Selasa, 27 Juni 2017

Rasa Malam Ini

Ini menyakitkan.
Rasa itu menelisik dengan sangat lihai ke dalam relungku.
Aku bahkan tidak mengerti apa yang ia cari di sana.
Sebuah realita manis, pernyataan pahit atau hanya sekedar mencari tanya yang tak pernah terucap.
Aku tidak tahu bagaimana bisa kamu mempunyai pengaruh yang sangat dalam.
Kenapa?
Karena aku yakin, rasa yang masuk itu adalah kamu.
Sakit, memang, tapi bukan kah seharusnya kita sama-sama sudah terbiasa?
Kamu terbiasa dengan menciptakan dan aku terbiasa dengan penerimaan.
Aku dan kamu sama-sama tau rasa apa yang tumbuh saat ini.
Yang tidak kita tau, apakah rasa itu salah atau tidak?
Yang kita tau, setiap pertumbuhannya pasti menciptakan sakit.
Sebuah rasa yang telah akrab pada kita.
Mungkin untuk kali ini,
Tidak ada siapa pembuat dan siapa penerima.
Yang ada hanyalah, aku dan kamu, sama-sama merasakannya.


***
Kudus, 27 Juni 2017 - 23:15

Sabtu, 24 Juni 2017

Tatap dan Senyum

Pada lampu di ujung perempatan, kita berjumpa. Tatapmu lurus kedalam manik mataku. Aku diam membisu. 

Kita tidak beranjak. Seolah-olah, detik demi detik merayap pelan sembari menggerogoti kaki-kaki kita. Atau mungkin hanya kakiku yang pasalnya, seperti membeku ditempat atau dipaku kedalam bumi. 

Sejurus kemudian, kamu tersenyum. Senyum yang melelehkan semesta. Karena setelahnya, hujan turun rintik-rintik. Sepertinya, semesta pun setuju, bahwa senyummu dapat menggetarkan jantung siapapun. Termasuk aku dan langit. 

Pada detik itu pula, aku berdoa. Semoga Tuhan berbaik hati untuk mempertemukanku dengan tatap dan senyum itu setiap harinya di masa depan.


***
Pekalongan, 24 Juni 2017 - 21:47 WIB

Sabtu, 17 Juni 2017

Pertanyaan Bunga Kepada Daun

Tadi pagi, Bunga bercerita pada Daun. Bagaimana jika ia bisa menghentikan waktu? Walau hanya untuk sesaat. Daun pun menjawab, jika Bunga bisa, itu berarti Bunga hebat. Tapi, Bunga tau bahwa ia tidak hebat. Ia pun bertanya pada Daun, bagaimana cara menjadi hebat? Daun pun menjawab:

Untuk mengabadikan sebuah momen, tidak diperlukan mesin atau alat canggih untuk menghentikannya. Kamu cukup menutup mata, meresapi semua yang sedang terjadi. Kemudian menyimpannya diingatanmu. Kamu cukup mendengarkan dan merasakan yang sedang berlangsung saat itu. Jiwamu sendiri lha, alat canggih itu. Ia akan melakukan lebih dari membekukan waktu, ia akan mengenang semua itu secara apik pada salah satu sudut didalam relungmu. Jangan khawatir bila itu akan lenyap, karena jika itu sangat berarti bagimu, ia tidak akan menghilang dan lenyap tanpa jejak.

Bunga bertanya lagi kepada Daun, bagaimana jika seseorang itu tidak mengenang seperti kita mengenang mereka?

Daun berkata:

Biarkan saja! Itu bukan urusanmu. Jika ia melakukan hal yang sama, itu adalah bonus.

Ketika tersadar, Bunga bertanya, bagaimana bisa kamu melewati semua itu, Daun? Sedangkan kamu terlihat baik-baik saja saat ini.

Daun membisu. Hanya sesaat. Kemudian, berujar:

Kamu tidak pernah benar-benar tau apa yang aku alami, Bunga. Aku tidak ingin mengatakan bahkan itu sulit dan menunjukkan semua kesedihan dan kepedihan. Karena, yaa, memang itu adanya. Buat apa menunjukkan bila semua sudah tau? I'm not fine at all. Tapi, aku masih punya kenangan pada salah satu sudut didalam relungku, Bunga. Maka, dari sana lha, aku kuat.

Bunga merasa hampa, kemudian bertanya kembali, bagaimana kalau aku tidak kuat?

Daun menjawab:

Bila kamu tidak kuat, temui sumbernya. Temui ia yang membuatmu tidak merasa kuat. Cari tahu kebenarannya seperti apa. 

Bunga meragu, bagaimana bila jawaban yang aku temui tidak sesuai dengan hatiku?

Daun menjawab dengan lebih tenang:

Bungan, ingat lha. Karena pada akhirnya, kamu akan belajar bahwa sakit dan pahit atau lega dan bahagia itu hanya perkara waktu. Begitu juga dengan ikhlas. Jangan menerka-nerka jika tidak ingin kecewa. Ikhlas saja.

Bunga menangis sejadi-jadinya. Daun memberi sapu tangan dan meninggalkan Bunga sendirian untuk berpikir. Sambil tersenyum, Daun melihat ke langit, Bulan. Daun selalu tersenyum melihatnya. Entah pertanda apapun senyum itu.


***
Jakarta, 17 Juni 2017 - 23.19 WIB

Sabtu, 03 Juni 2017

Dear San (4)

Dear San,

"In another life, I would make you stay. So I don't have to say you were the one that got away."


Kamu bacanya sambil nyanyi juga gak, San? Hahaha.

Halo, San! Apa kabar? Surat pertama untukmu ditahun 2017 ini. Ah, ya, siapa tau kamu menunggu, hehe.

Oh, iya, begitu lagu The One That Got Away mengalun di radio, aku teringat kamu. Entah bagaimana, lagu itu terus mengingatkanku kepadamu. Tentang kita beberapa tahun yang lalu. Seingatku, kita sama sekali tidak pernah menyanyikan atau menyinggung lagu itu, iya kan?

By the way, Bandung apa kabar? Ah, iya, Nangor, yaa? Beberapa hari yang lalu, temanku ada yang protes ketika aku menyebut Nangor adalah Bandung, hehe. Ternyata, beda jauh, ya...

Ah, ya, bagaimana kabar genre film kesukaanmu? Ada film yang bagus lagi, kah? Bulan lalu, aku nonton film genre thriller, tapi lupa banget sama judulnya. Filmnya mirip sama Saw, tapi hanya karena filmnya terlalu gamblang sih. Keseluruhan ceritanya, beda banget.

San, semakin lama aku di Jogja, semakin mengingatkan aku akan semua ceritamu tentang kota ini. Tapi, membuatku semakin rindu Jakarta, Iya, memang, Jogja sangat membuat nyaman. Tapi, aku jauh dari rumah. Satu yang membuat semakin bingung. Jadi, apa sebenarnya arti rumah? Kalau nyaman, bisa kah disebut rumah? I'm waiting for your answer. I always like a moment when you share your mind.

San, if I had time machine, I would take our time back. If you had, too. Would you..?


With smile,

Fin.

***
Yogyakarta, 1 April 2017 - 23.15 WIB

#CumaDiSemester4

Selamat malam, kalian!

Ini adalah post pertama sejak semester 4 dimulai. Rasanya.. So happy! Akhirnya bisa bikin post disini lagi. Bukan berarti saya tidak menulis cerita atau sajak-sajak pendek. Hanya saja, tidak ada yang saya post, karena tidak ada yang benar-benar selesai. Pasti ada aja halangannya. Ups, iya, seharusnya bisa. Betul, ini memang bukan prioritas saya di semester 4. Jadi, sangat sangat sangat terlantar, deh. 

Sungguh, saya ingin sekali menceritakan semester 4 saya. SANGAT INGIN. But, I'm not in a good mood. Jika untuk diceritakan, semester 4 akan jadi cerita yang super panjang dan memiliki banyak fokus cerita. Mulai dari jadwal yang super padat, praktikum-praktikum yang membuat naik darah, tugas-tugas yang membunuh, sampai kegiatan-kegiatan yang ingin-ikut-tapi-sudah-kehabisan-tenaga. #CumaDiSemester4 yang merasa PMS itu tiga bulan sekali, bukan sekali, doang. Oh, bahkan, laki-laki, pun, bisa jadi PMS juga. #CumaDiSemester4 dalam seminggu pasti ada hari monang, atau bahkan, -nang beneran. #CumaDiSemester4 yang membuat saya mengemis-ngemis ke orang tua supaya boleh pulang ke Jakarta. #CumaDiSemester4 yang membuat saya ingin balik lagi ke masa-masa sekolah dasar, masa ketika masalah yang dimiliki hanya PR matematika dan tidak boleh main keluar rumah diatas jam 8 malam. #CumaDiSemester4 yang membuat saya belajar berbagai aplikasi baru, seperti Eagle, LogixPro, dan CX Programmer. #CumaDiSemester4 saya belajar membuat alat, literally, alat. #CumaDiSemester4 yang membuat saya memaki-maki sebuah aplikasi yang tak berdosa yang bernama AutoCad. #CumaDiSemester4 yang membuat saya merasa jadi orang terkasar karena sering sekali mengumpat setiap harinya. #CumaDiSemester4 yang membuat saya sangat sangat menghargai waktu main dan tidur. #CumaDiSemester4 yang membuat saya belajar bahwa mengendalikan emosi adalah wajib hukumnya. #CumaDiSemester4 saya mengerti tidak selamanya orang pintar di akademik memiliki management emosi, management waktu, serta managemet dan tanggungjawab di organisasi yang pintar pula. Dan #CumaDiSemester4 saya belajar bahwa sebanyak apapun tangan yang menggenggam kamu, pada akhirnya, kamu tetap akan berdiri diatas kaki sendiri. Thats all. 

Selamat berlalu, semester 4! Saya (mungkin) akan rindu semua-mua yang telah terjadi.
Selamat menjadi tua untuk kita semua yang akan memasuki semester atas. Semoga tetap istiqomah :)) wqwq.
Salam hangat dari Kota Pelajar dengan segala kenyamanannya.


***
Yogyakarta, 3 Juni 2017 - 22.40 WIB