Sabtu, 16 Mei 2015

Kita?

Kita berbicara. Berbicara tentang manusia, hewan, tumbuhan, alam, dan hidup. Kita berbicara tentang apa pun yang bisa kita bicarakan.

Kita bertukar pikiran. Bertukar pikiran tentang komik, film, berita, ilmu, cita-cita, dan kehidupan yang seharusnya. Kita bertukar pikiran tentang apa pun yang bisa kita perdebatkan.

Kita bercanda. Bercanda tentang hal-hal kecil, hal-hal konyol, sampai hal-hal yang abstrak. Kita bercanda tentang apa pun yang bisa mengisi percakapan kita.

Kita tertawa. Tertawa tentang hal-hal yang benar-benar lucu, tentang hal-hal yang mungkin lucu, tentang hal-hal belum tentu lucu, tentang hal-hal yang tidak lucu sama sekali. Kita tertawa tentang apa pun yang bisa membuat kita lupa akan realita.

Tetapi, bagaimana jika semua ini perlahan menjauh dan menghilang?

Tidak bisakah kita tetap seperti ini dengan jalan kita masing-masing?

Tidak bisakah kita tetap berjalan beriringan dengan tujuan kita masing-masing?

Ini bukan tentang perasaan.

Tetapi,

Tentang aku yang tidak rela kehilangan teman-sharing-dan-adu-bacot-disaat-bersamaan yang terbaik.


***
21.10 - 16 Mei 2015

Jumat, 15 Mei 2015

Fiksi

Ada sesuatu yang mengusik diriku

Rasanya seperti geli yang timbul pada pinggang

Rasanya seperti geletikan kemoceng ke hidung

Rasanya seperti sesuatu yang meletup-letup di dada

Rasanya seperti sesuatu yang berlompatan di dalam perut

Rasanya seperti nafas yang terengah-engah

Rasanya seperti  kaki yang tidak menapak

Ini mungkin bukan sesuatu yang baru

Ini juga bukan sesuatu yang lama

Entah pertanda baik atau buruk

Tetapi

Biarkan aku mengasumsikan sesuatu ini dengan sesuatu yang baik

Yang mungkin seharusnya tidak ada

Yang seharusnya fiksi

Tolong

Biarkan aku seperti ini

Berkutat dengan sesuatu yang menenangkan ini


***
23.35 - 14 Mei 2015

Kamis, 14 Mei 2015

(Film) Fiksi

Ini pertama kali saya cerita tentang film disini. Saya sebut ini 'cerita' ya, bukan 'me-review'. Bukan karena saya malas me-review suatu film. Tapi, saya lebih suka cerita secara tidak formal seperti ini dari pada me-review.

Fiksi kalau di KBBI itu artinya cerita rekaan; rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Ceritanya tentang perempuan psikopat yang menyukai lelaki, seorang penulis, dan menguntit lelaki tersebut. Perempuan berhasil berkenalan dengan Lelaki, bahkan sampai Lelaki menceritakan isi buku yang sedang ia tulis tapi tidak pernah selesai karena ia tidak tau bagaimana ending yang seharusnya ia tuliskan disetiap ceritanya. Dan secara tidak langsung, Perempuan membantu Lelaki itu menunjukan ending disetiap cerita yang ia tuliskan. Percaya lah, ini bukan sesuatu yang klasik. Tapi, memang bukan sesuatu yang tidak mudah ditebak sih.

Pesan yang paling jelas dari film ini adalah setiap kejadian dalam hidup itu mempunyai tujuan.

Tujuan? Yang saya pikirkan selama ini hanya tujuan kenapa saya harus melakukan suatu aktivitas. Tujuan saya untuk makan dan minum. Tujuan saya untuk belajar dan mencari ilmu. Tujuan saya untuk pergi ke suatu mall. Tujuan saya untuk membaca suatu buku. Tujuan saya untuk pergi kemana-mana menggunakan angkutan umum. Tujuan saya untuk menghadiri suatu seminar. Tujuan saya untuk tetap berdiri diantara yang duduk. Tujuan saya untuk terus berlari diantara yang berjalan. Tujuan saya untuk terus beribadah. Tujuan saya untuk tidak terlalu memperdalam sesuatu yang mengusik diri saya. Tujuan saya untuk tetap berada didalam gua yang sudah dibuatkan-Nya untuk saya. Mungkin suatu saat nanti, entah kapan, saya akan menemukan tujuan kenapa saya harus tetap hidup, kenapa saya harus tetap berjuang dalam hidup lebih tepatnya.

Menurut saya, film Fiksi telah mengubah arti fiksi sebenarnya. Menurut saya, ending dalam fiksi itu seharusnya tidak nyata. Dan, seharusnya, kita sendiri lah (sebagai penulis) yang menentukan ending setiap cerita fiksi yang kita buat. Bukan dari apa yang terjadi di sekeliling kita walau pada awalnya kita mengambil ide dari sekitar kita.

Selama apa pun kita membuat dan berkutat dengan cerita kehidupan yang fiksi, tetap tidak akan mengubah ending kehidupan nyata kita. Saya termasuk orang yang sangat suka berkutat dengan cerita kehidupan nyata yang saya jadikan 'fiksi' dan berharap waktu akan mengubah kehidupan nyata saya kedalam cerita fiksi saya.

Saya suka memikirkan saya terbangun didalam kamar yang berada didalam rumah pohon. Ketika saya membuka jendela, hanya udara segar dan pemandangan hijau yang ada. Saya suka memikirkan bagaimana saya bisa menyelinap tanpa terlihat. Menyelinap diantara segerombolan remaja perempuan yang sedang tertawa, kemudian saya ikut tertawa didalamnya. Menyelinap ditengah-tengah kehidupan keluarga konglomerat dan saya menjadi salah satu anggota keluarganya. Menyelinap ditengah-tengah drama megah yang sedang berlangsung dan saya menjadi salah satu pemerannya. Saya suka memikirkan saya menjadi salah satu tokoh dari setiap novel yang saya baca. Dan saking asiknya saya berkutat dengan cerita kehidupan fiksi saya, sampai-sampai saya sendiri tidak tau apa yang seharusnya saya isi dalam hidup saya dan bagaimana seharusnya ending dalam kehidupan saya. Maksud saya, ending seperti apa yang saya inginkan. Entah sebagai perempuan dengan satu suami dan tiga anak. Atau sebagai perempuan dengan karir yang sedang diatas daun dan kehidupan keluarga yang harmonis. Atau sebagai perempuan single parent dengan sepasang anak kembar yang ingin ayah baru. Atau sebagai perempuan renta yang tak punya siapa-siapa dan apa-apa.

Kalau boleh saya memilih, saya akan meminta waktu sedikit lebih lagi untuk berkutat dengan cerita fiksi saya dan kemudian meneruskan kehidupan nyata saya dengan tujuan (dan ending) yang akan atau sudah saya tentukan. Karena pada saat saya sadar, hidup terlalu singkat untuk tetap berkutat pada cerita fiksi.

Tapi, saya akan berusaha sebisa mungkin menghidupkan cerita fiksi saya kedalam kehidupan nyata.
Hidup terlalu singkat untuk melakukan hal-hal yang membosankan, bukan?
Dan, setiap kejadian didalam hidup punya tujuan, bukan?

Dan, sekali lagi, ini adalah fiksi. :)

***
23.00 - 14 Mei 2015

Sabtu, 02 Mei 2015

Yang Tidak Gue Ceritakan; Evan

Evan

Yang tidak gue ceritakan kepada Lona:

Gue sebenarnya suka sekali makan petai. Tapi, dia taunya gue enggak suka karena selalu nolak kalau ditawari sama Mama Ina (Mamanya Lona). Kenapa? Karena gue tau banget Lona enggak suka petai. Kalau kata Lona, "Lo harus jauh-jauh dari gue kalau mau makan petai.". Iya, dia memang sesadis itu.

Gue masih menyimpan hadiah pertama yang dia kasih ke gue, yaitu pensil inul. Iya, pensil jaman SD yang panjang dan super lentur itu. Waktu kami duduk dibangku SD kelas 5, Lona bilang kalau dia suka banget sama pensil itu karena unik, dia sengaja ngasih pensil inul itu ke gue karena gue bukan orang yang teledor menyimpan barang, enggak kayak dia. Sebenarnya, gue enggak yakin dia ingat kejadian dan pensil inul ini. Tapi, kalau dia tau gue masih menyimpan barang sakral itu, gue bisa-bisa jadi bahan lawakannya dia selama 2 minggu.

Lona itu cantik. Dia enggak pernah sadar itu. Dia terlalu minder sama orang-orang disekitarnya. Karena itu kenapa dia lebih memilih gaya tomboi. Gue memang suka dia apa adanya dan nyamannya aja, tapi gue lebih suka kalau dia mau menunjukkan sisi kecantikannya dengan berdandan lebih feminim seperti perempuan pada umumnya. Dan tentu saja, ini enggak akan pernah gue ceritakan ke Lona. Hem, oke, mungkin suatu hari nanti.

Gue sering diam-diam memerhatikan dia. Cara dia berpakaian, cara dia berbicara, cara dia tersenyum, cara dia tertawa sampai cara dia menangis. Dia selalu bisa membuat gue untuk terus mengalihkan pandangan gue ke dia. Entah karena gue sama dia memang sudah dekat banget atau memang dia mengeluarkan gaya magnet tersendiri buat menarik kutub enggak berdosa kayak gue ini, hahaha.

Gue merasa dia punya perasaan lebih ke gue. Atau mungkin gue yang kepedean? Tapi, biasanya firasat seorang Evandika Putranto tidak pernah salah. Hem, setelah gue pikir-pikir, gawat juga kalau dia punya rasa lebih ke gue. Bukan, bukan karena gue enggak punya rasa lebih ke dia. Karena gue takut semua yang udah kita punya, hilang gitu aja karena rasa itu. Gue bukan orang yang pede buat pacaran serius. Nah, bahaya kan kalau gue sama dia pacaran. Tapi, bukan berarti gue enggak akan serius sama dia. Ada waktunya, tapi enggak sekarang.

Cukup jelas kan rasa gue ke dia?

***
22.02 - 2 Mei 2015