itu, didalem tas gue. Lo cari pake mata, dong!”

“Enggak nemu! Awas aja kalau sampe lupa bawa!”

Kedua orang itu saling berteriak, seolah-olah tidak ada orang, selain mereka didalam ruang kelas. Memang, hanya ada kami bertiga. Tapi, aku kan, juga orang, pantas dong kalau merasa terganggu. Iya, seharusnya sih, aku merasa terganggu. Sayangnya, tidak sama sekali. Aku terlalu terbiasa dengan semua keributan ini. Bahkan, ini belum seberapa. Percaya lha!

“Tuhkan, gue bilang juga apa!”

“Iya, maap, gue enggak liat, Do.”

“Heh! Mata lo ke mana sih, La? Itu botol gede banget, lho!” Aldo menggerlingkan mata.

Bisa aku tebak kelanjutannya, mereka berdebat tentang letak mata—yang seharusnya tidak perlu didebatkan—hingga salah satu dari mereka kehabisan kata-kata. Oh, aku? Aku hanya jadi penonton dan penyumbang efek ketawa aja. Mereka selalu menghibur. Benar-benar menghibur.

“Ren, mau makan enggak? Gue traktir.”

“Tuh, kan! Kenapa sih, lo curang banget, Do? Giliran gue ada rapat, lo mau traktir Rena. Giliran gue ikut, lo enggak pernah tuh, traktir kita!”

“Lo aja kali, yang kurang beruntung!”

“Sialan!” diikuti dengan lemparan pulpen ke Aldo. Kemudian, aku berdiri untuk memberi kode agar mereka berhenti bertengkar a.k.a bercanda. Aku membereskan barang-barangku diatas meja dan berjalan mendahului mereka ke depan pintu kelas.

“Ren, besok gue enggak bisa jemput lo. Gue harus nganterin ayah ke bandara. Lo sama Aldo aja, ya?” teriak Fella begitu aku sudah mencapai ambang pintu. Sembari aku menoleh ke belakang, aku berkata, “Iya, kalau Aldo enggak bisa tau enggak mau, gue naik ojek aja.”

“Iye, iye, gue jemput besok. Lo to the point kek, Ren!” saut Aldo yang membuat kami tertawa.

Begitu, lha, pertemenan kami. Tidak pernah tidak tertawa. Semua hal pasti tertawa, sekali pun sedang sedih. Tapi, khusus yang terakhir, hanya Aldo saja. Dulu, aku dan Aldo sedang menemani Fella di lobby rumah sakit tempat kakaknya kecelakaan dan koma. Pacar kakak Fella menangis tidak karuan dan tebak apa yang Aldo lakukan? Dia membuka salah satu OA receh di Line dan menunjukan salah satu post—yang sebenarnya tidak lucu—ke pacar kakak Fella sambil sedikit tertawa. Bayangkan! Iya, niat Aldo memang baik, untuk menghibur, tapi sangat tidak waras. Kalau kata Fella, “Gesrek lo, Do!”

“Lo mau makan apa, Ren? Gue ngikut.” kata Aldo begitu kami didalam mobilnya.

“Lo seriusan mau traktir gue?” balasku sambil melotot tidak percaya.

“Iya, Rena sayang, masa gue bercanda sih.”

“Abis kerjaan lo bercanda mulu sih.”

“Segitu seringnya, ya? Sampe lo aja enggak bisa bedain mana serius, mana bercanda.” Dan membuatku melempar tatapan ke jendela samping kiri. Kalimat terakhir Aldo terngiang-ngiang di kepalaku. Jika Aldo hanya berdua dengan Fella, apakah ia juga seperti ini? Aku tidak pernah tau, sebab kami terlalu sering bertiga dan banyak bercanda.

Mobil Aldo mengarah ke jalan Rasuna Said. Aku tau ke mana kami menuju. Tempat favoritku. Bila aku hanya berdua dengan Aldo, kami pasti ke tempat itu, salah satu restoran fast food di mall di Jalan Rasuna Said. Bukan berarti ditempat lain atau di mall lain tidak ada restoran tersebut, tetapi suasananya yang nyaman. Seperti biasa, kami memesan menu ayam yang sama dengan soda yang berbeda warna. Mencari tempat duduk di outdoor hanya untuk menikmati angin sore dengan pemandangan langit jingga dibalik gedung gedung tinggi dan suara riuh rendah dari lapangan bola milik salah satu universitas swasta dibelakang mall. Pemandangan tersebut ada di sisi kananku dan di sisi kiri Aldo. Aldo membuka bungkus rokoknya dan aku melotot.

“Matanya biasa aja dong, Mbak.” sambil menaruh lagi bungkus rokok ke dalam tasnya.

“Lo kayak anak kemaren sore aja sih. Heran gue.”

“Lo sewot aja sih. Harusnya gue ajak Fella nih, biar ada temen ngerokok.”

“Yeh, nyari penyakit kok ngajak-ngajak.” kataku sambil mengeluarkan kamera, bersiap untuk mengabadikan anak kecil yang sedang berjalan ke arah meja kami. Hanya dua menit dan aku mendapatkan dua foto lucu yang sedang tersenyum sambil berjalan ke arah meja sang ibu yang ada tepat dibelakangku. Aku tidak dapat menahan senyum selama beberapa saat.

“Udah dong, Ren, senyum-senyum sendirinya! Sini, bagi-bagi ke gue, kek! Gue kan juga mau ketularan senyum lo itu.”

Kemudian, aku memberikan kamera ke Aldo, dan dia tidak berhenti tersenyum dan berkata, “Sumpah! Lucu banget! Jadi pengen.”

“Pengen apa, Do?”

“Pengen punya anak.” dan membuatku tersedak.

“Yang bener aja? Seorang Aldo? Tiba-tiba pengen punya anak?”

“Heran, kan, lo? Gue aja heran. Baru kali ini gue liat anak kecil dan fotonya yang super lucu dan langsung pengen punya anak. Hehehe.” Aldo cengar-cengir sambil mengembalikan kamera itu. Aku melihat lagi dua foto itu sambil berkata dalam hati, ini lo muji hasil foto gue atau apa sih?

By the way, gue enggak pernah nanya deh, ke lo ataupun Fella, kalian rencana nikah kapan. Kalau gue tanya ke lo sekarang, lo marah enggak?” dan lagi, Aldo membuatku tercengang. Untuk beberapa saat aku diam, menunggu kelanjutannya, apakah ada jokes atau suara ketawa selanjutnya?

“Ini lo nanya serius, Do?”

“Rena, gue harus gimana, sih? Biar lo enggak nganggep gue bercanda mulu.” Aldo mencondongkan tubuhnya ke depan dan membuatku mundur ke senderan kursi.

“Hahaha iya, maaf deh. Enggak, gue enggak marah. Shoot!” kataku sembari tertawa.

“Pada salah satu tangga hidup lo, ada satu anak tangga yang isinya nikah, enggak?” begitu lha, Aldo. Benar-benar to the point. Dia selalu tau kata apa yang pantas digunakan jika berbicara denganku, Fella, atau teman-teman yang lain. Masing-masing memiliki kosa katanya sendiri, seperti seolah-olah ia tau setiap inci pikiran lawan bicaranya.

“Ada, tapi bukan diawal setelah gue lulus. Mungkin, sekitar 4 atau 5 anak tangga setelah gue lulus.” Aldo benar-benar menyimak.

“Gue enggak tau apa yang bikin gue mikir gini sekarang, yang jelas semua pelajaran yang gue dapetin mulai dari keluarga sampai agama, membawa gue ke gue yang sekarang, dengan anak tangga yang sedikit berubah. Mungkin itu cliche, but true. Gue kayak seolah-olah abis melakukan perjalanan panjang gitu deh. Tapi, gue enjoy and I am so excited for my new plan. Percaya atau enggak, semesta pasti punya beragam kejutan buat kita, Do.” aku menyeruput soda hingga habis.

“Gue beliin lagi, ya, Ren. Sekalian gue mau pesen kentang, lo mau apa?”

“Soda aja deh. Thank you!”

Ini salah satu yang aku suka dari Aldo, dia mengerti kapan harus mendekat dan kapan harus memberi jarak. Dia mengerti tanpa harus diberi sinyal. Teman-able banget.

By the way, sejak kapan anak tangga lo itu mengalami perubahan, Ren?” tanyanya setelah kembali ke meja.

“Enggak tau, sejak semester empat, mungkin? Gue enggak tau tepatnya kapan. Proses bikin gue lupa segalanya soal waktu.”

“Lo percaya enggak, Do? Sama orang yang bilang kalau, semakin sibuk kita menjalani kenyataan dan mencari ‘sesuatu’, semakin kita merasa waktu berlalu sangat cepat dan kita tidak memiliki banyak waktu yang tersisa.” pertanyaanku disambut kerutan samar pada alis tebal Aldo. Aldo paling jarang menunjukan kebingungannya. Berpikir untuk soal susah saat ujian pun, dia jarang menyerngitkan alis.

“Gue enggak pernah kepikiran sampe kayak gitu sih, Ren. Lagian, gue heran, deh. Lo main di mana, sih, sampe bisa mikir kayak gitu? Perasaan kita bareng-bareng mulu tiap hari.” ujar Aldo sambil tertawa.

“Tuh, kan! Ditanggepinnya malah bercanda. Males gue!” bibirku mengerucut dan demo tidak mau menjawab pertanyaan selanjutnya.

“Hahaha, maaf maaf, deh.”

“…”

“Ren”

“…”

“Ren, kok diem?”

“…”

“Ih, gitu doang, ngambek!”

“…”

“Ren, ngomong, dong!”

“…”

“Sumpah, enggak lucu, Ren!”

“Lha, lo nyebelin, sih, Do. Gue jawabnya udah serius, lo malah bercanda.”

“Hahaha, iya, sorry!” sambil tetap tertawa dan membuatku ikut tertawa juga.

“Kalau gue tanya dengan pertanyaan yang sama, lo mau jawab, Do?”

“Shoot!”

“Di life mapping yang lo buat di dinding kamar lo, ada tentang nikah?” tanyaku kepada Aldo. Karena memang, diantara kami bertiga, yang membuat plan nyata tentang hidup hanya Aldo. Dia membuat life mapping pada salah satu sisi dinding kamarnya. Karena itu, kami tidak pernah diizinkan masuk ke kamar Aldo.

“Ada, tapi enggak dengan punya anak. Lo tau, kan, gue enggak suka ribetnya ngurusin kalau anak kecil udah nangis?” Aldo menyeruput sodanya.

“Tapi, sejak sore ini, setelah gue liat hasil foto dan segitu senyumnya lo. Gue jadi pengen punya anak. Kayaknya, ini bakal gue gambar juga di dinding kamar gue.” lanjut Aldo dengan mata menerawang keatas dan membuat aku sukses melongo.

“Aldo, bahkan itu tadi cuma hal kecil. Gue iseng foto anak kecil lewat. Random, like everyday I do that.

“Maka dari itu Rena, enggak selamanya hal yang lo anggap kecil dan sepele, enggak berarti buat orang lain. Ini salah satu efek positif, mungkin dilain waktu, ada efek negatif yang bisa lo timbulkan. Sama seperti bercanda, lo enggak bisa terus-terusan menganggap semua hal buat bercanda itu lucu. Gimana kalau orang itu sakit hati? Atau malah jadi baper?”

“Dan hal kecil yang lo lakuin tadi, sukses membuat satu gambar baru lagi didalam life mapping gue.”

Aldo mengatakan itu dengan menatapku langsung ke manik mata. Aku diam, tidak berkutik.

Apa kata Aldo? Lagi?

Aku semakin tidak bisa berkutik.




***


Yogyakarta, 31 Januari 2018 – 18:00 WIB