Minggu, 28 April 2019

Merelakan Untuk Kebahagiaan


Dan bila kita bersama
Kan ku jaga dirimu
Untuk selamanya
Tolong terima cintaku
RAN – Pandangan Pertama


Lagu RAN mengalun dari speaker di pojok cafe. Sore ini gerimis mengguyur Ibu Kota. Meja-meja di Cafe Utara penuh. Hanya tersisa dua meja didekat pintu keluar. Vera menempati meja di sudut cafe dekat jendela. Dari tempatnya, Vera dapat melihat seluruh aktivitas di dalam cafe. Cafe ini tidak pernah benar-benar sepi. Tapi, Vera selalu beruntung karena meja ini selalu tersedia untuknya kapanpun ia mau. Tatapan Vera beralih pada pintu masuk. Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore dan orang yang sangat ia tunggu belum juga tiba. Secangkir teh putih pesanannya datang.

“Tumben pesannya white tea, biasanya kopi atau chocolate.”ucap Joan, salah satu pelayan yang sudah sangat ia kenal.

“Lagi pengin aja, Jo.” Vera menanggapi dengan enggan.

“Okay. Gue balik lagi, ya. Kalau lo butuh sesuatu, panggil gue aja.” kata Joan sembari pergi menjauh dari meja Vera. Joan sudah sangat hafal akan semua tindak tanduk Vera. Joan adalah salah satu saksi perjalanan hidup Vera hingga sampai titik kejayaannya, pun terlemahnya.

Waktu sudah menunjukan pukul 6 saat seseorang yang Vera tunggu akhirnya tiba. Ia masih mengenakan kemeja putih lengkap dengan dasi biru muda dan celana hitam formalnya. Yovi selalu terlihat memesona. Dalam keadaan apapun. Iya, termasuk keadaan telat satu jam dan membuat Vera menunggu sambil merengut.

“Kurang lama, Yov.” kata Vera dengan mata menyipit mencari penjelasan. Yovi tertawa sambil merebut cangkir gelas white tea milik Vera yang sudah tinggal setengah.

“Ini choco doughnut pesanan lo, Ver. Ini ice chocomint dan beef burger pesanan lo, Yov.” Joan datang mengantarkan pesanan yang sudah disiapkan sejak sebelum Yovi datang.

“Kok, pesanan Yovi cepet, sih?” tanya Vera heran.

“Lo lupa Joan itu separuh jiwa gue?” jawab Yovi mengikuti gaya mata Vera, menyipit.

“Gue selalu lupa karena lo sama Joan enggak mirip sama sekali.” balas Vera semakin menggebu dengan kedua mata melotot.

“Hahaha, gue pamit, deh.” timpal Joan sembari tertawa dan membalikan badan.

Sejak Joan meninggalkan mereka, mereka hanya diam dan menikmati santapan masing-masing. Sibuk dengan kegaduhan dalam pikiran masing-masing. Sibuk menata akal dan perasaan agar tetap sinkron dengan keadaan yang mereka hadapi.

“Enggak ada penjelasan, nih? Kenapa lo menghilang selama dua jam, membuat gue nunggu satu jam, tapi masih bisa order your food?” Vera menjawab dengan mata memincing dan tangan bersedekap.

Yovi menghembuskan nafas. “Lo masih butuh kabar dan semua penjelasan gue setelah hubungan kita berakhir?” ucap Yovi tidak kalah nyelekitnya. Vera terdiam. Vera sudah menebak Yovi akan menjawab seperti ini. Ia tidak kaget dan sudah menyiapkan jawaban. Vera diam karena benar-benar merasa tertampar oleh keadaan yang ternyata menyakitkan jika diucapkan langsung oleh Yovi.

“Ver? Sorry, gue terlalu kasar, ya?” ucap Yovi pelan sembari memajukan badan melihat ke wajah Vera hingga membuat jarak wajah mereka hanya sekitar 10 cm. Tatapan Yovi melembut, Vera melihat itu. Yovi selalu tau apa yang Vera rasakan.

You always know about me, Yov. I can’t hide everything. Especially about it.” balas Vera dengan menundukan kepala. Ia tidak ingin Yovi melihat kelam matanya. Vera tau ia sedang ada dalam bahaya besar karena memberanikan diri menemui Yovi saat Vera masih sedang dalam titik terlemahnya.

I am so sorry. Gue enggak tau harus seberapa banyak lagi minta maaf ke lo, Ver. You always understanding me melebihi siapapun, termasuk dia. She can’t understanding me.” terang Yovi dengan membuang pandangan. Yovi mencari objek apapun asal bukan Vera. Yovi tidak ingin Vera melihat matanya. Terlalu kelam.

“Belum, Yov. Cuma belum aja, kok.” Vera tersenyum tulus. Senyum yang ia harap dapat menenangkan Yovi. Sejak mereka memutuskan menyudahi hubungan yang telah lima tahun mereka jalani, Vera berusaha menjadi teman yang baik bagi Yovi. Setidaknya, ia tetap melakukan yang terbaik bagi Yovi, walau berlainan dengan kata dan keadaan hatinya.

“Gue enggak pernah menyangka, ternyata rumah tangga akan serumit ini. Gue pikir, dengan gue memilih dia, akan membuat semua hal yang gue inginin jauh lebih gampang. Ternyata enggak juga.” Yovi memakan potongan beef burger terakhirnya. Ia tau membicarakan ini semua dengan Vera hanya akan semakin menyakiti hati milik Vera dan hati miliknya.

“Lo ngajak gue ke sini cuma buat curhat itu lagi? Besok-besok enggak akan gue turutin lagi.” Vera melambaikan tangan. Ternyata, menghadapi Yovi lagi, masih tetap butuh asupan kafein lebih.

“Gue cuma pengin ngobrol sama lo aja. Hari ini tanggal 10.” Yovi memperhatikan perubahan pada wajah Vera. Vera kaget Yovi ingat tanggal mereka memutuskan untuk menjalin hubungan. Yovi tersenyum simpul. Ia selalu menyukai reaksi-reaksi kecil Vera. Vera, si ekspresif.

“Lo lagi marahan sama istri lo, ya?” tanya Vera mengalihkan topik. Vera tau Yovi sedang melarikan diri dari kenyataan hidupnya. Vera pun demikian. Tapi, tidak adil bagi Dea, istri Yovi yang juga teman kantor Vera.

“Iya, dia marah karena gue terlalu sibuk dan lebih banyak lembur sejak kami nikah.”

Vera hanya mengangguk mendengar cerita Yovi selanjutnya. Yovi dan Dea baru saja menikah selama satu bulan dan sudah tiga kali Yovi mengeluh tentang prahara rumah tangganya. Dua kali via telefon dan satu kali via tatap muka, sekarang ini.

“Ini kesekian kali gue bilang, ya, Yov. Gue enggak akan bisa jadi orang yang benar-benar netral dan mengerti dengan rumah tangga. Gue aja masih berkelut sama tesis dan ngotak-ngatik excel di kantor, lo lagi ngomongin nikah.”

“Tapi, lo selalu mengerti gue, Ver.” Ucap Yovi dengan begitu tenangnya. Ia tidak tau, bahwa lawan bicaranya sedang mengatur degup jantung agar tidak terdengar olehnya.

“Lo tau enggak, kalau ini bukan lo banget?”

“Apanya, Ver?”

“Lari dari masalah.”

Selama lima tahun Vera berpacaran dengan Yovi, melarikan diri dari masalah adalah jalan terakhir yang akan mereka lakukan. Bagi mereka, selesaikan sekarang atau kamu akan menyesal, adalah salah satu motto dalam kelancaran hubungan mereka.

“Ada cerita lainnya? Gue rasa, yang bikin lo melarikan diri ini, enggak cuma satu masalah itu doang, deh.” Tanya Vera setelah meneguk Mocha Latte dari cangkirnya. Cangkir kedua. Vera tidak bisa membayangkan akan habis berapa cangkir, jika didepannya masih ada seorang Yovi Pradhana, 26 tahun, anak pemilik sekaligus pewaris pertama dari salah satu perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia. Yovi Pradhana, yang sudah mengisi hari-harinya selama 6 tahun terakhir. Satu tahun sebagai teman dekat dan 5 tahun sebagai pacar. Yovi Pradhana yang sudah digadang-gadang sebagai calon menantu idaman dari seorang Vera Putri Adhywijaya, anak perempuan satu-satunya dari keluarga pemilik saham terbesar dari salah satu Startup terbesar di Asia Tenggara. Tidak seperti Yovi yang memilih untuk membantu perusahaan keluarganya, Vera memilih untuk bekerja sesuai dengan passion dan jurusan yang sudah ia tekuni. They was perfect couple.

“Kenapa, ya, Ver, dunia enggak akan pernah adil?”

Vera memincingkan mata, menelisik arah pembicaraan Yovi. Vera memutuskan untuk diam dan tetap melihat tepat di manik mata Yovi.

“Selama beberapa tahun belakangan ini, gue merasa hidup gue sempurna. Kurang satu dua, tapi bukan masalah besar. Tapi, gue tetap enggak bisa bersyukur.” Yovi berhenti berbicara, kemudian meneguk tetesan terakhir di cangkirnya.

“Sejak, lo pergi dan gue menikah, gue semakin enggak bisa bersyukur.”

“Tolong diralat. Gue enggak pergi, tapi lo yang menyudahi, walau lo pun enggak pergi.”

Whatever. Gue harus denial tentang hal itu.”

“Kenapa? Biar lo enggak dihantui rasa bersalah dan sesal?” balas Vera dengan nada tenang, tapi mata memincing. Sudut bibir sebelah kiri Vera terangkat. Vera tau kata-kata itu adalah benar.

“Ver, lo harus janji sama gue. Lo harus move on secepatnya, okay?”

“Kenapa? Apa urursannya sama lo?”

“Biar gue lebih tenang, Ver.”

“Gimana caranya lo tau gue udah move on atau belum?”

Pertanyaan Vera dijawab dengan gelengan kepala oleh Yovi. Sebenarnya, Vera tau, Yovi hanya ingin mengutarakan apa yang ada dipikirannya. Tidak bermaksud lain. Yovi akan selalu menjadi Yovi yang polos dan terbuka dengan apa yang ia rasakan dan pikirkan. Vera akan selalu menjadi Vera yang pengertian dengan segala tingkah dan pikiran Yovi. Tapi, tidak dengan semesta. Semesta memiliki mata, rasa, dan pikiran yang lain. Semesta melihat, merasakan, dan memikirkan dari sisi lain yang tidak akan pernah diketahui oleh Vera dan Yovi. Sisi lain yang jauh lebih baik dari sudut pandang selain Vera dan Yovi.

“Udah jam 9 malam, Yov. Pulang, yuk? Dea pasti udah nunggu di rumah.”

“Gue masih mau liat wajah lo.”

“Yov, Dea anak yang baik. Dia pun rajin beribadah dan pengetahuan tentang agamanya luas. Kalau di kantor, dia sangat keibuan. Gue tau, kok, kalau lo tau semua itu. Jadi, gue mohon, lo harus mulai bersyukur dengan adanya Dea.”

Yovi hanya mendengarkan dan menatap mata Vera. Vera tidak pernah tau, Yovi selalu menunggu-nunggu saat Vera menasehatinya. Karena pada saat itu, Yovi dapat melihat betapa besar rasa sayang Vera kepadanya. Tidak, Yovi tidak pede, itu semua benar.

“Gue tau, lo juga udah move on. Gue pun tau, rasa sayang lo ke Dea udah mulai membuncah. Lo hanya belum terbiasa menghadapi dia. Bukan gue.”

Vera tersenyum. Vera tau, malam ini, mungkin akan jadi malam terakhir mereka bertemu sebagai ‘teman’ yang memakai tanda kutip.

“Lo tenang aja, gue udah enggak punya waktu lagi buat galau, kok. Gue udah terlalu sibuk dengan semua masalah nyata di hidup gue sekarang.” Vera menghela nafas. Ia meneguk sisa-sisa Mocha Latte-nya dan bersiap untuk beranjak pergi.

“Kalau lo masih mau diem dan ngeliatin gue gitu, gue yang pergi duluan, ya.”

“Lo jaga diri, ya, Ver.”

“Iya, lo juga, ya. Jaga Dea juga.”

Mereka beranjak dari kursi masing-masing. Berjabat tangan sembari tersenyum sendu. Dalam hati mereka, mereka sama-sama ingin mengucapkan tiga kata yang selalu mereka ucapkan sebelum pulang. Tapi, tidak bisa untuk kali ini, Biar hati dan semesta saja yang tau, kata mereka dalam hati.

Pada satu sudut lain di dalam cafe, Joan melihat dari kejauhan. Matanya panas setiap menyaksikan mereka. Joan tau, rasa yang ia pendam, tidak akan pernah bisa menggantikan hubungan yang sudah ada dan sepertinya akan selalu ada di dalam hati mereka.


How do I end up in the same old place
Faced again with the same mistakes
So stubborn thinking I know what is right
But life proves me wrong everytime
Bruno Mars – Move On



***
Cikarang, 28 April 2019

Sabtu, 06 April 2019

Akhir Cerita di Satu Sore


“Minggu depan, kita jadi nonton Kahitna, kan? Aku enggak sabar, deh. Kapan lagi kamu mau diajak nonton, ya, kan?”

Aku. Seperti biasa, heboh membicarakan setiap janji-janji pertemuan kita.
Kamu. Seperti biasa, hanya mengangguk-angguk pasrah. Terkesan tidak antusias. Atau memang tidak, ya? Ah, kamu hanya tidak ekspresif saja. Iya, aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri.

“Mau beli minum? Aku haus.” tanyamu tiba-tiba, dan dilanjut dengan menggandeng tanganku menuju sebuah restoran cepat saji. Pasti mau beli soft drink, deh, ucapku dalam hati.

“Mbak, soft drink dua, ya. Dine in.” katamu tanpa bertanya kepadaku. Aku tersenyum, kemudian mengedarkan pandangan ke penjuru restoran. Ada meja kosong dekat dengan jendela. Aku berjalan menuju meja tersebut dan disusul olehmu.

“Gimana dinasnya? Ada cerita apa?” pancingku, dan mengalir cerita darimu. Mata dan kedua tanganmu asyik bermain. Seolah-olah memperagakan setiap kejadian yang kamu temui. Aku tidak bisa fokus pada setiap ceritamu. Aku terlalu hanyut dalam indah matamu. Dalam tulus senyummu setiap kamu menemui sesuatu yang menyentuh hati. Dalam renyah tawamu ketika hal-hal itu membuatmu terbahak. Aku selalu menyukai setiap hal yang kamu lakukan. Termasuk kehabisan napas setelah bercerita panjang kali lebar.

“Jadi, gitu. Seru, kan? Aku suka banget kalau harus dinas lagi ke sana!” kedua ujung bibirmu mengangkat. Menampilkan deretan gigi yang tidak rata, tapi memesona.

“Aku suka deh, kalau liat dan dengerin kamu cerita. Kamu jadi ada jiwanya, lagi.” ucapku spontan. Sudah dapat dipastikan, wajahku merah semerah udah rebus. Kamu hanya tersenyum. Kemudian, handphone-mu bergetar, tanda pesan masuk.

Bang, besok pagi jadi, kan?

Satu baris pesan yang membuat kami sama-sama termangu. Bukan karena isi pesannya, tetapi karena nama si pengirim. Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku. Aku tidak berani menatapmu, yang sepertinya sedang menatapku. Aku tidak dapat menggerakan bibirku. Aku tidak dapat berpikir.

“Kha?”

Kamu memanggilku dengan pelan. Perlahan tapi pasti, aku membuang wajahku. Tepat saat satu bulir air mata jatuh. Secepat kilat aku menghapus. Berharap kamu tidak tau, yang berarti sangat mustahil. Kamu pasti tau.

“Kha, maaf.”

“Enggak perlu minta maaf, kok. Aku juga udah tau semuanya.” ucapku akhirnya. Aku memberanikan diri untuk balas menatapnya dan menjelaskan maksud perkataanku.

“Aku udah tau. Sejak kejadian tahun lalu, kalian tetap intens, bukan?” Ku teguk soft drink milikku hingga tandas. Sepertinya, aku butuh asupan kafein. Aku berdiri. Meminta izin untuk membeli satu cangkir kopi hitam milik restoran cepat saji ini. Enak atau tidak, setidaknya ada kopi.

“Jadi, bagaimana? Aku butuh penjelasan dan kejelasan.” Ucapku begitu mendapatkan satu cangkir kopi dan meneguknya hingga setengah gelas. Untuk menghadapi kenyataan pahit yang akan datang, memang butuh asupan yang juga pahit. Walau tidak akan sepahit kenyataan.

“Iya, kami masih intens komunikasi. Kalau kami ada di kota yang sama, kami saling berinisiatif untuk bertemu. Tanpa memberi tau kamu. Dia pun setuju. Dia takut menyakitimu. Aku pun.”

“Sudah ku bilang, apapun itu, cerita dan beri tau aku.”

“Kenapa, Kha?”

“Karena agar aku tau, kapan aku harus mundur dan kapan aku harus bertahan. Agar aku tau, sejauh mana rasa yang kamu miliki.”

“Kha, maaf.”

“Ada lagi?”

“Semua yang pernah kita masalahkan tahun lalu, masih terjadi di tahun ini.”

“Termasuk berbicara via telepon? Sedangkan kita saja jarang melakukannya.”

“Iya, Kha. Besok kami berjanji untuk hunting foto di Bogor. Minggu depan dia mengajakku untuk menonton film keluaran DC terbaru.”

“Disaat aku merengek minta ditemani mencari buku ke Pasar Senen besok dan merengek minta ditemani nonton Kahitna minggu depan. Sepertinya, aku memang sudah tidak diinginkan lagi, ya, No?”

Kamu hanya tertunduk dan mengetuk meja dengan jemarimu. Aku menyesap kopiku. Berusaha menyusun kembali serpihan hatiku yang berserakan. Memandang ke luar jendela dan menarik napas dalam-dalam. Bagaimana jika sebenarnya rasa yang kami miliki ini salah?

Perasaanku tak bisa dustai
Tak seperti dulu lagi
Aku tak mau terus begini
Bila kau tak lagi sungguh sungguh cinta aku

Lagu Aku Punya Hati dari Kahitna mengalun pelan. Aku tersenyum. Bahkan, restoran ini pun tau cerita yang sedang kami ukir saat ini, di sini. Aku harus menikmati setiap momen sore ini.

“Mikha?” panggilmu.

“Aku harus apa, Kha?” tanyamu kembali. Aku mengerutkan kening, sembari tersenyum. Iya, aku tersenyum. Aku selalu suka ekspresimu. Kamu tau, kan? Ekspresi apa pun itu.

“Kenapa kamu tanya aku? Didalam hubungan ini, yang memiliki pilihan itu kamu. Kamu yang ada aku dan ada dia. Jadi, siapa yang kamu pilih?” tanyaku dengan tenang. Aku sudah pernah menanyakan ini tahun lalu. Aku sudah pernah melewati kejadian ini denganmu. Tapi, sepertinya, yang ini tidak akan berakhir baik. Aku tidak ingin kamu terjebak dengan rasa yang tidak kamu inginkan.

“Pertanyaan yang sama, ya? Harus aku yang benar-benar menjawab dan memutuskannya?”

“Iya. Kenapa? Kamu takut menyesal, No?”

Kamu terdiam. Kamu tidak menjawab hingga akhirnya aku yang mencoba memberanikan diri membuka suara. Aku hanya berdoa, semoga ini yang terbaik untukmu. Iya, untukmu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku tidak peduli harus menghancurkan hatiku sendiri. Aku tidak peduli harus mengesampingkan egoku seberapa jauh. Aku tidak peduli harus kehilangan seseorang, lagi.

“Kalau begitu, let me do it. Aku yang mundur, No. Bukan karena aku tidak ingin berjuang bersama lagi, tapi karena aku ingin kamu bersikap tegas dan menerima setiap rasa yang datang kepadamu. Aku ingin kamu mendapatkan bahagiamu, No.”

“Bagaimana kalau aku tidak bahagia nantinya?”

“Itu sudah resiko. Coba lihat sekarang. Apa kamu masih antusias dengan pertemuan-pertemuan kita? Apa kamu masih merasakan debar yang sama saat kulit kita bersentuhan? Apa kamu masih menginginkan pelukanku?”

Kalimat terakhir adalah kalimat yang sangat sulit untuk aku katakan. Kalimat yang sangat terdengar depresif? Yeah, that’s me!

“Maaf, Kha.”

Aku menunggumu melanjutkan perkataan itu. Aku menunggumu meraih tanganku dan menolak pernyataan mundurku. Aku memunggumu mengucapkan tiga kata yang sering kamu ucapkan.

“Kamu harus bahagia, Rino. Kamu baik. Ibu kamu pasti senang kalau kamu membawa dia ke rumah. Aku sangat yakin itu.”

Aku tidak bisa menghentikan laju air mataku. Aku tidak ingin menahannya lagi. Aku ingin, sore ini, kamu melihatku hancur sehancur-hancurnya. Aku ingin kamu melihat sisi lainku, yang sudah sesayang-sayangnya kepadamu.

Aku tersenyum. Menyentuh kedua tanganmu yang mengepal, dan menggenggamnya. Mata kami bertemu.

“Aku sayang kamu, Rino. Kamu juga harus sayangi diri kamu, ya? Tinggalkan aku dan temui dia. Temui bahagiamu. Paham?”

Kamu menggangguk. Memasukan dompet dan handphone-mu ke dalam tas kecilmu. Kamu menatapku. Sendu dan getir. Aku tidak perlu dikasihani, kau tau itu.

”Rino, salam buat Ibu, ya? Maaf sudah menahan anaknya sampai sejauh ini.” kataku dengan nada yang kian melemah. Kamu beranjak dari kursimu dan diam menatapku. Tak lama, kamu duduk kembali. Menatapku sedalam-dalamnya. Aku terhanyut. Iya, masih tetap terhanyut dengan tatapanmu.

“Kamu tau, Kha? Aku sangat bersyukur sudah berjalan sejauh ini denganmu. Aku banyak belajar. Kamu perempuan tangguh. Kamu layak mendapatkan yang lebih baik.”

Setelah itu, kamu berdiri. Mengusap puncak kepalaku dan mengecupnya. Kemudian, kamu membalikan badan dan berlalu.

Aku hanya dapat terdiam menyaksikan semua ini berlalu bergitu cepat. Sangat cepat. Hingga air mataku pun berusaha mengalahi kecepatan waktu yang terjadi. Deras sekali.

Sore ini, di salah satu meja dekat jendela di restoran cepat saji, aku hancur. Isi kepalaku mendadak kosong. Aku tidak dapat memikirkan apa pun. Aku hanya dapat berpikir dua hal.

Satu, sehancur apa pun hati ini, aku sayang kamu.
Dua, setidaknya, aku sudah melakukan yang terbaik.

Dan aku berdoa kepada Tuhan,

semoga kamu benar-benar bahagia.

Aamiin.


Hadirnya tanya yang tak terjawab,
mampu menjatuhkanku yang dikira tegar.
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi,
yang dulu kita ukir bersama.
Raisa – Usai Disini



***
Cikarang, 3 April 2019