Sabtu, 27 Oktober 2018

Bergerak dan Bertahan



"Ram, kenapa ya, aku pasti tremor kalau mau motret?" kataku dengan lalu, dan masih berusaha mengambil satu saja foto dirimu yang layak untuk dipamerkan.

"Mana aku tau. Kan, yang tremor kamu, bukan aku." jawabmu dengan nada khas nakal yang sedikit menyebalkan.

"Ram, liat, deh!" ucapku sambil menarik tangan kirimu. Kamu memutar badan dan pandangan matamu mengikuti arah tanganmu yang aku tarik untuk menunjuk satu titik.

Kerlap-kerlip lampu diantara gedung-gedung yang menjulang tinggi.

Kami diam beberapa saat, sampai akhirnya kamu berkata, "Ah, biasa aja."

Kamu berdalih. Pura-pura tidak terkesima. Aku tau, kamu pun setuju dengan pemandangan yang indah itu. Pemandangan indah tidak selamanya alam hijau atau matahari tenggelam diujung senja, bukan?

Kami berhenti di jembatan yang menghubungkan antara satu halte TransJakarta dengan halte lainnya. Kami menikmati semilir angin malam yang cukup bersahabat. Lalu lintas dibawah kami cukup padat, tapi tidak bising. Mungkin, orang-orang sedang malas memainkan klaksonnya seperti biasa.

"Kenapa orang-orang mau, ya, macet-macetan?" tanyamu dengan mata lurus memandang ke jalan.

"Karena keharusan. Mau tidak mau mereka harus tetap bergerak." jawabku dengan pandangan yang sama.

"Kamu pun begitu?"

"Iya, aku yakin, semua orang pun begitu."

Kami terdiam. Angin memainkan anak rambutmu. Kamu terlihat sibuk dengan pikiranmu. Pun terlihat tenang.

"Kamu lagi mikir apa?" tanyaku yang masih memandangmu. Aku selalu suka membiarkan mataku terhanyut kedalam dirimu.

"Enggak papa. Aku cuma heran, apa bedanya bergerak dengan bertahan?" tanyamu dengan alis berkerut.

Aku tersenyum. "Bagiku, semua orang butuh untuk bergerak agar tetap bisa menghidupi hidup. Tapi tidak dengan bertahan. Bertahan itu sulit. Apalagi, bertahan untuk tetap hidup pada satu titik kehidupan." jawabku sembari kembali memperhatikan mobil-mobil yang sibuk mencari celah untuk mendahului.

"Kenapa sulit?"

"Tidak selamanya satu titik dalam hidup itu kita inginkan. Itu yang membuat sulit."

"Jika bertahan untuk hidup dititik yang kita inginkan itu mudah, kenapa harus merasa sulit ketika ada dititik yang tidak diinginkan?"

"Karena pada dasarnya, ego sangat mendominasi. Diinginkan dan tidak diinginkan hanya perkara nafsu atau ego kita semata, bukan?"

Kamu tersenyum dengan tatapan yang semakin melembut. "Jadi maksudmu, bahwa sebenarnya, tidak semua titik yang tidak kita inginkan itu terasa sulit. Justru sebenarnya mudah dan mungkin itu adalah titik yang kita butuhkan. Begitu?" ucapmu dengan tetap menatap mataku semakin dalam.

Aku semakin terhanyut. Aku merasa, saat ini, hanya satu yang aku butuhkan. Oksigen. Aku takut tidak bisa bernapas saat tenggelam didalam matamu. Dan dirimu.

"Betul! Kamu cenayang, ya?" jawabku dengan sedikit gugup. Aku hanya ingin bernapas lega dan merasakan angin lagi, Ini terlalu sesak. Iya, untuk hatiku.

Kamu tertawa. Sedetik kemudian, kamu menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan kembali.

"Aku tau, Ram. Aku hanya perlu merasakan dan menemukan apa yang sesungguhnya aku butuhkan."

"Hanya itu?"

"Iya, hanya itu. Karena dalam prosesnya nanti, aku pasti akan tau apa yang sebenarnya aku inginkan, yang lebih dapat membuatku bergerak untuk terus menghidupi hidup."

"Dan jangan lupa poin bertahannya, Rys."

"Tentu! Bergerak dan bertahan. Terima kasih, Ram!" ucapku dengan menghadap ke arahmu dan tersenyum jenaka.

Kamu tertawa.

Dan menguatkan genggaman kita.



***
Jakarta, 27 Oktober 2018