Kamis, 10 Desember 2015

Tulisan Abadi

Tulisan mengabadikan semuanya.
Tulisan membuat kenangan tetap hidup dalam waktu. Ia membuatmu tetap ada disana, tidak beranjak pergi.
Tulisan membekukan setiap moment yang ada agar tidak berlalu. Agar kita dapat merasakan kembali masa-masa itu.
Tulisan mengajarkan masa depan untuk tetap berjuang karena masa lalu yang ada. Mengajarkan kita agar terus bangkit dan tidak meratapi masa lalu.
Tulisan bagiku...
Membuatku bisa melihatmu (lagi). Membuatku bisa menyentuhmu (lagi). Membuatku bisamenjamahmu (lagi). Dan tulisan bisa membuatku bisa merasa memilikimu (lagi).
Iya, itu kenapa aku terus menulis.
Terima kasih telah mengizinkanku mengabadikanmu dalam tulisanku.
Terima kasih juga telah mengabadikanku dalam tulisanmu.



***
23.36 - 9 Desember 2015

Rabu, 09 Desember 2015

Perempuan Itu dan Lelakinya

Perempuan itu duduk di sudut ruangan. Menerawang jauh keluar jendela sambil sesekali menyesap kopi hitamnya yang sudah mulai mendingin. Hujan rintik diluar semakin memperkuat mendung yang diciptakan oleh mata dan raut wajahnya. Novel biru muda dihadapannya tidak tersentuh sejak ia mendudukan diri di kursi itu. Begitu pula nasib chocolate cake, cappucino, dan muffin yang ada dihadapannya. Sepertinya...

Lelaki itu tidak datang, lagi.

Spot yang perempuan itu tempati, biasanya ditempati oleh dua orang, perempuan itu dan lelakinya. Lelaki itu. Entah sudah berapa hari, eh, bahkan minggu? Atau bulan, ya? Lelaki itu tidak lagi datang bersama perempuan itu. Perempuan itu biasa datang tiga hari sekali, pukul 4 sore, dengan satu novel ditangan kiri dan tangan kanan menggenggam tangan lelaki itu. Biasanya... Tidak lagi untuk akhir-akhir ini. Tetapi, perempuan itu tetap setia datang dan menunggu hingga jarum jam menunjukkan pukul 7, yang biasanya, lelaki itu akan tersenyum dan merayu perempuan itu untuk pulang dan beristirahat karena hari esok telah menunggu.

Perempuan itu masih memesan pesanan yang sama dan sepertinya akan selalu sama. Satu kopi hitam dan chocolate cake untuknya, satu cappucino dan muffin untuk lelakinya. Walau ia tau lelakinya tidak akan datang. Atau mungkin tidak akan pernah datang lagi? Perempuan itu melipat tangan dan memejamkan mata. Setitik air turun dari pucuk matanya yang indah. Lagi-lagi, perempuan itu menangis disela doanya. Pilu. Satu kata yang bisa mendeskripsikan wajah dan suasana bila melihat perempuan itu. Tetapi, perempuan itu tidak menyerah. Sepertinya, memang tidak akan pernah menyerah untuk terus menunggu dan menunggu. Untuk terus berharap dan berharap. Untuk terus berdoa dan berdoa. Perempuan itu telah melakukannya dan perempuan itu membuktikan bahwa kesetiaan memang nyata. Perempuan itu akan terus duduk dan menunggu lelakinya datang dan menggenggam tangannya untuk kembali pulang. Dan pada akhir menjelang pukul 7, setelah usai dari doa singkatnya, perempuan itu selalu mengambil tisu dan menuliskan sebuah pesan yang ia selipkan diantara cangkir capucino yang telah dingin dengan meja. Dan pesan itu selalu berisi dan akan terus berisi:

Aku disini. Dan akan selalu disini. Cepatlah pulang dan genggam tanganku. Lagi.



***

23.21 –  7 Desember 2015

Selamat tanggal tujuh :’)

                                                                                                                                                                                      

Rabu, 11 November 2015

Untitled (1)

Langit orange itu semakin lama semakin pudar. Pertanda malam akan datang menggantikan si elok senja. Dan aku masih disini, tidak mau beranjak, tetap merenungi hari kemarin, mengenang kenangan manis pahit, dan memejamkan mata berharap semua akan kembali seperti dulu begitu aku membuka mata.

***
18.00 - 11 November 2015

Jumat, 06 November 2015

Keinginanku

Kebanyakan orang menginginkan mesin waktu. Untuk memperbaiki kesalahan, untuk mengulang kenangan indah, bahkan untuk mengahapus sesuatu yang pahit.

Kebanyakan orang menginginkan tombol pause pada masa-masa kejayaannya. Pada masa-masa dimana hidup lebih indah dari sekedar kenangan. Dimana hidup memang benar-benar indah melebihi kenangan-kenangan itu sendiri.

Kebanyakan orang menginginkan kesempatan kedua. Dalam hal apapun. Entah dalam kesalahan ataupun kegagalan. Atau bahkan ada yang menginginkan kesempatan kedua untuk bahagia.

Tetapi, aku tidak menginginkan semua itu. Mesin waktu, tombol pause, kesempatan kedua, hanya membuat kita tidak bersyukur. Membuat kita tidak bisa menerima apa yang telah terjadi. Membuat kita tidak bisa menghargai waktu dan moment yang sedang terjadi. Membuat kita tidak lagi menyadari bahwa kenangan lah yang akan tetap kita butuhkan untuk meneruskan hidup.
Bukan, bukan berarti aku bisa melakukan hal tersebut. Aku hanya ingin..... Bisa menerima. Bisa sembuh dari luka. Dan bisa 'pindah' seperti yang dia lakukan.

Lalu, apa hubungannya? Hubungannya adalah tidak selama mesin waktu, tombol pause dan kesempatan kedua bisa untuk menerima, menyembuhkan luka, dan 'pindah'. Tidak percaya? Silahkan buktikan.

Sekali lagi, tolong, aku hanya ingin 'sembuh' dan bisa 'pindah' sepertimu. Tolong, bantu aku.

***
22.10 - 6 November 2015

Minggu, 11 Oktober 2015

Surat Untuk Bulan

Teruntuk kamu,

Semburat jingga di ufuk timur, tertangkap mataku dengan sempurna. Kabut tipis menyembunyikan Gunung Kidul disebelah utara, terbingkai indah dimataku. Satu lagi hal yang membuat aku jatuh hati dengan Jogja; Jogja dipagi hari. Sungguh, tidak kalah indah dengan pesona malamnya.

Tetapi, indahnya Jogja, tidak bisa membuat luka hati mengering dengan sendirinya. Tidak bisa membuat para pecahan hati berinisiatif untuk berkumpul menjadi satu lagi. Tidak bisa membuat obat penghilangkan memori.

Jogja memang kota yang sangat tepat untukmu berjelajah. Kota yang tepat untukmu merasakan ciri khas Indonesia; ramah tamah. Kota yang tepat untukmu mencari makanan enak dan murah. Kota yang tepat untukmu belajar bersopan santun. Kota yang tepat untukmu mencari teman baru. Kota yang tepat untukmu mencari, hem, hati baru? Untuk yang terakhir ini, aku tidak tahu. Sungguh.

Bagaimana bisa kamu mencari hati baru ketika hati yang lama saja belum tersusun kembali karena patah, belum sembuh kembali karena luka, dan belum terbuka kembali karena telah ditutup rapat oleh pemiliknya? Kalau aku sih, tidak.

Kau tau, Bulan?

Seberapa jauh aku pergi, hatiku tetap tidak mau ikut pergi (darimu). Seberapa jauh aku berjalan, tidak bisa membuat hatiku ikut berjalan (meninggalkanmu). Seberapa kencang aku berlari, hatiku tetap tidak mau ikut berlari (darimu). Seberapa tinggi aku melompat dan terjun, tidak juga membuat hatiku terlepas (darimu). Seberapa rendah aku tiarap, tetap tidak membuat hatiku ditelan oleh tanah (agar kamu menghilang dan masuk dalamnya). Seberapa dalam aku menyelami lautan, juga tidak membuat hatiku tenggelam (dari pahit-manisnya kenanganmu).

Bulan, terima kasih telah membuat hatiku patah berkeping-keping.
Doakan aku agar dapat menyusunnya kembali, ya!


Salam damai, 

Pujangga Bumi.


***

05.15 - 7 Oktober 2015

Rabu, 30 September 2015

Bulan dan September

September segera pergi.

Itu berarti, Bulan indah diatas sana, adalah Bulan terakhir dimalam September.

Iya, Bulan itu indah.

Bulan.

Seperti itu lah, dari dulu, aku menyebutmu.

Indah, jauh, dan tak tergapai.

Yang hanya bisa dipandangi dari jauh.

Bukankah Bulan seperti itu?

Lalu, mengapa September harus pergi secepat ini?

Bulan seolah hanya mengizinkanku menikmati malam diakhir bulannya.

Iya, malam ini.

Mengapa Bulan membuatku melewatkan September?

Atau memang September yang dengan sengaja pergi cepat agar aku menyalahkan Bulan?

Bulan, bagaimana bisa kamu melakukan ini? Kepadaku?

Ah ya, aku lupa.

Aku bukan apa-apa dan siapa-siapa untukmu.

Aku hanya sebatang pohon tak berdaya di bumi ini.

Setidaknya, Sepetember mengajariku bagaimana caranya menikmatimu, Bulan.

Bukan sebaliknya.

Aku tidak butuh September.

Kenapa?

Karena yang aku butuhkan sehari-hari itu kamu, Bulan.

Mungkin untuk saat ini saja, aku tak tau bagaimana untuk besok atau masa depan.

Butuh atau tidaknya aku padamu, Bulan.


Kamu tetap tidak akan tergapai, bukan?



***

19.45 - 30 September 2015

Jumat, 25 September 2015

Sebuah Tawa Baru

Angin yang kau bawa sangat kencang

Walau tidak sekencang degup jantungku ketika didekatmu

Mengapa kau selalu datang membawa angin?

Tidak bisakah kau datang dengan tenang?

Bukan, bukan berarti angin tidak menenangkan

Justru karena ketenangan angin kencang yang kau bawa itu lah, aku terhanyut

Terhanyut kedalam dirimu

Aku seperti mengarungi perahu kecil yang kau ciptakan sendiri untuk menelusuri duniamu

Harus kuakui, kau hebat

Hebat karena telah berhasil membawaku melupakan duniaku

Hebat karena telah berhasil mengocok-ngocok isi perutku dengan leluconmu

Hebat karena telah berhasil mengobrak-abrik moodku

Hebat karena telah berhasil....

Ah, kau telah membuatku berhasil melupakan sakitnya luka dalam itu

Bukan, bukan berarti kau telah memenangkan hati dan pikiranku

Hanya saja,

Kau memang berhasil membuatku melupakan semuanya sementara

Iya, sementara

Luka itu terlalu dalam, kalau kau ingin tau

Sekencang apapun anginmu

Sederas apapun hujanmu

Sehebat apapun perahumu

Tidak akan bisa membuat luka itu mengering

Well, terima kasih

Karena telah menularkan tawamu itu

Tawa yang pasti dirindukan semua orang


***

19.16 - 17 Sepetember 2015

Senin, 24 Agustus 2015

[Bukan Fiksi 1] Tiga Alasan Cinta Indonesia

Tiga Alasan Kenapa Kita Harus Mencintai Indonesia

Kali ini saya ingin membahas mengenai alasan kecintaan saya dan teman-teman saya dengan Indonesia.

Iya, saya dan teman-teman saya. Karena didalam posting kali ini, saya melibatkan teman-teman saya. Ya awalnya karena iseng aja dan bosan dengan isi line yang sepi dan gitu-gitu aja (kode). Dan saya merasa isi blog saya selama ini sangat tidak bermutu. Hm semoga postingan kali ini sedikit lebih bermutu ya.

Saya tidak tau kenapa yang saya ambil adalah tentang alasan mencintai Indonesia. Sampai detik saya menulis ini pun, saya masih bingung kenapa tentang ini. Mungkin kalau boleh menebak-nebak, karena saya selama ini kurang mencintai Indonesia dan kurang bersyukur telah dilahirkan di negeri ini. Kenapa? Saya tidak tau. Mungkin karena saya kurang belajar tentang Indonesia dan isinya. Dan kurang mau tau tentang Indonesia itu sendiri. Oh, enggak, saya juga enggak ngikutin trend-trend luar atau yang kekinian gitu, enggak. Lalu? Lebih suka berkutik sama novel-novel dan film-film menye-menye. Hanya itu.

Jadi, ini dia tiga alasan kenapa kita harus mencintai Indonesia dari teman-teman saya yang saya urutkan namanya sesuai dengan abjad.

Aisyah Rifani

1. Karena kita lahir & besar di tanah air Indonesia.
2. Karena kalau bukan orang Indonesia sendiri yang mencintai Indonesia, lalu siapa lagi.
3. Karena Indonesia mempunyai kekayaan yang melimpah, mulai dari alam & budayanya.

Ashki Afnan

1. Di Indonesia itu serba murah! Di negara mana coba bisa makan 10rb kenyang? 10rb kalau diluar dapetnya cuman air putih doang. Trus contoh lain transportasi. Di Jakarta, naik kereta ke Depok cuman 2rb haha murah sekali.
2. Karena Indonesia kaya rempah-rempah, rasa makanan Indonesia itu unik-unik dan aneh-aneh tapi enak.

Aulia Fahira

1. Banyak banget makanan yang enak dan rasanya gak ada yang nandingin.
2. Budayanya beraneka ragam.
3. Banyak banget tempat-tempat indah yang belum banyak orang tau dipelosok gitu.

Auliya Wiskha Widodo

1. Pemandangan alamnya yang wow! Tapi suka yang di daerah pedalaman gitu, bukan di kota. Hehe.
2. Kekayaan alamnya juga waw banget sih, tapi sayang kurang dimanfaatkan.
3. Banyak suku bangsa! Suka melihatnya. Selain itu aku sudah sangat ilfeel huahahaha.

Bernis Mutasya Fatonah

Indonesia itu ibarat lukisan abstrak, kelihatannya semrawut, tiap catnya saling bercampuran antar warna lain. Hal itu lah yang mencerminkan berbagai macam suku dan budaya yang menjadi satu dalam sebuah kanvas. Dimana saat sang pelukis menorehkan kuas diatas kain putihnya, disitu lah awal dari sebuah kisahnya. Ibarat kita kuasnya, kita lah yang mengikuti alur sang pemerintah. Memang acak-acakan tapi baru akan terlihat sempurna setelah selesai terbuat. Memang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, begitu juga seni pasti mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Sama halnya dengan Indonesia, disisi baik akan terlihat baik tapi jika dilihat sebelah mata akan terlihat sisi buruknya. Tapi, bukan kah lukisan abstrak itu indah? Ya anggap saja disini lo pelukisnya, penentu pola warnanya. Layaknya pelukis yang memiliki jiwa seni yang tinggi, melambangkan isi dari Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Tapi sekarang bagaimana kita akan membawa negara itu? Masa iya negara yang kekayaannya melimpah kayak gini gak lo cintain? Masa iya negara yang macam-macam budayanya kayak gini gak lo banggain? Inget, Sob, lo lahir di mana? Tanah mana yang lo injek sekarang? Ini semua tinggal lo yang menentukan mau dibawa ke mana bangsa lo yang kaya ini. Ya itu semua tergantung lo karena di sini lo yang buat temanya, lo yang menafsirkannya. Harusnya sebagai pelukis, lo pandai membuat sentuhan menarik, karena jiwa seni yang dibutuhkan ada didalam diri lo. Kekayaan yang negara lain butuhkan ada di negara lo. Tinggal lo yang atur temanya karen elo pelukisnya. Because earth without art is just eh.

Bitra Mouren Ashilah

1. Karena Indonesia termasuk negara yang kaya akan kekayaan alamnya. Indonesia mempunyai kekayaan alam yg berlimpah yang tidak dimiliki oleh negara lain. Negara Indonesia termasuk negara yg letak geografisnya sangat strategis yaitu dengan hanya memiliki 2 musim karena termasuk daerah tropis. Karena kekayaan alam Indonesia yang berlimpah, negara lain banyak yang bergantung pada kita, dari hasil bumi sampai hampir semua Indonesia punya. Makanya kita harus menjaga dan melestarikan Indonesia, karena Indonesia termasuk paru-paru dunia.

2. Indonesia adalah negara yang kuat, mampu bertahan dijajah oleh asing berabad-abad dan akhirnya mampu mengusir semua penjajah dengan sangat berani dan bijak. Indonesia selain kaya akan ala nya juga kaya akan sifat-sifat yang penuh dengan rasa berani. Indonesia adalah negara yg hebat, oleh karena itu kita harus mencintai Indonesia.

3. Indonesia banyak melahirkan orang-orang cerdas dan berpendidikan, banyak melahirkan penemu-penemu muda. Indonesia kaya akan segala aspek, bahkan banyak negara luar yang merekrut orang-orang cerdas dari indonesia, banyak negara asing yang sebenarnya membutuhkan Indonesia. Dari budaya, hasil bumi, sampai orang pribumi.

Cut Khairina Rizky

1. Indonesia itu punya kebhinnekaan yang gak dipunyain negara orang lain. Dan bangganya kita, kita bisa berbaur dan hidup dalam perbedaan itu dimana tidak ada racism layaknya Amerika (dulu) yang tidak menghargai kepentingan hidup kamu kulit hitam.

2. Indonesia itu punya keindahan alam yang orang luar aja envy sama kita, coba liat kekayaan Indonesia itu unik dan kalau di explore dalam dan lebih dalam lagi, kekayaan alam kita itu enggak ada habisnya. Istilahnya, nikmat mana lagi yang kamu dustakan?

3. Kita itu punya beribu bahasa bahkan kita yang tinggal dalam satu negeri ini aja enggak tau bahasa daerah yang lain, dan lidah kita itu berbeda dengan orang lain. Lidah orang Indonesia begitu mudah mempelajari bahasa asing tetapi lidah orang asing tak sefasih orang Indonesia punya. Indonesia itu juga masih memiliki adat yang kental, Indonesia itu bepegang teguh sama satu prinsip yaitu Pancasila, dan itu membuat kita berbeda dengan negara lain karena negara lain memiliki paham liberal, komunis, sekuler dan lain-lain sehingga tidak terlihat “langka” atau mainstream. Dan yang aku sukai Indonesia itu penduduknya ramah dan suka menolong, dan sangat antusias apabila kedatangan bangsa asing, mangkanya dijajah hehe. Tapi, Indonesia itu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu. Sangat menghargai perbedaan dan tidak pernah egois dalam pencapaian kemerdekaan atau kemajuan suatu daerah saja, tetapi saling bahu membahu untuk membuat Indonesia itu satu.

Dody Cahyadi

1. Kita harus cintai negara asal kita sendiri.

2. Kita cinta sama Indonesia karena kita memiliki banyak budaya dan banyak bahasa.

3. Kita cinta Indonesia karena Indonesia memiliki tempat-tempat wisata yang enggak kalah bagusnya dari negara lain yang contoh sederhananya adalah gunung dan pantai di Indonesia yang tidak kalah indahnya dari negara luar.

Esa Khairina

1. Kita itu punya banyak potensi. Like, bunch of golds and silvers onto mountains and rivers. Tapi karena kita enggak mau menggali semua potensi itu, jadilah orang lain yang melakukannya. A good thing, perhaps. Lo tau kan kalau actually warga asli Papua nolak Gunung Gresberg dicungkil dan diambilin emasnya? Ini agak rude sih, but most of our people are still conservative, if not primitive, and they fear they would cause an imbalance to the nature. Again, it is a good thing. Sayang kita salah pilih represantasi. #ups

2. Selain potensi material, kita terus berkembang-biak. Itu potensi, lho. Anak-anak muda itu calon penerus bangsa. Itulah kenapa negara-negara di Eropa menggalakkan kampanye “ayo bikin anak” dengan memberi banyak jaminan sosial dan keuntungan bagi mereka yang mau hamil dan punya anak. Karena takur sumber daya manusia mereka punah. And it’s a real shame to miseducate our children with useless stuffs. Here’s the thing: seharusnya hal pertama yang diajarkan orang tua dan institusi pendidikan ke anaknya adalah moralitas. Toleransi. Gimana caranya biar mereka enggak hanya menghargai pendapat orang lain, tapi bisa melihat alasan kenapa mereka berpendapat demikian. As Helen Keller pointed out, “The highest result of education is tolerance.” Dan ha. Alasan kenapa kita belum maju padalah udah sekian tahun merdeka, menurut gue, ya karena kita masih sering mencampuradukkan antara hak dan kewajiban, padahal seharusnya dua aspek itu berdiri sendiri walau saling berinterelasi.

3. Dan yang terakhir, gabungan dari SDA dan SDM yang belum ada istilahnya. Selama ini kita menyebutnya "budaya". It's lame and cliché, tapi kita emang kaya banget sih, asli. Tajir banget euy. Makanannya. Bahasanya. Senjatanya. Adat istiadatnya, walau ada beberapa yang bertentangan dengan konstitusi (sebobrok-bobroknya eksekusinya di negeri ini) dan hak-hak dasar manusia. Sampe sekarang gue masih nggak ngerti kenapa ada adat yang "menjual" anaknya gitu aja dan menolak memberi mereka edukasi karena faktor budaya itu. But I'll leave that subject. Soal makanan, nih. Siapa sih yang bisa nolak martabak? Dan selendang mayang? Dan rendang? Dan sate padang? Bahkan Indomie yang notabene menurupakan modern culture aja sampe dicap bagian dari budaya kita juga sama orang luar. INDOMIE. Tapi emang enak banget sih. Di Belanda, orang-orang bisa bedain mana orang Indonesia dari aroma rokok kretek. Segitu tenarnya kita. Segitu bedanya kita. Dan lagi-lagi, saudara-saudara, alangkah sayangnya kalo semua budaya itu is being overshadowed by our blind fanatism. Kalo sering ngomong bahasa Inggris, berarti nggak cinta Indonesia dan budayanya. Berarti Habibie yang menghabiskan separo hidupnya ngomong dalam bahasa Jerman dan sekolah di Jerman nggak nasionalis, gitu? W suapin sendal Swallow juga u. It is unquestionably wrong, seenaknya nge-suspect kalo mereka yang mempelajari budaya lain, berarti melupakan budaya sendiri. Nggak juga. Karena sesungguhnya museum paling abadi adalah pengetahuan. Selama lo tahu dan hafal lagu Suwe Ora Jamu, selama lo menyanyikannya ke orang-orang dan membuat mereka tahu kayak apa sih lagu Suwe Ora Jamu itu, dan dari mana asalnya, it doesn't matter if you speak English or Cantonese or Finnish; for me it's still an appreciation and an act to conserve and preserve our culture.

Fajar Banuadi

1. Karena hasil karya nenek moyang.

2. Karena hasil perjuangan para pahlawan.

3. Karena Indonesia merupakan negara yang harus dikembangkan.

Fianisa Tiara Pradani

Alasan kenapa kita perlu cinta Indonesia itu adalah budaya, alam, dan makanan. Saya menyebutkan tiga poin diatas karena menurut saya dari tiga poin itu lah mengapa saya sangat mencintai Indonesia. Mulai dari budaya yang sangat beraneka ragam yang ada di tiap suku-suku yang terdapat di Indonesia. Dan juga terdapat banyak makanan khas indonesia yang rasanya sudah tak diragukan lagi orang para penikmat kuliner di Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Selain itu, negara Indonesia yang terdiri dari kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Mulai dari pegunungan, laut, hingga gua-gua. Dan dalam kekayaan alam itu juga terdapat banyak sumber daya yang sangat banyak dan bernilai jual tinggi. Maka dari itulah saya mencintai Indonesia. :)

Fatima Risha dan Rahadian Tika

Karena Indonesia adalah tempat lahir kita. Indonesia itu negara ibu. Trus udah pewe gitu deh. Indonesia juga iklimnya bersahabat. Masih banyak tempat wisata di Indonesia yang belum terjamah. Walaupun banyak permasalahan di negara ini, tapi tetep aja karena negara asal jadi nyaman. Di Indonesia ada nasi padang. NASI PADANG. Dan di Indonesia ada... Dia.

Fatima Ulvayani

1.Kita lahir di Indonesia.

2. Banyak ragam jenis tarian dan pemandangan yang luar biasa tak ada di negara lain.

3. Indonesia adalah bahasa tersusah di negara urutan ke-3 dan beruntunglah karena kita telah dilahirkan di Indonesia.

Indah Pujiati

1. Indonesia itu negara yang sangat baik. Liat aja orang buang sampah sembarangan gak ada yang nindak. Setau saya di negara tetangga orang yang buang sampah sembarang akan dapat pasal dan disuruh denda atau masuk penjara.

2. Indonesia juga punya masyarakat yang sangat baik. Semua orang kenal gak kenal ditanyain kabarnya. Dan kita cuma bisa merasakan hal ini di Indonesia.

3. Dan MAKANAN Indonesia itu enak-enak banget gak bakal nemu di negara lain. Culture yang beraneka ragam dari Sabang sampe Marauke bisa dijumpain cuma lewat satu negara . How amazing is that? Kalo bukan kita yang cinta negara sendiri siapa lagi coba?? siapa lagi yang bakal ngelestariin budaya bangsa yang antik-antik? Well, biarpun juga gak muluk-muluk melestarikannya ya at least saya tidak melupakan ataupun menolak jika ada tayangan wayang atau tari-tarian daerah atau apapun yang selama ini dianggap kuno oleh kebanyakan anak muda.

Ya jadi itulah alasan kenapa saya harus cinta Indonesia. Kalian juga harus mencintai Indonesia jika kalian ingin orang-orang dari negara lain juga mencintai Indonesia.

Indira Salsabila

1. Pemandangan alamnya.

2. Tempat lahir sendiri, masa enggak? Orang tua dan nenek moyang dari sini juga pasti menganggap negara ini kayak rumah gitu.

3. Adat dan budaya disni beragam banget.

Kania Zara

1. Indonesia udah susah susah direbut dari Jepang sama Belanda, jadi sudah sepantasnya kita mencintai hasil perjuangan pejuang dahulu.

2. Kalau bukan warganya sendiri yang cinta Indonesia, siapa lagi?

3. Cinta Indonesia dapat memajukan bangsa.

Kintan Ayudia

1. Karena Indonesia itu punya keanekaragaman budaya, suku dan etnis.

2. Karena Indonesia itu indah akan wisata alamnya yang menakjubkan dan memanjakan mata.

3. Karena Indonesia itu kaya, akan hasil alam dan biota laut yang keren keren.

Lisa Permatasari

1. Bahasa kita beragam. Bukannya cuma Indonesia ya yang setiap daerah bahasanya beda-beda? Mungkin gara-gara itu juga lidah kita cocok sama logat bahasa negara lain.

2. Budaya kita juga beragam. Setiap daerah punya kebudayaan masing-masing. Walaupun nama depannya sama-sama Jawa atau Sumatera tapi beda belakangnya kaya, barat, timur, utara, tengah ada lagunya, tariannya juga udah beda. Malahan gak cuma lagu sama tarian, nah ini nyambung sama poin ketiga.

3. Masakannya apalagi. HAHA. Masakan khas udah pasti beda-beda. Akhir-akhir ini jadi penikmat makanan kalau lagi liburan ke daerah nyobain makanan khas daerah itu. Moral advice yang didapet dari makan-makan itu adalah beli makanan khas emang paling enak dari daerah itu sendiri. Rasanya beda pempek palembang dari palembang asli sama yang kita beli di deket rumah. Kalau rumah kita di palembang sih gak apa-apa, enaknya sama hahaha.
Gak jelas banget kayanya. Aku ngomongin poin yang emang udah obvious banget. Aku juga masih belajar mencintai(?) Indonesia nih. Gimanapun juga Indonesia itu negara asal kita. So we have to love every single thing about Indonesia, because really our country deserves some love. :")

Muhammad Dinil Haqiqi

1. Gue cinta Indonesia karena makanan-makanan kuliner di Indonesia.

2. Karena di Indonesia gue bisa denger adzan di mana-mana.

3. Karena sekarang banyak yang ingin menghafal Alqur’an yaa walau gak semua orang juga.

Muhammad Syahrizan Aslam

1. Karena kita lahir di tanah air Indonesia.

2. Mencari nafkah dan kehidupan di Indonesia.

3. Dan juga karena saudara sedarah dan orang tua hidup dan tingal di Indonesia.

Nandya Fajriani

1. Karena Indonesia itu kaya. Kaya keindahan aspek yang mungkin belum disadari banyak orang. Lautnya, tanahnya, budayanya, keanekaragamannya.

2. Karena kita lahir dan hidup di indonesia. Bagaimanapun buruknya Indonesia, bagaimanapun juga kita makan dan minum dari tanahnya.

3. Karena Indonesia negeri kita. Sebagaimapaun hebatnya rumput tetangga tak ada yang lebih merindukan dari pada negeri sendiri.

Nona Juniar

Karena Indonesia tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan tumbuh berkembang.

Nurmala Oktaliani

Karena Indonesia negara kita sendiri dan punya budaya dan alam yang beragam, jadi patut kita cintai.

Rachmaniawati

1. Tempatnya. Karena terletak di khatulistiwa jadi iklim tropis. Gak terlalu ekstrim cuacanya pokoknya. Udah gitu, yang bisa dicari di luar negeri ada beberapa yang ada di Indonesia!

2. Makanan! Mungkin makanan di Indonesia itu mostly traditional ngga terlalu classy kayak makanan luar. But I suppose itu malah de best!

3. Budaya. Kalo diteliti diliat-liat dari Sabang sampai Merauke budaya di Indonesia fix beragam banget sih. Udah gitu unik dan keren-keren banget.

Rakrya Galih

1. Karena Indonesia itu cuma satu, gak ada gugusan 17.000 pulau lain di dunia.

2. Karena Indonesia itu nggak logis, banyak masalahnya tapi kesempatan buat hidup bahagia masih berbanding lurus. Gak perlu keluar negeri buat cari kebahagiaan.

3. Karena Indonesia itu kita, dan kita itu Indonesia.

Ridha

1. Karena Indonesia makanannya enak-enak, gak bisa ditemuin di mana pun.

2. Karena Indonesia alamnya tuh bagus banget walaupun infrastruktur suka kurang memadai tapi sebenernya alamnya keren abis.

3. Karena Indonesia itu orangnya ramah-ramah dan kekeluargaan, gak individualistis.

Indonesia sebenernya gak usah dikasih tau buat dicintai juga udah kita cintai yakan yakan yakan.

Ririn Damas

1. Sebagai bentuk rasa patriotisme

2. Bentuk kewajiban warga Indonesia

3. Karena kita lahir dan besar di Indonesia

Shafira Ray

1. Nasi Goreng

2. Martabak

3. INDOMIE

Sheila

Kita harus cinta Indonesia dong! Karena apa? Semua di Indonesia tuh ada! Budayanya yang sangat khas! Makanan enak & lezat yang gak bisa ditemuin di negara lain! Berbagai macam suku, bahasa dan adat istiadat.

Siti Nur Kholifah

1. Karena Indonesia ya tempat lahir gue, dari gue didalem perut emak sampai umur segini tinggal di Indonesia, ngomong pakai bahasa Indo, lagi juga pas gue lahir, udah gak ada jajah-jajahan. Jadi gue juga harus menghormati jasa para pahlawan, bersyukur deh hidup lo gak dijajah, emangnya enak kerja rodi? Disuruh kerja tapi kagak dibayar, emang robot? Jadi, gue mencintai Indonesia.

2. Indonesia itu unik, penuh dengan seni. Dari ujung sampai ujung punya budaya yang beda-beda, gue anaknya seni gitu sih.

3. Kalau bukan kita yang mencintai negeri kita, siapa lagi? Mau ikut-ikutan mencintai negeri orang? Nanti kalau bule-bule ngambil budaya kita, baru lo mau cinta negeri lo? Basi. Cintai apa yang lo miliki saat ini, rawat dan lestariin.

Tengku Najlaa Taqiya

1. Bhineka Tunggal Ika. Indonesia punya suku, agama, ras yang beragam. Somehow, kita masih bisa hidup 'lumayan' akur.

2. Makanan. Cuma di Indonesia ada makanan-makanan enak haha. Semacam rendang, gudeg, dan masih banyak lagi.

3. Pemandangan Indonesia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia punya pantai dengan pemandangan yang indah. Gunung-gunungnya juga tidak kalah indah.

Ulfa Azizia

1. Indonesia punya bermacam-macam kesenian, bahasa, adat istiadat, musik tradisional yang indah dan menarik.

2. Indonesia adalah negara kepulauan yang termasuk dalam negara demokrasi terbesar di dunia dan banyak pemandangan yang indah yang tidak ada habisnya di sini.

3. Indonesia adalah negara yang sebenarnya sudah kaya dan tinggal digali sedikit saja untuk menjadi negara maju. Gak usah susah-susah asal usaha dikit Indonesia pasti jadi negara hebat.

Yongki Umam Sandi
Emm menurut gua sih: lahir disini, hidup disini, makan yang ada disini (ngambil hasil buminya).

Itu adalah sebagian pendapat dari teman-teman saya yang merupakan anak bangsa. Iya, tidak semua anak bangsa bangga dan cinta kepada Indonesia, seperti beberapa pendapat teman saya yang tidak saya tuliskan diatas karena alasan tertentu.  Kenapa? Karena negara yang katanya bebas mengutaran pendapat  ini tidak selamanya benar-benar bebas.

Untuk pendapat saya sendiri, tiga alasan kenapa saya harus cinta Indonesia:
Karena saya lahir di tanah ini, karena saya dibesarkan di bangsa ini, dan karena sampai saat ini saya hidup di negara ini. Sesimple itu.

Mungkin memang pikiran ini baru muncul dan saya sadari ketika saya sedang iseng-iseng membaca sebuah artikel mengenai Indonesia. Dan pemikiran akan kecintaan untuk Indonesia ini semakin kuat ketika saya mengikuti ospek universitas. Iya, benar-benar ah apaya? Pengetahuan dan kecintaan saya akan Indonesia benar-benar masih secuil. Dan saya sebagai salah satu pemuda, mahasiswa, penerus bangsa, merasa belum melakukan apapun untuk negara ini, bahkan mencintai bangsa ini pun sedang dalam tahap “baru sadar”.

Pesan saya sebagai salah satu warga Indonesia kepada kalian yang juga warga negara Indonesia dan mungkin sampai saat ini hidup dan mengambil sumber daya dari Indonesia adalah cintai ibu pertiwimu ini. Cintai negara ini. Bila kalian sudah mulai mencoba mencintai atau bahkan sudah sampai tahap mencintai, kalian pasti akan berbuat sesuatu yang baik untuk negara ini.

“Cinta negaramu dengan cara yang berbeda. Cintai negaramu dengan integritas.” Bapak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, pada PPSMB UGM 2015.



***
13.30 - 24 Agustus 2015

Selasa, 11 Agustus 2015

Sekencang Kereta

Saat ini jarum jam menunjukan pukul 8.25 malam hari.
Keretaku melaju kencang.
Sekencang aku berlari dari hiruk-pikuk Jakarta.
Sekencang aku meninggalkan kenangan pahit dan manis.
Sekencang aku membawa mimpi-mimpi akan masa depan.
Sekencang aku meyakini pikiranku bahwa ini akan jadi perjalanan yang menyenangkan, walau penuh liku.
Bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi pada waktunya.
Bahwa semua memang harus berubah, demi sesuatu yang dimimpikan.
Bahwa adaptasi tidak semenyeramkan yang dikhayalkan, walau pasti ada masanya.
Bahwa ternyata kamu lah yang menenangkan semua ini, bukan dia.
Aku, pikiranku, dan perasaanku mencoba menegapkan badan.
Untuk terus melangkah dan menghadapi apa yang ada didepan mata.
Aku, pikiranku, dan perasaanku mencoba meneguhkan hati.
Untuk mengikhlaskan semua yang terjadi.
Seperti ucapanmu.
Semoga kamu pun begitu.

***
20.46 - 11 Agustus 2015

Senin, 03 Agustus 2015

Terima Kasih Telah Berdoa

Tidak banyak yang benar-benar berdoa untuk sesama kita.

Maksud saya, ya, benar-benar jarang seseorang yang mendoakan orang lain dengan sepenuh hati. Apalagi jika orang itu meminta seperti "Doain yaa" atau "Iya mohon doanya yaa".
Kamu yakin mereka akan benar-benar berdoa untukmu?
Dan mereka menjawab dengan "Iya, amin." atau "Amin amin, pasti kok." hmm, tidakkah itu hanya basa-basi semata?
Jika kamu meminta seseorang mendoakanmu, minta lah dengan sopan dan sepenuh hati.
Ya, memang, kita tidak akan tau kapan orang itu benar-benar berbicara sepenuh hati, tetapi bukankah ada Tuhan yang Maha Mengetahui? Saya rasa orang itu juga akan merasakannya dan benar-benar berdoa untukmu.

Dan jangan lupa ucapkan terima kasih. Kepada siapapun yang kamu 'mintai' dan yang bilang 'akan' mendoakanmu.
Bukan, disini saya bukan untuk berceramah atau apapun yang kamu pikirkan itu.
Saya hanya.. Hmm bercerita?
Ah, bukan, lebih tepatnya mengucapkan terima kasih.

Terima kasih.
Kepada kalian yang telah mau meng-amin-i setiap doa saya yang melantur dalam obrolan kita.
Kepada kalian yang saya 'mintai' dan 'memenuhi' permintaan saya.
Kepada kalian yang meng-amin-i dengan hati yang tulus. Oh, dan juga yang tidak tulus.
Terima kasih.
Kepada kamu yang menyebut nama saya dalam doamu.
Kepada kamu yang telah bersedia mendoakan saya atau lebih tepatnya kita dengan hatimu.
Kepada kamu yang mewajibkan kita saling mendoakan.
Terima kasih.
Semoga doa kalian, saya, dan kamu dikabulkan oleh Tuhan.
Amin.


***
21.15 - 3 Agustus 2015

Minggu, 02 Agustus 2015

Yogyakarta

Stasiun Gambir, 23:00 - 25 Juli 2015

“Kereta lo jam berapa sih, Ra? Lama bener.”

“Setengah jam lagi, hehe. Lo duluan juga gapapa kok, Mir.”

“Ah lo tuh ya, kenapa dadakan banget sih ke Yogya-nya?”

Malam minggu kali ini, Mira, sahabatku mengantarku ke Stasiun Gambir karena aku ingin pulang ke kampung halamanku, Yogyakarta. Sebenarnya, Yogya bukanlah kampung halamanku yang sesungguhnya. Aku menyebutnya kampung halamanku karena semua langkahku berawal dari kota itu. Sejak pertama aku menapakkan kaki di dunia hingga berulangtahun ke-17. Hingga sampai pada saatnya aku harus kuliah dan bekerja di Jakarta karena tuntutan orang tua.

“Eh, Ra! Kok lo bengong sih? Jawab dong pertanyaan gue, kenapa dadakan banget ke Yogya-nya? Gak biasanya lo kayak gini.”

“Pengin ke sana aja, hehe. Butuh udara segar.”

Dan pergi dari kenyataan. Tentu saja yang ini aku ucapkan dalam hati.

“Lo mau menghindar dari Fahril, ya? Ya, kan, Ra? Ngaku deh lo sama gue!”

“Kenapa lagi sih lo sama dia? Bukannya kalian udah baikkan ya kemarin? Heran deh gue sama lo, udah punya cowok kece abis macam Fahril tapi tetep aja cuek-cuek bebek. Lo harusnya bersyukur, Ra.”

“Menurut gue, coba deh lo terima perhatian dan kasih sayang dia. Terima juga kekurangan dia yang suka main mata itu. Namanya juga cowok, wajarkan?”

Aku biarkan semua perkataan-perkataan Mira menyesaki pikiranku. Aku biarkan semua mengambang tak terjawab. Saat ini, aku hanya butuh kota Yogya beserta isinya. Iya, ‘isinya’.

***

Malioboro, 17.00 – 27 Juli 2015

Sejuknya udara sore kota Yogya mengajakku untuk terus menyusuri jalan Malioboro ini. Sudah genap tiga tahun aku tidak pulang ke kota nan indah ini. Sore ini, aku tidak berhenti tersenyum. Kurasa, setiap orang disepanjang jalan ini pun begitu. Mereka selalu tersenyum, menawarkan keramahan yang tak ada tandingannya. Para penjual dan pembeli yang sedang tawar-menawar, para musisi jalanan yang tak henti-hentinya bersenandung walaupun uang receh sudah mereka terima, para tukang becak yang tak lelah menawarkan tumpangan, dan para pedangan makanan lesehan yang menggoda perut dikiri jalan.

Aku terus berjalan sambil mengingat-ingat setiap kejadian yang terjadi disetiap sudut jalan ini. Memori-memori itu tersimpan sempurna disalah satu bagian otakku. Tentang apa yang terjadi didepan plang jalan Malioboro. Tentang apa yang terjadi didepan masjid sebelah gedung DPRD. Tentang apa yang terjadi didepan Mall Malioboro. Tentang apa yang terjadi didepan Museum Benteng Vredeburg. Tentang apa yang terjadi di halaman sekitar Monumen SO 1 Maret. Dan semua itu tidak jauh-jauh dari kamu, Leo.

Aku tidak ingat bagaimana persisnya obrolan awal kita beberapa menit yang lalu, karena aku sibuk terpesona akan kehadiranmu. Aku tidak ingat apa yang aku dan kamu katakan sampai akhirnya membawa kita pada rumput hijau dibelakang Monumen SO 1 Maret ini. Kamu asyik bercerita dan yang aku lakukan hanya mendengarkan sambil diam-diam mengagumimu, seperti yang kulakukan beberapa tahun lalu. Hingga pertanyaanmu menyadarkanku.

“Aku lupa deh kapan kita terakhir ngobrol kayak gini. Rasanya kayak udah lama banget.” Ucapmu dengan entengnya sambil menengadah ke langit sore yang sangat sangat indah. Indah seperti perasaanku saat ini. Saat sedang bersamamu.

“Tujuh tahun lalu sebelum aku pindah ke Jakarta.” Aku tidak yakin kamu benar-benar membutuhkan jawabku yang satu ini.

“Oiya ya! Yaampun lama banget ya. Tapi, aku ngerasanya udah kayak puluhan tahun deh. Ra, kamu kenapa gak tinggal di sini lagi aja sih? Kalau kamu tinggal di sini lagi, aku juga pindah ke sini lagi deh!”

“Lho emang kamu sekarang tinggal di mana? Kok gak cerita sih?”

“Hahaha gimana mau cerita, wong kamu dihubungi aja ndak  bisa. Aku pindah ke Bali beberapa bulan setelah kamu pindah, Ra.” Matamu, oh no! Kenapa kamu menatapku seperti ini, Leo? Ingin membuatku semakin terperangkap, hem?

“Kenapa?” Tanyaku sambil menelan ludah dengan susah payah.

“Karena Yogya tanpamu bukan lah Yogya yang seru dan indah lagi. Sejak kamu pindah, semuanya sepi. Aku enggak menemukan lagi keseruan di sini.” Hei! Bukannya harusnya aku yang mengatakan seperti itu? Bukannya aku yang harusnya mengatakan itu ke kamu? Duniaku tanpamu, Leo, sepi dan tidak indah. Sangat sangat tidak indah.

“Kamu kenapa sih, Ra?” Tanyamu dengan tatapan menuntut.

“Kenapa apanya?” Aku butuh air dingin saat ini. Sungguh.

“Kamu kayak menghindari aku. Padahal dulu, kamu sendiri yang bilang kalau kita jangan sampai lost contact. Bikin aku pusing sendiri tau gak, Ra.” Katamu sambil mengacak-acak rambut tebalmu itu hingga membuat kacamatamu sedikit goyang. Kamu benar-benar terlihat frustasi, huh? Atau ini perasaanku saja?

“Kapan aku bilang begitu?”

“Waktu kita umur 10 tahun. Di sini juga. Sore hari juga. Kamu yakin lupa? Biasanya kamu yang paling ingat semua hal-hal tentang kita.”

Aku.. Aku tidak tau harus berkata apa. Leo benar-benar ingat. Aku hanya bisa diam sambil memandangi orang-orang yang sedang bermain skateboard. Aku selalu berpikir kalau kamu tidak akan mengingat hal-hal kecil tentang kita. Hal-hal penting tentang dirimu sendiri saja lupa, bagaimana tentang kita?

Semua pembicaraan kita membuat perasaanku semakin tidak karuan, walau terselip rasa nyaman dan tenang. Aku pulang ke Yogya memang untuk mencari ketenangan dan kenyamanan, dan salah satunnya ada pada dirimu. Tetapi, aku tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Mungkin tidak bagimu, tapi iya bagiku. Kamu membuat perasaan dan pikiranku semakin rumit. Terlalu banyak pertanyaan yang membutuhkan penjelasan. Terlalu banyak rasa yang membutuhkan pembalasan. Usahaku selama tujuh tahun ini yang kurasa cukup ternyata... Tidak.

“Trus, kenapa kamu sekarang bisa di Yogya, Leo?”

“Enggak tau, akhir-akhir ini aku kangen Yogya. Jadi, tiga hari lalu aku memutuskan untuk ke sini. Eh, ternyata kamu juga di sini. Kebetulan bangetkan, Ra?” Senyummu tetap menghiasi bibirmu yang bercampur asap. Batang kelima untuk kurun waktu dua jam ini, sebanyak itu kah kamu merokok?

Hem, teori kebetulan, Leo? Kebetulan Indonesia merdeka? Benteng Vredeburg dibangun di Yogya? Kebetulan orang tua kita berteman akrab? Kebetulan aku dan kamu bertetangga saat kita kecil? Kebetulan kita masuk di SD, SMP dan SMA favorit yang sama? Dan kebetulan kita bertemu lagi di sini? Di Yogyakarta ini? Tidak masuk akal. Kamu tau betul kalau aku sangat menentang teori kebetulan, bukan?

“Kamu di sini sampai kapan?”

“Sampai kamu pulang ke Jakarta, Ra. Aku mau habisin waktu sama kamu selagi ada kesempatan. Gapapa, kan?” Tanyamu sambil menyentuh jari-jari tanganku. Seperti dulu, ketika kamu sedang memohon sesuatu kepadaku. Bila kamu sudah melalukan ini dan ditambah menunjukkan binar mata memohon, aku tidak akan sanggup menolak. Dan, yap, seperti dulu, aku tidak bisa menolak.

“Kenapa kamu ke Yogya, Ra? Ada pekerjaan?”

“Enggak kok, cuma kangen aja. Jakarta terlalu keras buat berpikir jernih.”

Dan terlalu keras untuk menyembuhkan luka hati. Imbuhku dalam hati.

“Kayak bukan kamu deh, Ra. Pasti kamu ada masalah, yakan? Kamu bisa kok cerita ke aku, kayak dulu.” Kayak dulu. Aku mengikuti dua kata terakhirmu. Terasa sekali luka hati yang telah lama kering yang ternyata tidak benar-benar kering. Entah ini benar-benar hanya lukaku saja atau ada lukamu? Benarkah kamu juga terluka?

Leo, dari dulu aku yang selalu bercerita tentang semua masalahku dari mulai masalah keluarga hingga masalah cita-cita, dari masalah kecil hingga masalah besar. Begitu pula denganmu. Tetapi, kenapa dari semua masalah yang kita bagi, tidak pernah ada masalah tentang cinta? Memang benar tidak ada masalah cinta dikehidupan kita ataukah memang kita saling menyembunyikan masalah cinta kita masing-masing?

Bila kamu ingin tau masalah cintaku, Leo. Namamu lah yang akan selalu aku sebut. Kamu akan selalu mendengar namamu sendiri bila aku sedang bercerita tentang masalah cinta. Tidak pernah ada nama lain sampai aku pindah ke Jakarta dan ada seseorang datang merusak apa arti cinta itu sendiri. Ia merusak cintaku kepadamu, Leo. Ia merusak arti cinta bagiku. Ia merusak filosofiku. Aku sakit karena dia, dan juga karenamu. Tapi, pada akhirnya aku menyerah dengan menerima dia sebagai kekasihku. Ia adalah Fahril. Kukira dengan bersamanya, bayanganmu akan hilang dengan sendirinya. Tetapi ternyata, tidak semudah itu. Tidak mudah menghilangkan bayanganmu. Tidak mudah untuk melangkah dari hatimu, Leo. Sampai pada waktunya, aku merasa benar-benar lelah. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku tidak bisa merasakan perasaanku sendiri. Aku merasa seperti mencintai keduanya, kamu dan Fahril. Aku benar-benar tidak bisa mendeteksi perasaanku.

***

Bandara Adisucipto, 06:30 – 1 Agustus 2015

“Arghh, kenapa sih jam terbangku duluan dari pada jam kereta kamu, aarghh.” Keluhmu sambil mengacak-aack rambutmu yang sudah rapi. Aku hanya tertawa menanggapi ulah kekanak-kanakanmu itu.

“Dari pada kamu besok kamu telat? Bukannya kamu harus foto prewed?”

“Ah, iya. Aku masih gak nyangka deh harus nikah secepat ini. Rasanya masih mau main-main pasir atau panjat pohon sama kamu, Ra, hehe.”

Iya, aku juga tidak menyangka kamu akan secepat ini ‘meninggalkanku’. Aku senang? Tentu aku senang, melihatmu tersenyum bahagia seperti itu. Aku sedih? Tentu aku sedih. Bagaimana tidak? Aku mencintaimu terlalu lama dan dalam. Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Tidak ada selain berdoa kepada Tuhan agar kamu benar-benar diberi kebahagiaan dan aku benar-benar dikuatkan untuk melewati semua ini.

“Ra? Kamu kok bengong? Lho, kamu kenapa nangis?” Iya, aku memang bodoh. Tidak bisa menahan air mataku. Benar-benar bodoh.

“Kamu kenapa? Jangan sedih dong. Kita kan masih bisa ketemu dan ngobrol lagi. Toh dua bulan lagi kita ketemu di acara pernikahanku, kan?” Katamu sambil mengusap butir-butir air mata yang jatuh di pipiku. Aku tersenyum. Senyum yang sangat susah untuk aku lakukan.

“Nah, gitu dong, senyum. Kan jadi enak diliatnya. Aku suka banget deh Ra ngeliat kamu senyum gitu.” Katamu sambil terus megusap pipiku. Aku tetap mempertahankan senyumku sambil memejamkan mata. Merasakan sentuhanmu, merasakan kelembutan tanganmu, merasakan apa yang bisa aku rasakan saat ini. Tuhan, aku mohon, tolong hentikan waktu ini, sebentar saja.

“Ra, kamu mau janji sesuatu sama aku?”

“Janji apa?”

“Kamu harus selalu tersenyum, seberat apapun masalah kamu. Percaya deh, kalau senyum itu sedikit meringankan beban kamu. Oke, Ra?” Katamu sambil tersenyum tulus dan memegang kedua tanganku. Kamu, seperti biasa, terus tersenyum dan menungguku untuk mengatakan “oke” atau menganggukkan kepala.

“Oke, aku janji.”

“Yaudah, aku pergi dulu ya, Ra. Jaga dirimu baik-baik.” Kamu mengambil tas ranselmu dan mengangkatnya menuju pundakmu.

“Kamu hati-hati ya, Leo. Nanti sms aku kalau sudah sampai. Jangan sampai ada yang ketinggalan di pesawat lho nanti.”

“Iya. Oiya, Ra..”

“Ya, kenapa? Kamu mau aku peluk lagi? Atau kita harus ber-hivi kayak dulu?” Kataku sambil sedikit tertawa.

“Jangan lupa dengerin lagu yang barusan aku kirim ya.”

“Iya, Leo, kamu udah bilang ini ratusan kali. Hahahaha.” Leo memang selalu lucu.

“I will miss you, Lira” Katamu dengan muka serius.

“Heh? Hem, me too, Leo.” Tawaku berhenti.

“Bye, Ra!” Katamu kemudian sambil melambaikan tangan dan membalikkan badan.

And I love you, Leo. Always love you.

Dan aku membuka handphone untuk mendengarkan lagu yang kamu berikan. Terima kasih, Leo. Untuk lagu ini dan segala kenangan yang kamu buat untukku.

Yogyakarta – Kla Project

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Yogya

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu

Walau kini kau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati


***


23.05 – 1 Agustus 2015