Kamis, 31 Desember 2020

Tiga Rasa Dari Caraka

Aku mau ngobrol. Ketemu, yuk?

1 new message

Minggu pagiku berantakan. Siapa yang tidak panik? Tiba-tiba dapat notifikasi seperti itu dari so-called-boyfriend, huh? Overthinking-ku kumat, kemarin aku habis buat salah apa, ya? Sepertinya, kemarin kami tidak banyak berbicara, bahkan berbalas pesan dapat dihitung dengan jari. Sebaiknya aku balas apa, ya?

Namanya Caraka. Aku lebih suka panggil Caka, berbeda dengan panggilan teman-temannya, Raka. Sudah hampir satu bulan hubungan kami, hmmm, hambar? Aku tidak pandai dalam mendeskripsikan rasa dalam hubungan ini. Hanya dua rasa yang aku benar-benar tau. Rasa senang, ketika kami sedang melakukan aktivitas bersama atau ketika dia mengajakku untuk menemaninya hunting foto. Rasa sedih, ketika acara kami batal atau ketika dia tidak jadi menjemputku di tempat kursus. Karena itu, dalam satu bulan ini, aku tidak paham rasa apa yang ada dalam hubungan ini. Ini rasa baru bagiku. Tidak bagi Caka. Aku mengerti itu. Ah, betul juga, ia hanya minta ketemu untuk ngobrol seperti biasa, bukan? Aku harus mengerti.

First Crack Coffee, pukul 2 siang. Aku tunggu di sana, Elina.

Overthinking-ku yang kedua; Caka memanggilku menggunakan nama panggilan lengkap, tidak seperti biasanya yang hanya "El" atau "Na". Okay, kalian sudah boleh mengumpat kepadaku sekarang. Karena aku pun sedang benci diriku sendiri di saat-saat seperti ini. Sepertinya aku tetap harus mandi dengan aroma cokelat dan luluran, dengan ditemani relaxing piano music, seperti biasa. Kegiatan relaxation shower-ku hanya terjadi di setiap hari Minggu pagi, tujuan awalnya hanya untuk menenangkan diri setelah 6 hari bekerja keras. Semua keluarga dan teman dekatku tau bahwa aku paling benci diganggu Minggu pagi. Karena selain relaxation shower, agenda relaksasi lainnya yaitu membuat sarapan sendiri, sesuai mood tentunya. Hari ini sudah aku rencanakan untuk membuat sandwich isi telur dan keju, juga jus mangga sebagai pendampingnya. Tetap. Harus. Aku. Lakukan. 

Caka seharusnya tau bahwa mengganggu Minggu pagiku akan berakibat fatal selama 24 jam kedepan. Aku tau ada yang tidak beres dengan Caka dan pesannya. Aku hanya berusaha menumbuhkan positive vibes untuk diriku sendiri. Ah, dan satu lagi yang aku yakin tidak beres adalah tempat bertemu! Sejak kapan Caka mau ke daerah Kebayoran Baru di hari Sabtu dan Minggu?

***

"Maaf, ya, terlalu jauh dari rumah kamu." Sapaan Caka ketika aku menjatuhkan diri ke bangku sofa didepannya. Pilihan meja Caka memang tidak pernah salah. Bangku sofa untuk dua orang di pojok ruangan dengan cahaya yang cukup untuk membaca buku dan sudut pemandangan yang cukup untuk memanjakan mata.

"Gapapa, kok. Tumben banget, ada apa?"

"Kamu enggak mau pesan sesuatu dulu? Aku sudah pesankan kamu Coffee Latte, sih, tapi siapa tau kamu ingin yang lain?"

Aku balas dengan mengerutkan kening. Tidak biasanya Caka berbasa-basi seperti ini. Dia tau aku mengerti keadaan ini, maka dia menutup mulut dan kembali terhanyut ke dalam lamunannya sembari mengaduk-aduk cangkir kopi hitam yang tinggal setengah.

"Ada apa, Caka? Kamu tau aku akan selalu mengerti, bukan?" 

Caka mengehela nafas. Seharusnya ia tau aku tidak akan diam sampai ia berbicara, tapi kali ini aku kehabisan energi. Entah sejak kapan, berhadapan dengan Caka memakan banyak energiku. Tanpa sadar, aku lelah dengan apa yang kami jalani. Aku hanya mencoba untuk denial selama yang aku mampu. Tapi, tidak untuk sekarang, biarkan saja mengalir seperti seharusnya.

"Kita tidak bisa seperti ini terus, El. Aku tidak bisa."

"Kenapa? Ada apa? Ada yang salah dariku? Atau dari hubungan ini?"

"Kamu tidak salah, tidak ada yang salah. Aku saja yang tidak lagi bisa 'ada' didalam hubungan ini."

"Tapi, kenapa?" Aku tidak boleh terisak sekarang. Ini masih terlalu dini.

"Aku sudah tidak menumbuhkan api dan menaruh nyawa didalam hubungan ini. Aku masih haus. Aku belum merasa 'cukup'." Caka memajukan badan, kedua tangannya meraih tanganku yang sedang bertaut. Pramusaji menginterupsi kami. Setidaknya, aku punya waktu beberapa detik untuk menikmati tangannya yang menggenggam kedua tanganku, dalam diam.

"El, aku sudah tidak bisa menjalankan hubungan ini lagi. Hubungan ini terlalu baik dan terlalu nyaman untukku. Kamu tau aku tidak bisa menetap lama di satu tempat, bukan?"

"Aku tau. Aku juga tau kamu tidak akan pernah cukup hanya dengan aku didalamnya. Belum merasa cukup."

"Maaf, El.."

"Iya, aku tau kamu tidak bermaksud, kok, aku mengerti. Jiwa kamu memang belum sepenuhnya ingin bersamaku. Aku mengerti, Caka."

"Maaf karena ternyata aku membuatmu merasakan sakit. Maaf karena sudah tidak tegas dalam hubungan ini. Maaf juga aku tidak bisa menemanimu menghabiskan sore, menemanimu membaca buku sampai mengabiskan tiga cangkir kopi. Tidak bisa lagi mengajarimu melukis, mengajarimu membuat dessert yang lucu-lucu. Maaf.."

Aku tertawa kecil mendengar Caka berbicara. Ah, betul juga, sudah banyak hal yang kami lewati selama dua tahun ini. Aku rasa, ini rekor untuknya yang menetap cukup lama pada satu orang dan menghabiskan hari dengan manusia membosankan sepertiku.

"Tidak apa-apa Caka. Aku mengerti. Aku seharusnya lebih siap untuk perpisahan ini, aku seharusnya sudah tau ke mana ujung dari hubungan ini. Aku hanya tidak menyangka hanya sampai di bulan ini, tepat tahun kedua kita bersama."

"Kamu tau, kamu yang terhebat karena bisa membuatku sejauh ini. Terima kasih banyak, Elina."

"Aku mengerti. Tidak usah ucapkan kata perpisahan atau semacamnya. Itu hanya membuatku semakin berat hati."

"Iya, terima kasih sudah mau menemaniku sampai di titik ini, El."

"Terima kasih juga sudah bertahan denganku selama ini, Caraka."

"Aku boleh peluk kamu untuk yang terakhir?"

Aku merentangkan tangan. Memeluknya untuk yang terakhir ternyata tidak sesulit itu. Mungkin yang sulit adalah menerima rasa baru yang hadir dalam diriku. Rasa sakit. Ternyata, Caraka menorehkan rasa baru. Rasa yang seharusnya sudah aku persiapkan, tetapi ternyata tidak akan pernah siap.

Seperti arti namanya, pengembara, Caraka akan selalu mengembara sampai ia merasa lelah. Caraka tidak akan diam di satu titik. Ia akan terus berpindah, entah kapan ia merasa lelah. Satu hal yang tidak aku mengerti dari Caraka, yaa hanya itu. Kenapa ia tidak pernah merasa lelah dalam mencari?

Aku tidak mengerti.

Tetapi tak apa, aku merasa cukup bersyukur dengan kehangatan hubungan ini walau sebentar.

Karena sudah pasti, ada hal yang tidak akan ia mengerti juga. Ia tidak akan mengerti sehebat apa rasa yang sudah ia berikan untuk perempuan biasa saja sepertiku. Ia tidak akan mengerti sekuat apa perasaan ini untuknya. Bahkan jika ia memintaku untuk menunggunya suatu hari nanti, aku akan siap. Ia tidak akan mengerti itu.

Tak apa. Aku rasa aku cukup kuat untuk semua ini.

***

Jakarta, 31 Desember 2020.

Penutup tahun yang sedikit berat dan menguras emosi. Terima kasih atas pelajaran hidupnya, 2020!