Bila rasaku ini rasamu sanggupkah engkau
Menahan sakitnya terhianati cinta yang kau jaga
Lagu Kerispatih
mengalun pelan dari pengeras suara di sudut ruang tunggu. Hari ini adalah hari
yang sangat ditunggu Alin. Brokat biru laut melengkat indah pada tubuh Alin.
Rambut yang biasa dikuncir satu, sudah menggerai rapi melewati leher dan pundak
Alin yang semampai. Dengan mata bulat yang sudah terpasang softlens, bibir tipisnya sudah terpulas cantik oleh ombre lipstic
dan liptint, senyum manis yang selalu terpatri dari sejak ia memasuki ruang
tunggu, Alin sempurna.
“Alin? Ini beneran
Alin?”
“Asli, lo cantik banget!”
“Sumpah, lo Alin
Winata?”
"Nah, gini, dong! Make up!"
Teman sepergengan Alin
heboh bukan main dan Alin hanya tertawa-tawa menanggapi teman-temannya.
“Lin, lo mau tunggu di
sini aja atau mau keluar dulu cari angin? Gue temenin.” tanya Tasya sambil
berbisik, teman terdekat Alin yang sangat mengerti segala kondisi. Tasya tidak
ikut heboh dan tertawa meledeki Alin, Tasya tau apa yang sedang berkecamuk
didalam diri Alin.
“Gue di sini aja, asal
lo juga di sini.”
“Iya, gue akan selalu
di sini.”
Semua orang di ruangan
tersebut bersorak heboh. Pasalnya, acara sebentar lagi dimulai. Ditengah hiruk
pikuk sorak-sorai, Tasya dan Alin saling bertatapan. Tasya dapat melihat getar di
mata Alin. Tasya dapat melihat gerak-gerik jari kelingking Alin dikala ia
sedang grogi. Orang-orang tersebut berhamburan keluar dari ruang tunggu menuju
hall primary, tempat diselenggarakannya akad nikah.
Tasya menggenggam
tangan Alin.
“Everything will be ok.” ucap Tasya kepada Alin, yang diikuti
anggukan kepala dari Alin sebagai jawaban.
MC membuka rangkaian
acara. Semua mata tertuju padanya. Tasya beberapa kali melirik Alin, melihat
kondisi Alin. Senyum di bibir Alin tidak luntur. Matanya mengikuti hal-hal yang
ada didepannya.Pikirannya fokus pada apa yang ia lihat. Tapi, ia tau, tidak
dengan hatinya. Hatinya tidak bisa diam. Hatinya berisik, seperti ingin
mengatakan sesuatu, tetapi dibungkam oleh pemiliknya.
Penghulu memimpin
khotbah nikah dan ijab kabul. Semua menahan napas dan air matanya. Termasuk
Alin. Alin mendengarkan dengan khusyuk dan khidmat. Semua tamu hadirin
bersama-sama mengucapkan kata sah
diikuti dengan doa dan suara riuh rendah.
Renata dan Deva resmi
menjadi sepasang suami istri.
Tasya menggenggam erat
tangan sahabat di sebelahnya. Tangan Alin dingin. Ia tidak akan mengira, bahwa
menghadiri dan menyaksikan langsung prosesi pernikahan Renata, sahabat dekatnya
semasa kuliah, menjadi istri dari seorang Deva, lelaki yang sudah menemaninya
melewati hari selama 5 tahun terakhir. Deva, lelaki satu-satunya yang ia
harapkan dan ia doakan untuk menjadi teman seumur hidupnya. Lelaki yang selalu
ada disaat susah maupun senangnya. Pun dengan Renata.
Tetapi, Alin lega.
Setidaknya, lelaki yang ia cintai jatuh ke tangan yang baik. Mantan pacarnya
tersebut didampingi oleh salah satu sahabat terbaiknya. Alin bersyukur karena
mereka saling menemukan. Walau ternyata, Alin lah perantaranya.
“Lin, kita ke Vood
Kitchen & Bar, yuk? Gue butuh asupan anggur.” ajak Tasya yang sudah lemas
menyaksikan semua ini.
Tasya mengerti, tidak mungkin senyum yang terpampang
pada bibir Alin adalah sentrum langsung dari hatinya. Tasya sangat yakin, hati
Alin sedang berusaha menyapu serpihan-serpihannya sendiri. Tidak, Alin tidak
butuh orang lain untuk membantunya membereskan semua kehancuran yang terjadi
didalam hatinya. Alin dapat melakukannya seorang diri. Tasya sangat tau itu.
Tanpa menjawab
pertanyaan Tasya, Alin berdiri, bersiap meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang
seharusnya menjadi menyenangkan dan mengharukan untuk semua orang. Tapi, tidak
dengan Alin. Alin tidak bisa terus bertahan di sini. Alin tidak ingin kedua
mempelai melihat air mata yang sudah ia bendung sedari pagi.
Sebelum Alin membalikan
badan, matanya bertemu dengan mata Deva. Tatapan mereka mengunci selama
beberapa detik. Hingga pada akhirnya, Alin memutuskan untuk membuang pandangan
dan menyudahi segala hal yang terjadi. Benar-benar ingin mengakhiri segala yang
sudah seharusnya sudah berakhir sejak hari lalu. Deva tersenyum datar. Ia
sangat tau apa yang disampaikan Alin dari tatapannya. Deva masih dapat
merasakan segalanya, dan ia tidak dapat berbuat lebih. Alin berlalu. Kali ini,
ia yang meninggalkannya.
Saat ini, segalanya memang sudah berakhir. Aku harus
terus melangkah. Harus.
Ucap Alin dalam hati
selepas membalikan badan, keluar dari gedung, ditemani dengan langkah kaki
Tasya dan deras air mata yang tiba-tiba turun.
***
Jakarta, 8 September
2019.