Genap
empat bulan Nadin menghilang. Tidak membalas pesan-pesan yang gue tinggalkan
disemua media sosial dan tidak pernah menjawab panggilan gue, entah itu nomor
pribadi atau nomor rumah, bahkan sampai nomor kakak dan ibunya. Ressa, sahabat
Nadin, selalu berkata bahwa Nadin baik-baik saja dan sedang butuh waktu
sendiri. Lo tau, Din? Ini bukan lo banget. If
you need it, you always shout it out, bukan menghilang tanpa kabar gini. And the worse thing is, it is only me, isn’t
it? Kenapa, Din?
Pertanyaan
itu selalu terngiang-ngiang, dan malam ini, pertanyaan itu sudah diujung lidah
menunggu untuk dilontarkan. Hingga pada akhirnya, kemarin malam, Nadin mengirim
pesan via WhatsApp.
“Gue mau ketemu. Besok di NZ
Cafe jam 8 malam.”
“Nadin.. Lo gamau liat gue
ngisi? Dari jam 7, please? Jam 8 udah kelar.”
“Oh, lo masih ngisi. Ok, see
you.”
Hari
ini, malam minggu yang ditunggu-tunggu. Selama dua tahun solo akustikan di
cafe-cafe, baru kali ini merasa super nervous. Selama empat tahun gue bermusik,
baru kali ini gue merasa sangat tidak siap untuk ditonton. Bukan tentang
performa, gue sadar, ini tentang siapa yang akan datang nanti malam. Setelah empat
bulan tidak mau berhubungan atau hanya sekedar melihat gue.
“Rapi
banget lo, Za? Mau manggung di mana?” celetuk Rendi, teman sekontrakan gue. Gue
melengos ke dapur sembari mengedarkan pandangan mencari gelas favorit gue.
“Gelas
lo ada di rak piring nomor dua dari bawah.” Lanjut Rendi masih dengan tatapan
curiga. “Lo gamau banget jawab pertanyaan gue?”
“Di
NZ kayak biasa.” jawab gue sambil mengambil gelas dan menuangkan teh celup
melati, gula, dan air panas. Kata Nadin, harumnya teh melati bisa bikin kita
jauh lebih tenang. Iya, Nadin. ”Nadin dateng. Dia ngajak ketemu.”
“WHAT?!”
“Gue
berangkat dulu. Nanti gue telfon kalau gue tiba-tiba butuh supir. Lo nggak
pergi, kan?”
“Enggak,
kok. Good luck, Bro!” Rendi melempar
tinju ke bahu Oza.
“Sekali
lagi, selamat datang untuk kalian yang baru aja bergabung. Gue, Oza, yang udah
hampir satu jam menemani kalian di sini dan akan menemani kalian yang baru
datang untuk beberapa menit kedepan.” Gue mengedarkan pandangan ke penjuru NZ
Cafe. Belum ada Nadin.
“Oke,
lagu selanjutnya masih dari Tulus dengan judul Sepatu. Selamat menikmati.”
Suara intro gitar melantun ke penjuru cafe, membuat semua pengunjung terlena dan
memfokuskan pandangannya ke satu titik di panggung. Kata orang-orang, gue
selalu menyihir para wanita, terutama pecinta romance. Bagi gue, itu bukan
suatu kebanggaan, karena Nadin, perempuan pecinta romance yang hampir enam
tahun bersama gue, tidak pernah ikutan melihat gue dengan cara mereka—wanita-wanita
yang melihat gue seperti tersihir. Walau dia yang sepenuhnya mendukung gue
untuk terus bermusik, terutama solo akustik. Nadin, teman sekaligus manajer
pribadi gue. Bukan, gue bukan musisi besar yang sampai punya manajer. Tapi,
secara keseluruhan, dia yang membantu gue mengatur waktu gue, kuliah, latihan,
tampil, dan menulis paruh waktu untuk salah satu media online. Kayak sepatu,
Nadin itu pasangan gue, yang selalu mengimbangi langkah gue, yang selalu mau
menunggu kalau gue lagi stuck disatu
titik dan menemani gue untuk berjalan kembali.
Didekatmu
kotak bagai nirwana, tapi saling sentuh pun kita tak berdaya
Detik
itu, Nadin memasuki cafe dengan mata tajam yang mengarah lurus ke manik mata
gue. Nadin tidak sama seperti terakhir gue lihat, empat bulan lalu. Rambut
dipotong sebahu, ada jepit rambut abu-abu yang elegan disisi kiri, dan
menggunakan softlense, satu benda
yang jarang ia sentuh jika tidak benar-benar butuh. Tapi Nadin masih dengan sepatu
converse biru buluknya dan a line dress
yang kali ini berwarna abu-abu seperti jepit rambut dan softlense-nya. Gue tidak yakin lirik selanjutnya apa...
Cinta
memang banyak bentuknya, mungkin tak semua bisa bersatu
Tepat
saat kata dilirik terakhir selesai, Nadin duduk disalah satu kursi favorit kami
yang gue reserved. Dia tau meja itu
gue reserved untuk kami. Nadin selalu
tau. Gue diam sepersekian detik untuk mengatur nafas yang mulai memburu. Nadin
memanggil pelayan.
“Well, ini lagu terakhir dari gue. Lagu
ini punya arti lebih bagi gue dan lagu ini gue persembahkan untuk sahabat
terbaik gue, teman hidup terbaik gue selama ini. Perempuan dengan senyum miring
termanis di sudut ruang dekat jendela. Teman Hidup dari Tulus.” ucap gue sambil
menatap tepat di mata Nadin. Akhirnya.
Dia
indah meretas gundah, dia yang selama ini ku nanti
Membawa
sejuk, memanja rasa, dia yang selalu ada untukku
Nadin
tidak tersenyum sama sekali. Biasanya, kalau gue bercanda sok romantis—tapi serius,
kayak tadi, dibibirnya akan muncul senyum miring yang menyenangkan dan mata
nakal yang berbicara, “Mati lo abis ini.”
Di
dekatnya aku lebih tenang, bersamanya jalan lebih terang
Gue
tetap mempertahankan senyum kecil diantara lirik-lirik yang berusaha gue ingat.
Gue hanya berdoa, semoga liriknya benar. Karena kalau salah, Nadin pasti malu.
Gue? Tidak peduli, mau benar, mau salah, yang penting Nadin baik-baik aja.
Tapi...
Tetaplah
bersamaku jadi teman hidupku, berdua kita hadapi dunia
Kau
milikku milikmu kita satukan tuju, bersama arungi derasnya waktu
Gue
melihat sesuatu yang sangat tidak biasa. Lo tau apa? Pandangan Nadin kosong.
Mata dia memang menatap kearah gue, tapi kosong. Terakhir gue lihat mata Nadin
seperti itu saat dia gagal mendapat beasiswa luar negeri untuk ketiga kalinya,
dua tahun lalu. Itu pun tidak lama, karena Nadin cerdas dan ulet. Ia bisa
bangkit dengan mudahnya, sehingga tatapan kosong seperti itu hanya bertahan
beberapa hari saja. Malam ini, malam yang seharusnya gue melihat mata yang
selalu membuat jiwa gue membara, ternyata kosong.
Kau
milikku, ku milikmu
Tepat
pada lirik itu, Nadin membuang pandangan. Ia memutuskan kontak mata kami. Gue
tetap bertahan untuk beberapa lirik kedepan, walau akhirnya gue pun beralih. Gue
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nadin menunduk dan tidak lama,
mengeluarkan ponselnya. Satu hal yang jarang ia lakukan jika sedang asyik
menikmati suasana. Berarti dia sedang tidak menikmati suasana, dong? Gue
semakin tidak karuan. Lirik-lirik selanjutnya meluncur cukup lihai dengan nada
yang pas. Gue bersyukur. Setidaknya, lagu ini tidak buruk-buruk banget.
Setelah
membereskan semua peralatan gue dan menaruh ke staff room, gue berjalan menuju
meja Nadin. Nafas gue semakin memburu. Ini nervous melebihi sidang skripsi. Gue
tetap tersenyum and pretend like nothing
happened.
“Hai,
Din!” Cuma itu yang keluar dari mulut gue. Lo harus tau sekaku apa mulut gue
saat itu. “Lo mau pesen makanan? Gue laper.” tanya gue yang hanya dijawab
anggukan oleh Nadin. Setelah kami pesan, gue mencoba membuka obrolan dengan ngegaring. “Lo lagi sariawan, Din? Diem
aja.” Yeah, thank you pujiannya, people!
“Gue...
Ehm, lo apa kabar, Za?” Nadin membetulkan posisi duduknya, dan sekarang
kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang sudah bertaut diatas meja.
“Seperti
yang lo lihat, baik dan berantakan. Always,
right?” jawab gue sambil mengendikan bahu. Gue berusaha sesantai mungkin.
“Lo gimana? Empat bulan menghilang, lo punya utang cerita ke gue, right?”
“Gue...”
dan pelayan pun datang mengantarkan pesanan kami. Gue menahan umpatan. Enggak, enggak boleh ngomong kasar, ya, Za, kata
gue dalam hati. Setelahnya, kami sama-sama asyik menyantap makanan dengan
pikiran masing-masing. Ini bukan kami. Ini bukan Nadin, dan jelas, ini juga
bukan gue.
“So.. How was your day?” tanya
gue seperti biasanya. Iya, seperti hari-hari yang kami lalui biasa. Gue dengan
aktivitas gue, dan dia dengan segala kesibukannya. Hingga pada ujung hari, kami
selalu menyempatkan makan malam atau hanya sekedar bertukar kabar via Skype.
“Lelah,
Za. Hari ini, gue seperti robot, dan ini” Nadin mengeluarkan dua lembar amplop
kecil dari dalam sling bag hitamnya.
Satu amplop berwarna cokelat polos dan satu lagi berwarna rose gold. Sepertinya,
jantung gue berhenti berdetak sepersekian detik.
“Apa
tuh? Lo mau ngasih gue duit? Pakai amplop segala.” ucap gue sambil ketawa. Gue
berusaha bercanda seperti biasa. Tapi, Nadin bergeming. Gue membuka amplop
cokelat.
“Jadi,
setelah sempat putus asa dari Swiss dan Jerman, lo beralih ke Swedia?” gue
tersenyum lebar dan Nadin pun begitu. Gue tau dia hebat.
“Well, gue daftar dua beasiswa dan
dua-duanya dapet. Tapi, setelah beberapa pertimbangan, gue ambil yang Swedia
ini. Bokap nyokap juga lebih setuju gue ambil yang ini karena...” cerita Nadin
berhenti.
“Karena?”
tanya gue dan mata Nadin menunjuk ke amplop rose gold yang ada didepan gue, yang
belum gue sentuh sejak dikeluarkan. Gue semakin penasaran yang membuat detak
jantung yang semakin cepat.
“Lo...
Mau nikah?” tangan dan suara gue bergetar. Gue tidak percaya, gue menatap
Nadin, mencari penjelasan dari mata itu. Semoga
Nadin bercanda, kalimat itu yang gue ulang dalam hati.
“Iya...
Dua hari setelah terakhir kita ketemu, Om Reno datang ke rumah. Beliau minta
gue jadi calon istri dari anak sulungnya. Lo tau gimana hubungan bokap sama Om
Reno, kan?” Nadin menatap gue, sayu. Kemudian, kosong. Gue kembali melihat ke ukiran
nama dibelakang cover, Ardhi&Nadin.
“Mas Ardhi?” tanya gue pada diri sendiri, tapi sepertinya Nadin dengar, karena
dia langsung membuang muka.
“Kenapa
Mas Ardhi nggak pernah cerita ke gue, ya?”
“Karena
Mas Ardhi takut bikin lo patah semangat.” Dan
patah hati, imbuh gue dalam hati. Itu klasik, Nadin. Cowok itu hanya tidak
punya nyali buat ngomong langsung ke gue. Tapi, gue juga. Salah, apalagi gue,
nyali gue kecil, lebih kecil dari nyali Mas Ardhi.
“Itu
kenapa gue menghilang empat bulan ini. Gue butuh waktu sendiri dan gue.. Gue
ingin membuktikan sesuatu.” Air mata Nadin mulai turun. Gue bergeming.
“Empat
bulan ini gue berpikir, apa yang sebenarnya gue dan lo—selama enam tahun,
sedang lakukan. Kalau lagi nggak ada lo, gue tetap bisa menjalankan hari-hari
gue seperti biasa dan terus berkarir seperti semua impian gue. And true, gue bisa. Waktu ada lo, gue
pikir gue nggak bisa. And yes, kalau
gue masih bertahan di zona nyaman gue yang dengan lo ini, gue nggak akan
berkembang. Dunia lo memang berkembang, tapi gue? Lo pernah mikir dunia gue
berkembang juga atau nggak?” Mata Nadin semakin sayu, perbedaan yang sangat
kentara dengan nada bicaranya yang berapi-api. Gue tidak menyangka ini semua
yang Nadin pikirkan selama ini.
“Jawabannya
itu nggak, Za. Lo emang pasangan sepatu yang paling menyenangkan dan teman
hidup yang menenangkan, tapi lo bukan yang bisa membuat kita saling melangkah
bersama. Lo hanya membiarkan diri lo yang melangkah dan mebuat gue menumpang di
kaki lo. Ini bagi gue, mungkin bagi lo, kita adalah sepasang sepatu yang
memiliki tujuan yang selalu sama dan teman hidup yang serasi. Sorry kalau gue nggak setuju.” Nadin
meremas kedua tangannya. Ia menahan emosi, tapi kenapa sarat matanya tidak
menunjukkan hal yang serupa?
“Bahkan,
lo nggak mau mengakui perasaan lo, kan? Gue tau lo sayang, bahkan cinta ke gue.
Gue pun tau, kalau lo tau, gue juga merasakan hal yang sama. Tapi, apa? Lo
tidak mengambil langkah lebih. Lo hanya berkutik diketakutan-ketakutan lo
sendiri. Jadi, gue menerima tawaran Om Reno dan Ardhi untuk mengenal lebih
dekat. Gue mencoba membuka hati baru tanpa sepengetahuan lo, selama gue
menghilang.” Nadin menyeruput es teh yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.
“Sorry, Za. Gue.. Gue nggak tau harus
gimana. Sorry kalau kata-kata gue
terlalu kasar.”
“It’s okay, Din. Gue tau itu dari hati lo
yang terdalam.” Gue hanya bisa tersenyum lemah dan berusaha menyusun kalimat.
Dan juga hati.
“Semua
yang lo bilang ada benarnya. Gue terlalu membiarkan kita di zona nyaman. Dan
gue tidak pernah membiarkan lo melangkah. Karena gue pikir, zona ini sudah
sangat cukup karena tujuan kita sama. Semua yang kita punya selama enam tahun
ini sudah lebih dari cukup.”
“You know, I love you. And of course you
know, gue akan melakukan apapun untuk menjaga lo dan membuat lo selalu
nyaman dan happy. But, now, I know, thats not enough. Gue
nggak bisa lagi menghalangi semua jalan dan pilihan lo. Gue tetep mau lo seneng
dan nyaman dengan hidup lo. Walau itu tanpa gue.” ucap gue dengan memegang
kedua tangan Nadin dan menatap matanya. Tangan Nadin bergetar, atau ini tangan
gue, ya?
“So, you will be Ardhi’s wife next month?!
Hahaha, gue nggak percaya lo nikah secepat ini.” Gue menghela nafas dan
menyenderkan punggung. Rasanya memang sakit, tapi lega. Can you describe this?
“Hahaha,
apalagi gue. Ardhi dapet tawaran kerja di sana, by the way. Jadi, kami akan pindah ke Swedia. Memulai hidup baru di
negara baru yang nggak pernah gue pikirkan sebelumnya. Ardhi udah mikirin itu,
sih. Bagi dia, ini bukan kejutan atau kebetulan. Bagi dia, ini sudah rencana
Tuhan. Sounds weird, huh?” Nadin
tertawa sembari menghapus sisa air mata. Gue membantunya dengan menyodorkan
tisu dan tersenyum.
“Asal
lo janji jangan nangis dan bermata sayu kayak gini lagi, ya? Gue ikhlas, kok.”
ujar gue yang sok bijak dan tegar ini. No,
gue memang tegar. Lo semua yang bakalan mewek kalau jadi gue, betul?
Nadin
tersenyum dan matanya kembali bersinar lagi. Sisa malam itu kami habiskan
dengan membicarakan hidup masing-masing selama empat bulan tidak bersama. Pun
membicarakan rencana masing-masing. Nadin terutama. Gue? Gue belum punya
rencana sematang dan sejelas Nadin. Gue tidak pernah berpikir rencana hidup
tanpa Nadin, sebelumnya. Tapi, sepertinya Nadin sudah melakukan hal itu. So, gue pun harus cepat-cepat melakukan
hal yang sama. Betul, agar gue bisa membuktikan ke Nadin, kalau gue juga punya
hidup dan rencana masa depan yang tidak kalah indahnya. Bikin Nadin nyesel? Of course! Hahaha. Jahat? Tidak juga.
Sebagai pembelajaran aja, bahwa tidak selamanya manusia gagal dititik
nyamannya. Ia pasti tau kapan harus bangkit, berjalan, dan kapan ia harus
berhenti untuk menikmati kenyamanan yang sudah ia punya. Gue ingin membuktikan
bahwa zona nyaman yang gue punya tidak akan menghalangi semua rencana hidup gue.
Cari cewek baru? Itu gampang! Yang susah adalah cari teman hidup baru. But, let’s see!
***
Jakarta, 18 September 2018