Minggu, 14 Februari 2016

Dear San (2)

Dear San,

Hai, San! Apa kabar? Maaf, aku mengganggumu (lagi) dengan surat-surat ini. Surat yang (mungkin) tak akan pernah sampai ke tanganmu. Tentu saja, tak akan pernah kamu baca.

Bagaimana kabar Jakarta, San? Masih ramai, kah? Masih macet, kah? Masih berpolusi, kah? Masih gemerlap, kah? Jakarta memang selalu membuat siapa pun terkena hipertensi. Tetapi, disitu lah berkesannya. Yakan, San? Padat, sumpek, individualis, dan menghibur. Semua yang ada di Jakarta membuatku selalu merasa kecil dan tidak berdaya. Benar-benar kota yang menggambarkan bahwa hidup sangat lah keras, dan kesuksesan hanya milik orang-orang yang ingin bekerja keras. Sangat keras. Kamu setuju, San? Ah, ya, kamu pasti punya pendapat lain, as always. :")

Kamu ingin bertanya kabar Yogyakarta? Iya, betul, selalu damai dan tentram. Yogyakarta selalu mengingatkanku dengan tawa renyahmu. Mengingatkanku dengan senyum miringmu. Mengingatkanku dengan selera humor rendahmu. Mengingatkanku dengan... Ketenangan matamu. Satu kesamaan antara kamu dan Yogyakarta. Sama-sama membuat tenang. Ah, ya, dan bebas. Bebas dalam artian menjadi diri sendiri. Yogyakarta mengajarkanku akan banyak hal. B A N Y A K. Sangat banyak. Terutama dalam hal sikap. Bagaimana seharusnya kita bersopan santun. Bagaimana seharusnya kita menghargai apa yang kita miliki. Bagaimana seharusnya kita memaknai hidup dan menghidupi hidup. :")

Jakarta sebuah kota dimana kita bertemu. Yogyakarta itu kotaku melakukan aktivitas. Jakarta itu kotamu melakukan aktivitas. Tetapi, Jakarta adalah kotaku untuk pulang. Untukmu, Yogyakarta lah kotamu untuk pulang. Jadi, di mana kita seharusnya bertemu (kembali), San? :")

Kau tau, San? Yogyakarta hampir sempurna. Hanya satu kurangnya; tidak ada rumah. Tidak ada tempat untuk pulang. Tidak ada keluarga dan... Kamu. :")


With smile,

Fin.


***
22.09 - 13 Februari 2016