Pagi ini aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Yang aku
lakukan pertama adalah mencari dimana handphoneku dan melihat waktu. Ternyata pukul
08.00 pagi dan hari Minggu. Kupikir, ini hari Senin dan aku terlambat. Kantor baruku
sangat menyiksa. Tidak hanya lokasinya yang berada dikawasan macet, tetapi juga
jam masuk kantor yang sangat on time dan sistem yang tertib. Adaptasi memang
tidak pernah mudah, ya.
Tadi malam, sepertinya aku jatuh tertidur ketika sedang
menonton film Refrain untuk kesekian ribu kali. Laptop disampingku pun
sepertinya telah kehabisan baterai. Cangkir kopi, remahan biskuit, serta sampah
tisu masih berserakan didekat laptopku. Entah ini malam keberapa yang aku
habiskan hanya untuk menonton film. Iya, aku tau, tidak hanya menonton film,
memang. Sebelumnya, ada ritual flashback yang
dilanjut dengan curhat ke Vio, dan berujung pada nangis menye-menye. Iya, aku memang selemah itu kalau menyangkut masalah Ren. Dan film Refrain lah yang membuat semuanya memuncak
dan semakin nangis menjadi-jadi hingga capek dan tertidur. Semua ‘rutinitas lucu
malam’ itu mungkin telah terjadi selama hampir 3 bulan. Tidak setiap malam kok,
hanya setiap malam ‘yang besoknya libur’.
Terkadang, penyebab flashback
bukan karena tiba-tiba oknum tersebut ada di timeline sosmed kita, tetapi bisa juga karena barang-barang darinya, atau kita sedang melewati tempat yang bersejarah dengannya, atau bisa saja
melihat makanan kesukaannya, atau bisa jadi hanya karena melihat barang yang
mirip dengan barang favoritnya. Tetapi, yang terjadi denganku tadi malam bukan
ketiganya. Aku membaca ulang sebuah surat yang pernah aku tulis untuknya. Surat
itu aku buat tepat dihari jadi kami yang kelima tahun (seharusnya) dan hari itu
tepat 6 bulan ia pergi. Aku menghitungnya. Semua yang berhubungan dengannya
pasti kuingat. Kapan pertama kali kami bertemu. Kapan pertama kali kami saling
bertukar nomer handphone. Kapan first date kami. Kapan dinner pertama
kami sejak resmi berstatus. Kapan, kapan, dan kapan lainnya. Termasuk kapan ia
mulai berusaha melangkahkan kaki menuju tujuan yang tak sama lagi. Aku mengingatnya.
Sore ini udara diluar sangat sejuk. Ari, saudara
kembarku, mengajakku pergi ke salah satu cafe
rooftop dibilangan Kemang. Sepertinya ia tau kalau aku sedang tidak beres. Aku
selalu suka caranya menghiburku, yaitu dengan mengajakku pergi dan tidak
bertanya apapun. Ari selalu tau bagaimana memperlakukanku dengan amat baik. Ari
adalah pahlawan keduaku setelah papa. Dan, Ren adalah pahlawan ketiga. Dulu.
Sekarang, bagiku, dua pahlawan itu saja cukup. Bahkan lebih dari cukup.
Sebelum pergi, aku melihat surat itu kembali. Ujung surat
yang berwarna orange itu muncul dibalik novel Refrain yang aku taruh diatas meja
belajar. Aku membacanya kembali. Dan bodohnya, suara sesenggukanku terdengar
hinggan kamar Ari. Ya, memang, sih, kamarnya ada disebelah kamarku, tapi kenapa
bisa sekencang itu? Atau pendengaran Ari yang tajam? Karena tidak lama
kemudian, Ari mengetuk pintu dan langsung masuk tanpa aku bukakan. Ia memelukku.
Ia hanya diam sambil mengusap rambutku. Setelah itu kami masuk ke mobil dan
pergi. Sepanjang jalan, Ari berceloteh tentang segala hal. Apapun yang bisa
membuatku tertawa. Sepanjang sore hingga malam, hanya itu yang ia lakukan. Ketika
kami sampai di rumah kembali, sebelum kami masuk ke kamar masing-masing, Ari
mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun dan sepertinya memang harus
dilakukan. Aku membacanya sekali lagi, memfotonya, meng-insert foto tersebut ke
tulisan ini dan merobek surat itu. Iya, aku memang melakukan seperti apa yang
Ari katakan, tetapi aku juga butuh sesuatu untuk aku kenang kembali nantinya. Kalau-kalau
saja suatu hari nanti aku benar-benar melupakannya. Ini akan menjadi cerita yang
magis ketika dibaca.
“Abis ini suratnya
harus lo buang, ya, Ra? Ini harus jadi malam terakhir lo ngenang dia dari surat
itu. Gue Cuma minta dari surat itu kok. Karena gue tau, mengenang seseorang itu
gak hanya dari satu objek. Night, Ra!”
***
Halo, Ren! Apa kabar?
Sepertinya, kabarmu akan selalu baik, ya?
Selamat hari jadi
kelima tahun, ya, Ren! Iya, harusnya, sih. Tidak apa-apa, selama kamu baik-baik saja,
aku pun begitu.
Setahun yang lalu
aku berjanji mengajakmu ke pantai karena kamu ingin melihat senja pada saat
hari jadi kita. Kamu ingat? Dan aku menepati janjiku, Ren. Aku ke pantai hari
ini, bersamamu. Bukan fisikmu, tetapi serpihan hatimu yang masih berserakan dihatiku.
Aku juga membawa memori-memori kita ke pantai ini. Setidaknya, ada mereka yang
mewakilimu untuk menepati janjiku.
Ren, ketika hari
itu aku melihat punggungmu yang menjauhiku, aku sadar sesuatu. Kamu tidak akan
pernah berbalik lagi. Semuanya terlihat dari punggung itu, Ren. Punggungmu
memperlihatkan langkah tegas dan mantapmu. Memperlihatkan juga bahwa kamu sudah
sangat siap berjalan kearah yang kamu tuju itu. Dan arah itu bukan lagi jalan
yang sama denganku.
Ren, aku bahkan
tidak berani menanyakan kenapa kamu berganti arah. Aku terlalu takut mendengar
jawaban yang akan keluar dari mulutmu. Terlalu takut untuk menghadapi
kenyataan, bahwa tidak akan ada kamu lagi disampingku, yang menemaniku
berjalan. Bukan berarti aku tidak berani atau tidak sanggup berjalan sendiri,
Ren. Hanya saja, membiasakan diri menjalani arah itu sendiri akan sangat sulit.
Kamu sudah terlalu lama menemaniku berjalan, Ren. Wajar, bukan, jika itu sulit?
Ren, pada akhirnya
aku pun berganti arah berjalan. Tidak sulit, hanya butuh sedikit kekuatan dan
menguras sedikit pikiran. Aku sangat sanggup. Itu yang aku pikirkan. Aku menganggap
semuanya mudah dan aku bisa. Memang, pada akhirnya aku berhasil. Tetapi,
ternyata, tidak sedikit kekuatan yang aku keluarkan, tidak sedikit pikiran yang
terkuras, dan tidak sedikit yang aku korbankan. Adaptasi selalu sulit bagiku. Dan
kamu selalu tau itu.
Ren, pasir pantai
didepanku membentuk jejak-jejak kaki yang menjauhi arahku berdiri. Sepertinya,
sebelumku, ada seseorang yang berjalan dan menimbulkan jejak. Semua orang yang
berjalan pasti meninggalkan jejak. Benar begitu, Ren? Termasuk kamu. Kamu
menimbulkan jejak yang mendalam bagiku. Jejak yang selalu ingin kuikuti. Jejak
yang selalu kurindukan.
Ren, andai jejakmu
seperti jejak pasir itu. Jika terkena ombak laut akan menghilang begitu saja. Tetapi,
sayangnya, tidak, Ren. Aku tidak punya ombak laut atau sejenisnya yang dapat
menghapus jejakmu begitu saja. Bahkan, sekalipun aku punya, aku tidak akan bisa
melakukannya.
Ren, jika memang arah
yang kamu tuju sudah tidak sama denganku dan pulangmu bukan lagi aku, semoga
kamu benar-benar menemukannya. Menemukan apa yang kamu tuju dan pulangmu yang
sebenarnya, maksudku. Aku tidak berjanji untuk terus bisa berada dibelakangmu
untuk mendukungmu. Aku pun tidak akan berjanji untuk bersedia menjadi pulangmu
lagi, jika memang itu aku. Aku tidak akan dan tidak ingin berjanji, Ren.
Karena bagiku,
semua yang pergi, tidak akan penah sama jika ia kembali lagi.
Karena bagiku, jika
ia bersungguh-sungguh, ia tidak akan pergi.
Doakan aku
menemukan semuanya, seperti apa yang kamu lakukan, Ren!
I will miss you,
Rendi Putra Wijaya.
- Ara Syantika,
Jakarta, 7 September 2016, 23.48 -
***
22.52 - 15 Oktober 2016
Keren Tyas,oh ya bagi kontak nya dong apapun itu, 3 setengah tahun ga ketemu kangen juga
BalasHapuslove you Tyas :)
BalasHapus