Jumat,
21 Februari 2014
Ini
mungkin bukan hari yang cerah untuk beraktivitas, tapi tidak bagiku, secerah
atau seburuk apapun hari ini, aku akan tetap pergi ke tempat itu. Bukan tempat
spesial memang, tapi aku selalu tenang di sana. Ah, ya! Perkenalkan, aku, Maya
Fitriana, semua orang, kecuali Papa, memanggilku May. Papa? Iya, dia lebih suka
memanggilku Ana atau Na. Terkesan lebih singkat dan gampang di lidah, katanya.
Oh, ya! Mengenai tempat tersebut, aku sedang dalam perjalanan menuju tempat
itu. Bila sedang beruntung, 50 menit waktu tempuh dari rumahku ke tempat itu.
Tapi, bila sedang sial, dua jam. Jalanan Jakarta memang tidak bisa diprediksi.
Contohnya saja seperti hari ini, hari Jumat pagi, biasanya ruas jalan Mampang
menuju Rasuna Said pasti padat merayap, tapi kali ini tidak, ruas jalan
tersebut lancar jaya. Ini mungkin pertanda baik. Entahlah, aku suka sekali
mengaitkan suatu kejadian kecil dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi selama satu hari tersebut.
Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta adalah tempatnya. Luas,
putih, dingin dan kokoh itu kesan pertama saat aku menjajakan kaki didalamnya.
Perpustakaan ini menempati dua lantai di Gedung Nyi Ageng Serang. Lantai 7 dan
lantai 8 lah perpustakaan tersebut ada. Dan tempat favoritku ada di lantai 7,
karena di sana lah letak rak-rak novel fiksi berada. Dan spot favoritku adalah
bangku kecil disela-sela rak yang menghadap langsung ke jendela luar yang
menyuguhkan pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung sangarnya. Itu selalu
menjadi spot favoritku dari pertama aku berkunjung. Tetapi, lain dengan hari
ini, begitu aku sampai, spot tersebut telah terisi. Tidak biasanya ada orang
yang mau membaca buku dengan duduk tanpa bersandar dan diapit rak-rak buku yang
tinggi dan terkesan berdebu, itu jarang sekali. Selama dua tahun aku menempati
spot itu, jarang sekali orang berada di sana dalam waktu lama selain aku. Iya,
tanpa aku sadari, sudah hampir satu jam penuh yang aku lakukan hanya
memperhatikan lelaki berkaos hitam tersebut. Dengan langkah gontai, aku
mengambil dua novel yang sudah menjadi targetku dan duduk di karpet merah yang
telah disediakan. Tentu saja, masih menghadap kearah lelaki tersebut, dengan
meja kecil sebagai penghalang tubuhku agar tak terlihat langsung.
Bertepatan dengan novel kedua yang aku baca sudah habis,
lelaki itu berdiri dan berjalan kearah rak novel fiksi paling belakang untuk
mengembalikan novel yang sedari tadi ia baca. Setelah itu, lelaki itu berjalan
lurus menjauhiku dan menghilang dibalik pintu keluar perpustakaan. Tanpa sadar,
aku menarik nafas lega dan kecewa. Entah mengapa, aku tertarik.
Jumat,
28 Februari 2014
Hampir seminggu, aku dihantui oleh bayangan punggung
lelaki itu. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas saat itu. Dua hari
berturut-turut setelah hari itu, aku pergi ke perpustakaan tersebut untuk
melihat lelaki itu kembali, tetapi dia tidak ada di sana. Jadi, aku
beranggapan, mungkin hanya hari Jumat ia pergi ke sana. Dan ternyata, dugaanku
tepat. Ia ada di sana. Duduk di spot favoritku dan menggunakan kaos dengan
warna yang sama seperti minggu lalu. Aku, seperti minggu lalu, mengambil dua
buah novel dan duduk di karpet merah dengan posisi yang sama. Sepertinya, hari
ini ia selesai lebih cepat. Dan kali ini, ia berjalan kearahku. Oh, tentu saja,
aku merasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Wajahnya seperti ombak.
Jernih, tenang, dan menentramkan. Hanya dengan melihat wajahnya, aku merasakan
desiran halus pada kulitku. Lelaki itu putih, bersih, mata yang tenang dan
dalam, bibir tipis agak kemerahan, alis yang tebal dan tidak lupa lesung pipi
disebelah kanan. Sungguh mempesona. Aku semakin tertarik. Dan akan aku merahkan
setiap hari Jumat di kalenderku.
Jumat,
7 Maret 2014
Papa bilang, hari ini wajahku terlewat ceria. Aku mendapati
diriku menggebu-gebu setiap hari Jumat datang. Perpustakaan memang selalu
membuatku senang dan menggebu-gebu, tapi kali ini berbeda. Kali ini terselip
rasa mendesir diantara dua rasa tersebut. Ah, ya! Hari ini aku juga pindah
tempat. Aku duduk di kursi didekat meja kecil yang biasa aku gunakan untuk
menghalangi tubuhku, setidaknya dari kursi itu, aku bisa melihat siluet
wajahnya dari serong belakang. Ini sangat menenangkan dan menyenangkan. Novel sedih
yang aku baca tidak akan berdampak besar bagi moodku karena begitu mendongakkan
kepala, yang ada didepanku jauh dari kata sedih. Saking asyiknya aku
memperhatikan wajahnya, aku bahkan baru sadar bahwa hari ini aku hanya
menghabiskan satu novel, itu pun sisa kemarin. Dan yang menambah senyum
dibibirku adalah mata kami bertemu! Saat ia berjalan untuk mengembalikan buku,
tanpa sengaja (atau sengaja?) aku memperhatikan matanya dan sepertinya ia
sadar, ia pun menoleh kearahku. Walau hanya beberapa detik mata itu sanggup
membuat cacing-cacing di perutku jumpalitan. The best Friday ever.
Jumat,
14 Maret 2014
Lelaki berkaos hitam itu sudah ada di spot seperti biasa,
bahkan sudah berusaha datang lebih pagi, tetapi tetap saja kalah cepat. Bukan,
aku datang lebih pagi bukan untuk merebut spot itu kembali, tetapi untuk
melihat lelaki itu datang. Pasalnya, tiga Jumat sebelumnya, selalu lelaki itu
yang datang lebih dulu. Aku hanya penasaran, pukul berapa tepatnya ia menempati
spot favoritku itu. Oh, ya! Aku berencana untuk melihat matanya lagi hari ini.
Aku ingin sekali merasakan cacing-cacing diperutku lompat-lompat tidak karuan.
Rasanya sungguh menyenangkan. Dan ternyata, ada sesuatu yang lebih dari itu.
Saat lelaki itu mengembalikan buku ke rak novel paling depan, aku habis menukar
novel dari rak buku tersebut, kami berpapasan, mata kami bertemu dan dia
tersenyum. Dia tersenyum! Tersenyum kepadaku, tentu saja! See? Hal kecil, seperti melihatnya tersenyum, bisa sangat
menyenangkan. Tidak perlu sesuatu yang besar untuk membuatku senang. Cukup
lelaki itu, tatapan mata dan senyumnya.
Jumat,
21 Maret 2014
Entah mengapa, pagi ini rasanya aku sangat malas bangkit
dari tempat tidur. Setelah berkali-kali memastikan hari ini adalah hari Jumat,
aku merasa akan ada hal yang tidak beres dengan hari ini. Ternyata, memang,
hari ini dua artikelku ditolak oleh penerbit dan disuruh merevisi satu artikel
yang aku kirim kemarin. Dan yang terakhir ini, yang membuat hariku semakin
buruk: lelaki itu tidak datang. Aku pikir, dengan melihatnya, hatiku sedikit
lebih tenang, tetapi tidak. Justru lelaki itu tidak hadir. Mungkin, ini lha
jawabannya. Hari yang buruk sepertinya akan terus berlanjut. Dan aku semakin
malas melanjutkan hari. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tidak ada lagi
semangat yang tertinggal dalam diriku.
Jumat,
28 Maret 2014
Sudah seminggu
berlalu, hari yang selalu aku tunggu-tunggu telah tiba (lagi). Hari ini,
seperti Jumat sebelum-sebelumnya, aku menggebu-gebu. Sebelum berangkat menuju
perpustakaan, aku berdoa, berharap supaya hari Jumat ini tidak seperti Jumat
lalu. Dan sepertinya, Tuhan tidak mengabulkan doaku pagi ini dan alam pun tidak
berpihak kepadaku. Pasalnya, spot favorit kami, (boleh dong, ya, aku sebut
‘kami’?), ditempati oleh sepasang kekasih, yang seperti tampak nyaman sekali
membaca dalam diam pada kencan mereka. Aku hanya bisa melirik iri. Akhirnya,
aku hanya meminjam satu buah buku fantasi untuk dibawa ke salah satu coffee
shop dibelakang perpustakaan ini. Hari Jumat indahku (biasanya), ditutup dengan
satu cangkir espresso dan satu buah novel yang sedaritadi aku paksa untuk
mengalihkan pikiranku dari sebuah pertanyaan: ada apa dengan lelaki itu?
Jumat,
4 April 2014
Pagi ini aku
terbangun dengan pertanyaan yang sama dengan Jumat lalu: ada apa dengan lelaki
itu? Langkahku menelusuri lorong perpustakaan diiringi oleh satu pertanyaan
tersebut. Aku berusaha berpikiran positif, tetapi tetap saja ada
hasutan-hasutan negatif yang menghantuiku. Dan ternyata, hasutan-hasutan
tersebut bersorak gembira. Lelakiku tidak datang (lagi). Sudah 3 Jumat lelaki
itu tidak datang. Pertanyaan dibenakku semakin banyak bermunculan dan aku
sedang tidak dalam mood baik untuk
meladeni pertanyaan-pertanyaan random itu.
Jumat,
11 April 2014
Hari ini aku tidak pergi ke perpustakaan seperti Jumat
biasanya. Aku kedatangan tamu dari luar kota, teman lama. Semua pertanyaan yang
bermunculan, tertunda sementara. Untuk hari ini, mood-ku tertolong.
Jumat,
9 Mei 2014
Sudah 4 Jumat
berlalu, baru Jumat ke-4 ini aku menyempatkan diri pergi ke perpustakaan.
Memang, sih, aku sudah tidak berharap bertemu kembali dengan lelaki itu, tetapi
aku masih penasaran. Ah, oke, aku jujur, aku masih berharap, tetapi sedikit. Dan
benar saja, begitu aku sampai di sana. Aku tidak menemukan lelaki itu duduk di
spot kami. Sepertinya, aku akan menyerah saja. Percuma berharap kalau yang kita
harapkan adalah sesuatu yang benar-benar tidak pasti.
Jumat,
30 Mei 2014
Jumat ini adalah Jumat terakhir pada bulan Mei. Aku sudah
tidak berkunjung ke Perpustakaan itu selama 3 minggu berturut-turut, termasuk
Jumat ini. Pasalnya, pukul 11.00 WIB pesawat yang aku tumpangi, take off. Dan di sini lah aku, pukul
07.00 WIB terdampar di Starbucks bandara. So
early memang, tetapi aku berjanji akan menikmati detik-detik terakhirku
sebelum meninggalkan Jakarta untuk beberapa bulan kedepan. Bersama dengan satu
gelas Pappermint Mocha Frappucino dan
novel terbaru dari Winna Efendi, aku sangat menikmati pagiku ini. Ditambah lagi
kabar dari kakakku, Dimas, akan menyusulku begitu aku sampai di Kuala Lumpur
nantinya. Oh! Sepertinya berkah hari Jumat tidak sampai di sini. Aku merasakan
ada seseorang memandangiku dari samping, seperti dua atau tiga meja dariku. Saat
aku menoleh kearah yang membuatku penasaran, benar saja, aku mendapati sepasang
mata melihatku. Sepasang mata yang tenang dan dalam. Sepasang mata yang selama
ini aku cari dan tunggu. Sepasang mata yang aku rindukan.
Saat aku merasa mata kami saling mengunci, ia mengalihkan
pandangan. Setelah itu, aku melihatnya menuliskan sesuatu pada note yang ada
didepannya. Kemudian, dengan tiba-tiba, ia berdiri dari duduknya dan berjalan
ke arahku. Oh, God! Perutku melilit. Dan kemudian tanpa meminta izin, ia duduk
dibangku depanku sembari menyerahkan sobekan note yang sepertinya ia tulis
tadi. Isi kertas tersebut adalah
Halo! Nama gue Ardhito.
Lo? Sorry, creepy ya? Gue tunawicara, bisu.
Saking tidak
percayanya, aku membaca kertas itu berkali-kali. Begitu kesadaranku kembali,
aku melihat raut wajahnya dan kemudian ia tersenyum dan menyerahkan pulpen. Oh,
dia ingin aku membalas dikertas itu rupanya.
Hai!
Gue Maya. Oh, its okay. Lo yang di Perputakaan itu, kan?
Iya, lo juga kan? Lo
ngapain di sini? Btw, Nice to know u, Maya.
Iya,
gue juga. Gue ada flight ke KL pukul 11 nanti. Lo?
Gue mau ke Aussie, satu
jam lagi boarding dan gue harus cabut sekarang. Boleh minta nomer hp lo?
Oke,
0812xxxxxx12. Save flight, see u!
Dan, setelah aku
membalas pesan terakhir itu, Ardhito berdiri dan mengajakku bersalaman. Sepertinya
untuk formalitas dua orang yang baru berkenalan. Setelahnya, ia pergi dengan
tas ranselnya dan meninggalkan senyum yang lebih hangat. Aku merasakan sekujur
tubuhku ikut menghangat dan merinding disaat yang bersamaan. Aku tau ini bukan
percakapan kami yang terakhir. Ah, ternyata benar, bila kita sabar menunggu,
semua akan indah pada waktunya. Aku hanya bisa bersyukur.
***
23.39 - 2 Juli 2016
***
23.39 - 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar