Kamis, 27 September 2018

Senja yang Merindu



Senja hari ini
Tak seperti senja kemarin
Senja hari ini redup
Tak menampakan semburat warna lain
Sepertinya senja tau
Akan hati yang merisau
Pun senja mengerti
Atas harapan yang hanya terpatri
Dan masih menunggu untuk terealisasi
Semoga senja tidak sadar
Bahwa rindu ini semakin mengakar
Agar senja tidak turut merayakan
Perihal rindu yang tak kunjung diluapkan


***
Jakarta, 27 September 2018

Rabu, 19 September 2018

(Bukan) Teman Hidup



Genap empat bulan Nadin menghilang. Tidak membalas pesan-pesan yang gue tinggalkan disemua media sosial dan tidak pernah menjawab panggilan gue, entah itu nomor pribadi atau nomor rumah, bahkan sampai nomor kakak dan ibunya. Ressa, sahabat Nadin, selalu berkata bahwa Nadin baik-baik saja dan sedang butuh waktu sendiri. Lo tau, Din? Ini bukan lo banget. If you need it, you always shout it out, bukan menghilang tanpa kabar gini. And the worse thing is, it is only me, isn’t it? Kenapa, Din?

Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang, dan malam ini, pertanyaan itu sudah diujung lidah menunggu untuk dilontarkan. Hingga pada akhirnya, kemarin malam, Nadin mengirim pesan via WhatsApp.

“Gue mau ketemu. Besok di NZ Cafe jam 8 malam.”

“Nadin.. Lo gamau liat gue ngisi? Dari jam 7, please? Jam 8 udah kelar.”

“Oh, lo masih ngisi. Ok, see you.”

Hari ini, malam minggu yang ditunggu-tunggu. Selama dua tahun solo akustikan di cafe-cafe, baru kali ini merasa super nervous. Selama empat tahun gue bermusik, baru kali ini gue merasa sangat tidak siap untuk ditonton. Bukan tentang performa, gue sadar, ini tentang siapa yang akan datang nanti malam. Setelah empat bulan tidak mau berhubungan atau hanya sekedar melihat gue.

“Rapi banget lo, Za? Mau manggung di mana?” celetuk Rendi, teman sekontrakan gue. Gue melengos ke dapur sembari mengedarkan pandangan mencari gelas favorit gue.

“Gelas lo ada di rak piring nomor dua dari bawah.” Lanjut Rendi masih dengan tatapan curiga. “Lo gamau banget jawab pertanyaan gue?”

“Di NZ kayak biasa.” jawab gue sambil mengambil gelas dan menuangkan teh celup melati, gula, dan air panas. Kata Nadin, harumnya teh melati bisa bikin kita jauh lebih tenang. Iya, Nadin. ”Nadin dateng. Dia ngajak ketemu.”

WHAT?!

“Gue berangkat dulu. Nanti gue telfon kalau gue tiba-tiba butuh supir. Lo nggak pergi, kan?”

“Enggak, kok. Good luck, Bro!” Rendi melempar tinju ke bahu Oza.

“Sekali lagi, selamat datang untuk kalian yang baru aja bergabung. Gue, Oza, yang udah hampir satu jam menemani kalian di sini dan akan menemani kalian yang baru datang untuk beberapa menit kedepan.” Gue mengedarkan pandangan ke penjuru NZ Cafe. Belum ada Nadin.

“Oke, lagu selanjutnya masih dari Tulus dengan judul Sepatu. Selamat menikmati.” Suara intro gitar melantun ke penjuru cafe, membuat semua pengunjung terlena dan memfokuskan pandangannya ke satu titik di panggung. Kata orang-orang, gue selalu menyihir para wanita, terutama pecinta romance. Bagi gue, itu bukan suatu kebanggaan, karena Nadin, perempuan pecinta romance yang hampir enam tahun bersama gue, tidak pernah ikutan melihat gue dengan cara mereka—wanita-wanita yang melihat gue seperti tersihir. Walau dia yang sepenuhnya mendukung gue untuk terus bermusik, terutama solo akustik. Nadin, teman sekaligus manajer pribadi gue. Bukan, gue bukan musisi besar yang sampai punya manajer. Tapi, secara keseluruhan, dia yang membantu gue mengatur waktu gue, kuliah, latihan, tampil, dan menulis paruh waktu untuk salah satu media online. Kayak sepatu, Nadin itu pasangan gue, yang selalu mengimbangi langkah gue, yang selalu mau menunggu kalau gue lagi stuck disatu titik dan menemani gue untuk berjalan kembali.

Didekatmu kotak bagai nirwana, tapi saling sentuh pun kita tak berdaya

Detik itu, Nadin memasuki cafe dengan mata tajam yang mengarah lurus ke manik mata gue. Nadin tidak sama seperti terakhir gue lihat, empat bulan lalu. Rambut dipotong sebahu, ada jepit rambut abu-abu yang elegan disisi kiri, dan menggunakan softlense, satu benda yang jarang ia sentuh jika tidak benar-benar butuh. Tapi Nadin masih dengan sepatu converse biru buluknya dan a line dress yang kali ini berwarna abu-abu seperti jepit rambut dan softlense-nya. Gue tidak yakin lirik selanjutnya apa...

Cinta memang banyak bentuknya, mungkin tak semua bisa bersatu

Tepat saat kata dilirik terakhir selesai, Nadin duduk disalah satu kursi favorit kami yang gue reserved. Dia tau meja itu gue reserved untuk kami. Nadin selalu tau. Gue diam sepersekian detik untuk mengatur nafas yang mulai memburu. Nadin memanggil pelayan.

Well, ini lagu terakhir dari gue. Lagu ini punya arti lebih bagi gue dan lagu ini gue persembahkan untuk sahabat terbaik gue, teman hidup terbaik gue selama ini. Perempuan dengan senyum miring termanis di sudut ruang dekat jendela. Teman Hidup dari Tulus.” ucap gue sambil menatap tepat di mata Nadin. Akhirnya.

Dia indah meretas gundah, dia yang selama ini ku nanti
Membawa sejuk, memanja rasa, dia yang selalu ada untukku

Nadin tidak tersenyum sama sekali. Biasanya, kalau gue bercanda sok romantis—tapi serius, kayak tadi, dibibirnya akan muncul senyum miring yang menyenangkan dan mata nakal yang berbicara, “Mati lo abis ini.”

Di dekatnya aku lebih tenang, bersamanya jalan lebih terang

Gue tetap mempertahankan senyum kecil diantara lirik-lirik yang berusaha gue ingat. Gue hanya berdoa, semoga liriknya benar. Karena kalau salah, Nadin pasti malu. Gue? Tidak peduli, mau benar, mau salah, yang penting Nadin baik-baik aja. Tapi...

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku, berdua kita hadapi dunia
Kau milikku milikmu kita satukan tuju, bersama arungi derasnya waktu

Gue melihat sesuatu yang sangat tidak biasa. Lo tau apa? Pandangan Nadin kosong. Mata dia memang menatap kearah gue, tapi kosong. Terakhir gue lihat mata Nadin seperti itu saat dia gagal mendapat beasiswa luar negeri untuk ketiga kalinya, dua tahun lalu. Itu pun tidak lama, karena Nadin cerdas dan ulet. Ia bisa bangkit dengan mudahnya, sehingga tatapan kosong seperti itu hanya bertahan beberapa hari saja. Malam ini, malam yang seharusnya gue melihat mata yang selalu membuat jiwa gue membara, ternyata kosong.

Kau milikku, ku milikmu

Tepat pada lirik itu, Nadin membuang pandangan. Ia memutuskan kontak mata kami. Gue tetap bertahan untuk beberapa lirik kedepan, walau akhirnya gue pun beralih. Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nadin menunduk dan tidak lama, mengeluarkan ponselnya. Satu hal yang jarang ia lakukan jika sedang asyik menikmati suasana. Berarti dia sedang tidak menikmati suasana, dong? Gue semakin tidak karuan. Lirik-lirik selanjutnya meluncur cukup lihai dengan nada yang pas. Gue bersyukur. Setidaknya, lagu ini tidak buruk-buruk banget.

Setelah membereskan semua peralatan gue dan menaruh ke staff room, gue berjalan menuju meja Nadin. Nafas gue semakin memburu. Ini nervous melebihi sidang skripsi. Gue tetap tersenyum and pretend like nothing happened.

“Hai, Din!” Cuma itu yang keluar dari mulut gue. Lo harus tau sekaku apa mulut gue saat itu. “Lo mau pesen makanan? Gue laper.” tanya gue yang hanya dijawab anggukan oleh Nadin. Setelah kami pesan, gue mencoba membuka obrolan dengan ngegaring. “Lo lagi sariawan, Din? Diem aja.” Yeah, thank you pujiannya, people!

“Gue... Ehm, lo apa kabar, Za?” Nadin membetulkan posisi duduknya, dan sekarang kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang sudah bertaut diatas meja.

“Seperti yang lo lihat, baik dan berantakan. Always, right?” jawab gue sambil mengendikan bahu. Gue berusaha sesantai mungkin. “Lo gimana? Empat bulan menghilang, lo punya utang cerita ke gue, right?

“Gue...” dan pelayan pun datang mengantarkan pesanan kami. Gue menahan umpatan. Enggak, enggak boleh ngomong kasar, ya, Za, kata gue dalam hati. Setelahnya, kami sama-sama asyik menyantap makanan dengan pikiran masing-masing. Ini bukan kami. Ini bukan Nadin, dan jelas, ini juga bukan gue.

“So.. How was your day?” tanya gue seperti biasanya. Iya, seperti hari-hari yang kami lalui biasa. Gue dengan aktivitas gue, dan dia dengan segala kesibukannya. Hingga pada ujung hari, kami selalu menyempatkan makan malam atau hanya sekedar bertukar kabar via Skype.

“Lelah, Za. Hari ini, gue seperti robot, dan ini” Nadin mengeluarkan dua lembar amplop kecil dari dalam sling bag hitamnya. Satu amplop berwarna cokelat polos dan satu lagi berwarna rose gold. Sepertinya, jantung gue berhenti berdetak sepersekian detik.

“Apa tuh? Lo mau ngasih gue duit? Pakai amplop segala.” ucap gue sambil ketawa. Gue berusaha bercanda seperti biasa. Tapi, Nadin bergeming. Gue membuka amplop cokelat.

“Jadi, setelah sempat putus asa dari Swiss dan Jerman, lo beralih ke Swedia?” gue tersenyum lebar dan Nadin pun begitu. Gue tau dia hebat.

Well, gue daftar dua beasiswa dan dua-duanya dapet. Tapi, setelah beberapa pertimbangan, gue ambil yang Swedia ini. Bokap nyokap juga lebih setuju gue ambil yang ini karena...” cerita Nadin berhenti.

“Karena?” tanya gue dan mata Nadin menunjuk ke amplop rose gold yang ada didepan gue, yang belum gue sentuh sejak dikeluarkan. Gue semakin penasaran yang membuat detak jantung yang semakin cepat.

“Lo... Mau nikah?” tangan dan suara gue bergetar. Gue tidak percaya, gue menatap Nadin, mencari penjelasan dari mata itu. Semoga Nadin bercanda, kalimat itu yang gue ulang dalam hati.

“Iya... Dua hari setelah terakhir kita ketemu, Om Reno datang ke rumah. Beliau minta gue jadi calon istri dari anak sulungnya. Lo tau gimana hubungan bokap sama Om Reno, kan?” Nadin menatap gue, sayu. Kemudian, kosong. Gue kembali melihat ke ukiran nama dibelakang cover, Ardhi&Nadin. “Mas Ardhi?” tanya gue pada diri sendiri, tapi sepertinya Nadin dengar, karena dia langsung membuang muka.

“Kenapa Mas Ardhi nggak pernah cerita ke gue, ya?”

“Karena Mas Ardhi takut bikin lo patah semangat.” Dan patah hati, imbuh gue dalam hati. Itu klasik, Nadin. Cowok itu hanya tidak punya nyali buat ngomong langsung ke gue. Tapi, gue juga. Salah, apalagi gue, nyali gue kecil, lebih kecil dari nyali Mas Ardhi.

“Itu kenapa gue menghilang empat bulan ini. Gue butuh waktu sendiri dan gue.. Gue ingin membuktikan sesuatu.” Air mata Nadin mulai turun. Gue bergeming.

“Empat bulan ini gue berpikir, apa yang sebenarnya gue dan lo—selama enam tahun, sedang lakukan. Kalau lagi nggak ada lo, gue tetap bisa menjalankan hari-hari gue seperti biasa dan terus berkarir seperti semua impian gue. And true, gue bisa. Waktu ada lo, gue pikir gue nggak bisa. And yes, kalau gue masih bertahan di zona nyaman gue yang dengan lo ini, gue nggak akan berkembang. Dunia lo memang berkembang, tapi gue? Lo pernah mikir dunia gue berkembang juga atau nggak?” Mata Nadin semakin sayu, perbedaan yang sangat kentara dengan nada bicaranya yang berapi-api. Gue tidak menyangka ini semua yang Nadin pikirkan selama ini.

“Jawabannya itu nggak, Za. Lo emang pasangan sepatu yang paling menyenangkan dan teman hidup yang menenangkan, tapi lo bukan yang bisa membuat kita saling melangkah bersama. Lo hanya membiarkan diri lo yang melangkah dan mebuat gue menumpang di kaki lo. Ini bagi gue, mungkin bagi lo, kita adalah sepasang sepatu yang memiliki tujuan yang selalu sama dan teman hidup yang serasi. Sorry kalau gue nggak setuju.” Nadin meremas kedua tangannya. Ia menahan emosi, tapi kenapa sarat matanya tidak menunjukkan hal yang serupa?

“Bahkan, lo nggak mau mengakui perasaan lo, kan? Gue tau lo sayang, bahkan cinta ke gue. Gue pun tau, kalau lo tau, gue juga merasakan hal yang sama. Tapi, apa? Lo tidak mengambil langkah lebih. Lo hanya berkutik diketakutan-ketakutan lo sendiri. Jadi, gue menerima tawaran Om Reno dan Ardhi untuk mengenal lebih dekat. Gue mencoba membuka hati baru tanpa sepengetahuan lo, selama gue menghilang.” Nadin menyeruput es teh yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.

Sorry, Za. Gue.. Gue nggak tau harus gimana. Sorry kalau kata-kata gue terlalu kasar.”

It’s okay, Din. Gue tau itu dari hati lo yang terdalam.” Gue hanya bisa tersenyum lemah dan berusaha menyusun kalimat. Dan juga hati.

“Semua yang lo bilang ada benarnya. Gue terlalu membiarkan kita di zona nyaman. Dan gue tidak pernah membiarkan lo melangkah. Karena gue pikir, zona ini sudah sangat cukup karena tujuan kita sama. Semua yang kita punya selama enam tahun ini sudah lebih dari cukup.”

You know, I love you. And of course you know, gue akan melakukan apapun untuk menjaga lo dan membuat lo selalu nyaman dan happy. But, now, I know, thats not enough. Gue nggak bisa lagi menghalangi semua jalan dan pilihan lo. Gue tetep mau lo seneng dan nyaman dengan hidup lo. Walau itu tanpa gue.” ucap gue dengan memegang kedua tangan Nadin dan menatap matanya. Tangan Nadin bergetar, atau ini tangan gue, ya?

So, you will be Ardhi’s wife next month?! Hahaha, gue nggak percaya lo nikah secepat ini.” Gue menghela nafas dan menyenderkan punggung. Rasanya memang sakit, tapi lega. Can you describe this?

“Hahaha, apalagi gue. Ardhi dapet tawaran kerja di sana, by the way. Jadi, kami akan pindah ke Swedia. Memulai hidup baru di negara baru yang nggak pernah gue pikirkan sebelumnya. Ardhi udah mikirin itu, sih. Bagi dia, ini bukan kejutan atau kebetulan. Bagi dia, ini sudah rencana Tuhan. Sounds weird, huh?” Nadin tertawa sembari menghapus sisa air mata. Gue membantunya dengan menyodorkan tisu dan tersenyum.

“Asal lo janji jangan nangis dan bermata sayu kayak gini lagi, ya? Gue ikhlas, kok.” ujar gue yang sok bijak dan tegar ini. No, gue memang tegar. Lo semua yang bakalan mewek kalau jadi gue, betul?

Nadin tersenyum dan matanya kembali bersinar lagi. Sisa malam itu kami habiskan dengan membicarakan hidup masing-masing selama empat bulan tidak bersama. Pun membicarakan rencana masing-masing. Nadin terutama. Gue? Gue belum punya rencana sematang dan sejelas Nadin. Gue tidak pernah berpikir rencana hidup tanpa Nadin, sebelumnya. Tapi, sepertinya Nadin sudah melakukan hal itu. So, gue pun harus cepat-cepat melakukan hal yang sama. Betul, agar gue bisa membuktikan ke Nadin, kalau gue juga punya hidup dan rencana masa depan yang tidak kalah indahnya. Bikin Nadin nyesel? Of course! Hahaha. Jahat? Tidak juga. Sebagai pembelajaran aja, bahwa tidak selamanya manusia gagal dititik nyamannya. Ia pasti tau kapan harus bangkit, berjalan, dan kapan ia harus berhenti untuk menikmati kenyamanan yang sudah ia punya. Gue ingin membuktikan bahwa zona nyaman yang gue punya tidak akan menghalangi semua rencana hidup gue. Cari cewek baru? Itu gampang! Yang susah adalah cari teman hidup baru. But, let’s see!



***
Jakarta, 18 September 2018