First of all, ini post berisi curahan hati sebagai penutup tahun. Ini bukan post cerpen, pun post puisi. Ini pure apa yang gue pikirin dan rasain hari ini dan selama 2019 berlangsung.
Hari terakhir di 2019 sangat tidak baik; I can't text or call him.
Selama satu tahun ini, isinya super berantakan. Gue sadar, gue kurang banyak beramal dan berbuat baik di tahun ini.
Selama satu tahun ini, gue mencoba menjalani semuanya dengan baik. Iya, menurut gue, gue cukup berusaha, walau belum maksimal. Ternyata, semua usaha yang gue lakukan, tidak benar-benar berjalan dengan baik dan tidak seperti yang gue harapkan. Gue tau, Tuhan pasti punya rencana dan jalan yang jauh lebih baik buat gue. Gue tau, sekeras apapun gue berusaha, if it wasn't for me, it wouldn't be mine.
Selama satu tahun ini, mood gue super parah. Semua yang gue jalanin terlalu mengedepankan rasa. Gue terlalu mengandalkan perasaan gue. Gue gak bener-bener mikirin diri sendiri. Gue terlalu mikirin perasaan orang lain, dalam hal apapun, termasuk pekerjaan dan pertemanan.
Kalau 2019 dibuat dalam bentuk grafik, dia mengalami fluktuasi yang cukup parah, tetapi dibawah nilai 0 atau dibawah garis rata-rata standar kebahagiaan versi gue. Gue gapernah sekalipun berharap sesuatu yang lebih agar grafik gue mengalami kenaikan. Gue terlalu mengikuti arah mood gue. Itu kesalahan besar. Otak gue gak gue pakai untuk menjalani kehidupan gue. Bahkan gue lupa kapan terakhir gue merasa gue menyayangi diri sendiri. Gue lupa rasanya punya quality time with myself.
Tahun ini membawa gue ke segala pergejolakan batin. Tentang apapun, termasuk tentang masa depan. Tahun 2019 ini membuat gue kehilangan kepercayaan diri. Tahun 2019 ini membuat gue bener-bener merasa sedang ada di titik terendah dalam hidup. Gue sedang ada di masa dimana tidak bisa percaya dengan diri sendiri. Gue hanya menggantungkan seluruh harapan dan kebahagiaan gue pada orang-orang di sekitar gue. Itu sangat buruk.
Di tahun ini pula gue sadar, gue tidak bisa memaksakan untuk fit di segala lingkungan pertemanan. Gue sadar, gue tidak bisa membuat semua orang berkata baik ke gue. Gue sadar, banyak sekali orang yang gue anggap teman, tapi ternyata membuat hati gue berantakan. Let say sakit hati.
Hari ini gue sadar, gue gak bisa terus kayak gini. Gue gak bisa diam di comfort zone gue dengan mengandalkan perasaan gue. Hari ini, orang-orang terdekat gue menyadarkan gue kalau gue sangat tidak baik. Iya, gue harus segera bangun. Gue harus bangkit.
Tapi, diluar hal-hal buruk itu. Gue sangat bersyukur karena masih punya beberapa hal yang bisa bikin gue bersyukur.
Pertama, gue bisa survive di lingkungan yang "aneh" dan "toxic" buat diri gue sendiri.
Kedua, gue akhirnya, membuat novelaku.com. Mewujudkan impian gue dari jaman SMA, walau belum bisa konsisten. At least, I try.
Ketiga, gue masih di kelilingi keluarga gue. Gue masih punya teman-teman dekat dan mereka selalu ada dan mendengarkan segala cerita gue. Masih ada cowok yang bertahan dengan segala keegoisan dan ketidakjelasan gue, gue cukup bahagia punya lo selama 4 tahun terakhir ini. Gue masih dikasih teman-teman yang bisa bikin gue "deep talk" ke mereka, tentang apapun. Gue bisa beliin beberapa barang yang mama mau. Gue bisa kasih uang jajan ke adek gue walau gak seberapa. Gue bisa balik ke Jogja. Gue bisa tau siapa yang harus gue kasih effort lebih dan siapa yang enggak. Last but not least, gue masih punya lo yang menyuruh gue untuk selalu bersyukur dan enggak diambil pusing buat apapun yang akan gue hadapin.
Jujur, gue tidak punya harapan yang spesifik buat tahun 2020. Gue cuma mau tahun 2020 membuat gue jauh lebih kuat dan bahagia. Semoga semua yang gue usahakan dan doakan, Tuhan mengabulkan di tahun 2020. Semoga gue tetap di kelilingi orang-orang dekat gue dan mereka semua berbahagia. Satu doa yang paling gue semogakan; semoga Tuhan membuat orang-orang terdekat gue bangga karena mereka punya gue. Aamiin.
Teruntuk kalian, semoga kalian sehat dan bahagia.
Maaf untuk segala kesalahan dan keegoisan gue selama ini.
Tahun 2019 membuat gue merasa jadi orang gagal. Semoga tahun 2020 membuat gue dan kalian menjadi lebih bersyukur dengan segala kerja keras dan hasil yang didapatkan.
Jakarta, 31 Desember 2019
Selasa, 31 Desember 2019
Jumat, 15 November 2019
Terima Kasih, Kasih!
Dari beribu mimpi yang berusaha aku wujudkan,
kamu selalu ada diurutan atas untuk didahulukan.
Dari berbagai doa yang aku panjatkan,
namamu tidak pernah absen aku sebutkan .
Terima kasih untuk genggam yang selalu menguatkan.
Terima kasih untuk langkah yang tak pernah lelah.
Kamu bilang, perjalanan masih panjang.
Memang benar adanya, jalan masing-masing kita masih sangat panjang.
Tapi, semoga jalan kita dimudahkan dan dijadikan satu tujuan.
Pun untuk kalian yang membaca ini dan sedang berjuang.
Terima kasih karena sudah kuat melewati semua ini. Kalian hebat. Kita hebat.
Diatas langit, masih ada langit.
Semoga hati kita tidak ikut menjadi tinggi dengan seiringnya doa-doa yang kita terbangkan.
Terima kasih kamu.
Terima kasih aku.
***
Jakarta, 15 November 2019
kamu selalu ada diurutan atas untuk didahulukan.
Dari berbagai doa yang aku panjatkan,
namamu tidak pernah absen aku sebutkan .
Terima kasih untuk genggam yang selalu menguatkan.
Terima kasih untuk langkah yang tak pernah lelah.
Kamu bilang, perjalanan masih panjang.
Memang benar adanya, jalan masing-masing kita masih sangat panjang.
Tapi, semoga jalan kita dimudahkan dan dijadikan satu tujuan.
Pun untuk kalian yang membaca ini dan sedang berjuang.
Terima kasih karena sudah kuat melewati semua ini. Kalian hebat. Kita hebat.
Diatas langit, masih ada langit.
Semoga hati kita tidak ikut menjadi tinggi dengan seiringnya doa-doa yang kita terbangkan.
Terima kasih kamu.
Terima kasih aku.
***
Jakarta, 15 November 2019
"Sebenarnya, Apa yang Lo Cari?"
"Sebenarnya, apa yang lo cari di hidup ini, Kal?"
Satu pertanyaan yang membuat gue terngiang-ngiang. Satu pertanyaan yang memicu datangnya pertanyaan-pertanyaan lain.
Tidak, gue bukan pengecut yang lari gitu aja dari segala pertanyaan yang tepat sasaran. Gue hanya.. gue hanya sementara menghindar untuk sekedar menenangkan pikiran.
Gue yakin lo pernah mengalami masa-masa kebingungan menentukan skala prioritas. Gue yakin lo pernah mengalami masa-masa dimana rasa dan ambisi yang lo punya begitu menggebu, tanpa pernah tau, sebenarnya, untuk apa dan siapa semua rasa dan ambisi itu lo tunjukan?
Dengan kalimat lain,
untuk tujuan apa semua rasa gebu dan ambisi yang sedang mengalir didalam diri lo?
Apa itu sebuah kewajaran? Apa itu bagian dari ego yang minta untuk dipuaskan?
Buat lo yang sedang membaca ini, jangan khawatir.
Semua pertanyaan-pertanyaan yang ada didalam benak lo, lo tidak sendiri. Banyak orang pun mengalaminya.
Jangan putus asa. Suatu waktu kita akan menemukan jawabannya.
***
Jakarta, 14 November 2019
Minggu, 08 September 2019
Akhir Cerita Alin
Bila rasaku ini rasamu sanggupkah engkau
Menahan sakitnya terhianati cinta yang kau jaga
Lagu Kerispatih
mengalun pelan dari pengeras suara di sudut ruang tunggu. Hari ini adalah hari
yang sangat ditunggu Alin. Brokat biru laut melengkat indah pada tubuh Alin.
Rambut yang biasa dikuncir satu, sudah menggerai rapi melewati leher dan pundak
Alin yang semampai. Dengan mata bulat yang sudah terpasang softlens, bibir tipisnya sudah terpulas cantik oleh ombre lipstic
dan liptint, senyum manis yang selalu terpatri dari sejak ia memasuki ruang
tunggu, Alin sempurna.
“Alin? Ini beneran
Alin?”
“Asli, lo cantik banget!”
“Sumpah, lo Alin
Winata?”
"Nah, gini, dong! Make up!"
Teman sepergengan Alin
heboh bukan main dan Alin hanya tertawa-tawa menanggapi teman-temannya.
“Lin, lo mau tunggu di
sini aja atau mau keluar dulu cari angin? Gue temenin.” tanya Tasya sambil
berbisik, teman terdekat Alin yang sangat mengerti segala kondisi. Tasya tidak
ikut heboh dan tertawa meledeki Alin, Tasya tau apa yang sedang berkecamuk
didalam diri Alin.
“Gue di sini aja, asal
lo juga di sini.”
“Iya, gue akan selalu
di sini.”
Semua orang di ruangan
tersebut bersorak heboh. Pasalnya, acara sebentar lagi dimulai. Ditengah hiruk
pikuk sorak-sorai, Tasya dan Alin saling bertatapan. Tasya dapat melihat getar di
mata Alin. Tasya dapat melihat gerak-gerik jari kelingking Alin dikala ia
sedang grogi. Orang-orang tersebut berhamburan keluar dari ruang tunggu menuju
hall primary, tempat diselenggarakannya akad nikah.
Tasya menggenggam
tangan Alin.
“Everything will be ok.” ucap Tasya kepada Alin, yang diikuti
anggukan kepala dari Alin sebagai jawaban.
MC membuka rangkaian
acara. Semua mata tertuju padanya. Tasya beberapa kali melirik Alin, melihat
kondisi Alin. Senyum di bibir Alin tidak luntur. Matanya mengikuti hal-hal yang
ada didepannya.Pikirannya fokus pada apa yang ia lihat. Tapi, ia tau, tidak
dengan hatinya. Hatinya tidak bisa diam. Hatinya berisik, seperti ingin
mengatakan sesuatu, tetapi dibungkam oleh pemiliknya.
Penghulu memimpin
khotbah nikah dan ijab kabul. Semua menahan napas dan air matanya. Termasuk
Alin. Alin mendengarkan dengan khusyuk dan khidmat. Semua tamu hadirin
bersama-sama mengucapkan kata sah
diikuti dengan doa dan suara riuh rendah.
Renata dan Deva resmi
menjadi sepasang suami istri.
Tasya menggenggam erat
tangan sahabat di sebelahnya. Tangan Alin dingin. Ia tidak akan mengira, bahwa
menghadiri dan menyaksikan langsung prosesi pernikahan Renata, sahabat dekatnya
semasa kuliah, menjadi istri dari seorang Deva, lelaki yang sudah menemaninya
melewati hari selama 5 tahun terakhir. Deva, lelaki satu-satunya yang ia
harapkan dan ia doakan untuk menjadi teman seumur hidupnya. Lelaki yang selalu
ada disaat susah maupun senangnya. Pun dengan Renata.
Tetapi, Alin lega.
Setidaknya, lelaki yang ia cintai jatuh ke tangan yang baik. Mantan pacarnya
tersebut didampingi oleh salah satu sahabat terbaiknya. Alin bersyukur karena
mereka saling menemukan. Walau ternyata, Alin lah perantaranya.
“Lin, kita ke Vood
Kitchen & Bar, yuk? Gue butuh asupan anggur.” ajak Tasya yang sudah lemas
menyaksikan semua ini.
Tasya mengerti, tidak mungkin senyum yang terpampang
pada bibir Alin adalah sentrum langsung dari hatinya. Tasya sangat yakin, hati
Alin sedang berusaha menyapu serpihan-serpihannya sendiri. Tidak, Alin tidak
butuh orang lain untuk membantunya membereskan semua kehancuran yang terjadi
didalam hatinya. Alin dapat melakukannya seorang diri. Tasya sangat tau itu.
Tanpa menjawab
pertanyaan Tasya, Alin berdiri, bersiap meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang
seharusnya menjadi menyenangkan dan mengharukan untuk semua orang. Tapi, tidak
dengan Alin. Alin tidak bisa terus bertahan di sini. Alin tidak ingin kedua
mempelai melihat air mata yang sudah ia bendung sedari pagi.
Sebelum Alin membalikan
badan, matanya bertemu dengan mata Deva. Tatapan mereka mengunci selama
beberapa detik. Hingga pada akhirnya, Alin memutuskan untuk membuang pandangan
dan menyudahi segala hal yang terjadi. Benar-benar ingin mengakhiri segala yang
sudah seharusnya sudah berakhir sejak hari lalu. Deva tersenyum datar. Ia
sangat tau apa yang disampaikan Alin dari tatapannya. Deva masih dapat
merasakan segalanya, dan ia tidak dapat berbuat lebih. Alin berlalu. Kali ini,
ia yang meninggalkannya.
Saat ini, segalanya memang sudah berakhir. Aku harus
terus melangkah. Harus.
Ucap Alin dalam hati
selepas membalikan badan, keluar dari gedung, ditemani dengan langkah kaki
Tasya dan deras air mata yang tiba-tiba turun.
***
Jakarta, 8 September
2019.
Selasa, 06 Agustus 2019
Surat Untuk Diri Sendiri
Untuk Aku,
Hai, Aku!
Semoga sedang dalam keadaan baik dan sehat.
Terima kasih karena, sampai saat ini, masih terus berusaha demi hari-hari mendatang.
Maaf, untuk masa lalu yang membuat langkah ini menjadi terhambat.
Maaf, untuk segala bentuk penyesalan yang selalu menyesakan.
Maaf, untuk semua rasa kecewa yang selalu datang menghampiri tanpa permisi, dan tidak pernah benar-benar pergi.
Maaf, untuk segala rasa sedih yang terasa tanpa mengenal kedaluarsa.
Maaf, untuk segala pilu tanpa tau apa dan siapa yang dituju.
Maaf, untuk segala gebu yang selalu pergi terburu-buru, sebelum semua terwujud.
Maaf, untuk segala gagal yang membuat otak hilang akal.
Maaf, untuk segala patah yang menyebabkan darah.
Maaf, untuk segala langkah yang selalu membuat lelah.
Aku,
tolong dengarkan.
Untuk kali ini saja,
Aku mohon.
Dengarkan diri sendiri,
***
Cikarang, 6 Agustus 2019
Minggu, 28 Juli 2019
Kamu di Masa Nanti
Kepada kamu dikemudian hari,
terima kasih karena telah berdiri dan berlari, menggenggam erat tangan ini.
Siapapun kamu, maaf telah membuatmu menunggu. Maafkan aku untuk semua ragu dan gugu.
Aku tau ini tidak akan mudah untuk dihadapi, bahkan mungkin akan banyak caci.
Tapi, aku berjanji akan segera menyepi untuk segala api yang terjadi.
Dan akan kembali menjadi aku yang kamu cintai sepenuh hati.
Untuk kamu di hari nanti,
terima kasih karena sudah menanti dan bersabar menunggu diri ini menghadapi hari.
Dari aku,
Yang akan selalu mengusahakanmu. Saat ini dan nanti.
***
Jakarta, 27 Juli 2019
terima kasih karena telah berdiri dan berlari, menggenggam erat tangan ini.
Siapapun kamu, maaf telah membuatmu menunggu. Maafkan aku untuk semua ragu dan gugu.
Aku tau ini tidak akan mudah untuk dihadapi, bahkan mungkin akan banyak caci.
Tapi, aku berjanji akan segera menyepi untuk segala api yang terjadi.
Dan akan kembali menjadi aku yang kamu cintai sepenuh hati.
Untuk kamu di hari nanti,
terima kasih karena sudah menanti dan bersabar menunggu diri ini menghadapi hari.
Dari aku,
Yang akan selalu mengusahakanmu. Saat ini dan nanti.
***
Jakarta, 27 Juli 2019
Sabtu, 20 Juli 2019
Malam Minggu Menunggu
Kursi di depanku kosong. Tidak ada kamu.
Uhm, kamu hanya belum datang, kan? Iya, ini memang malam minggu, dan kamu selalu sibuk. Aku mengerti, kok. Karena itu, akan selalu aku kosongkan kursi tersebut.
By the way, aku lupa ini malam minggu ke berapa sejak kita terakhir kali bertemu? Iya, aku sudah berhenti menghitungnya. Terlalu malas untuk sekedar membuka kalender dan menandainya dengan tanda silang merah. Toh, spidol merahku sudah habis, dan aku tidak pernah membelinya lagi.
Malam minggu ini masih sama. Aku masih di salah satu coffee shop kesukaan kita. Aku masih di sudut yang sama, tapi tidak dengan pemandangan di mataku. Depan, kiri, kanan. Pun keadaan sekitar, tidak sama. Riuh yang mencekam. Riuh yang kosong. Riuh yang tidak memekakkan telinga.
Ah, iya, aku masih memesan menu yang sama. Kintamani untukku dan Gayo untukmu. Satu slice cheesse cake untukku dan french fries untukmu. Untuk berjaga saja, siapa tau, kamu datang. Jadi, kamu tidak perlu menunggu pesanan lagi. Kamu tidak perlu repot, deh. Aku sudah siapkan semuanya. Termasuk hati.
Kamu tau, kenapa aku tidak pernah bosan menunggumu?
Karena aku sangat yakin, kamu akan selalu pulang. Kamu akan melakukan hal yang sama, bukan?
Kamu tau, kenapa aku sangat yakin?
Karena kamu selalu meyakinkan hubungan ini.
Tidak, aku tau kamu tidak meyakinkanku, tapi kamu selalu yakin this relationship will be work and worth it.
Oh, iya, aku punya cerita banyak untuk malam ini. Aku akan membuatmu tertawa terpingkal-pingkal ketika nanti aku ceritakan hal-hal aneh yang dilakukan Ardhy dan Leon. Aku juga akan membuatmu terharu biru mendengar ceritaku dari ibu warteg seberang jalan. Cerita beliau sangat inspiratif. Kamu pasti akan sedih! Hehehe.
Oh, dan satu lagi!
Khusus malam ini, aku sudah menyiapkan hadiah untuk kamu. Iya, hadiah ulang tahun. Telat, sih, tapi kamu pasti suka! I swear!
Aku bermonolog sudah hampir dua jam, ternyata.
Sekarang sudah pukul 9 malam.
Emm, sepertinya aku akan menunggu sebentar lagi. Aku tetap yakin, kamu akan menemuiku.
Aku akan membaca novel atau bermain permainan di handphone saja.
Pukul 10 malam!
Kenapa cepat, ya?
Kamu belum datang juga, ya?
Mungkin esok hari?
Baik lah, aku akan pulang.
Catatan untuk Kamu:
I know it's hard, and hurt sometimes. Tapi, jangan menyerah, ya?
Aku tidak akan menyerah. I promise you.
Jangan lupa pulang.
Please text me if you read this note.
-Flo-
***
Jakarta, 20 Juli 2019
Uhm, kamu hanya belum datang, kan? Iya, ini memang malam minggu, dan kamu selalu sibuk. Aku mengerti, kok. Karena itu, akan selalu aku kosongkan kursi tersebut.
By the way, aku lupa ini malam minggu ke berapa sejak kita terakhir kali bertemu? Iya, aku sudah berhenti menghitungnya. Terlalu malas untuk sekedar membuka kalender dan menandainya dengan tanda silang merah. Toh, spidol merahku sudah habis, dan aku tidak pernah membelinya lagi.
Malam minggu ini masih sama. Aku masih di salah satu coffee shop kesukaan kita. Aku masih di sudut yang sama, tapi tidak dengan pemandangan di mataku. Depan, kiri, kanan. Pun keadaan sekitar, tidak sama. Riuh yang mencekam. Riuh yang kosong. Riuh yang tidak memekakkan telinga.
Ah, iya, aku masih memesan menu yang sama. Kintamani untukku dan Gayo untukmu. Satu slice cheesse cake untukku dan french fries untukmu. Untuk berjaga saja, siapa tau, kamu datang. Jadi, kamu tidak perlu menunggu pesanan lagi. Kamu tidak perlu repot, deh. Aku sudah siapkan semuanya. Termasuk hati.
Kamu tau, kenapa aku tidak pernah bosan menunggumu?
Karena aku sangat yakin, kamu akan selalu pulang. Kamu akan melakukan hal yang sama, bukan?
Kamu tau, kenapa aku sangat yakin?
Karena kamu selalu meyakinkan hubungan ini.
Tidak, aku tau kamu tidak meyakinkanku, tapi kamu selalu yakin this relationship will be work and worth it.
Oh, iya, aku punya cerita banyak untuk malam ini. Aku akan membuatmu tertawa terpingkal-pingkal ketika nanti aku ceritakan hal-hal aneh yang dilakukan Ardhy dan Leon. Aku juga akan membuatmu terharu biru mendengar ceritaku dari ibu warteg seberang jalan. Cerita beliau sangat inspiratif. Kamu pasti akan sedih! Hehehe.
Oh, dan satu lagi!
Khusus malam ini, aku sudah menyiapkan hadiah untuk kamu. Iya, hadiah ulang tahun. Telat, sih, tapi kamu pasti suka! I swear!
Aku bermonolog sudah hampir dua jam, ternyata.
Sekarang sudah pukul 9 malam.
Emm, sepertinya aku akan menunggu sebentar lagi. Aku tetap yakin, kamu akan menemuiku.
Aku akan membaca novel atau bermain permainan di handphone saja.
Pukul 10 malam!
Kenapa cepat, ya?
Kamu belum datang juga, ya?
Mungkin esok hari?
Baik lah, aku akan pulang.
Catatan untuk Kamu:
I know it's hard, and hurt sometimes. Tapi, jangan menyerah, ya?
Aku tidak akan menyerah. I promise you.
Jangan lupa pulang.
Please text me if you read this note.
-Flo-
***
Jakarta, 20 Juli 2019
Sabtu, 22 Juni 2019
Some Kind of Wonderful
Cerita ini saya dedikasikan untuk novel Some Kind of Wonderful - Winna Efendi. Surel dari Rory untuk Liam dan akhir cerita Rory dan Liam versi saya.
To : Liam Kendrick
Subject : Some Kind of Wonderful
Hi, Liam!
How are u? Doing fine, right?
You're right, goodbye means a promise to return to the people you love. Aku pulang ke rumah. And it was wonderful. Feeling better. Aku tidak pernah merasa selega seperti saat ini. Mungkin benar, jarak menyadarkan kita akan baik buruknya sesuatu. Jarak menyadarkanku bahwa sejauh dan selama apapun pergi dari rumah, ia akan tetap menjadi tujuan kita pulang. Suatu saat nanti.
Pun denganmu. Menghirup kembali udara Sidney, walau hanya dua hari, membuatku merindukanmu. Tidak, memang tidak secepat itu. Aku kembali hanya untuk mengunjungi Jay dan Ruben. Mereka akan selalu menjadi pulangku yang utama. Ruben berbisik kepadaku, katanya, kamu pasti mempunyai selera humor yang bagus dan dapat mengajarkannya membuat pasta terenak suatu hari nanti. Jay hanya tersenyum mendengar bisikan itu. Tapi, kamu tau? Sorot mata Jay tenang. Setelah Ruben kembali, Jay berkata bahwa aku harus menemuimu. Jay yakin kamu dapat membuatku memiliki sorot mata yang ia dambakan dan kagumi. He said that I can only behappy when I am brutally honest with myself. Jay pun bilang, maaf jika ia masih mencintaiku.
Aku? Tidak usah kamu pertanyakan. Aku sudah sangat ikhlas akan Jay dan Ruben. Saat ini, hanya ada kamu.
Tunggu aku di Via Crociferi. Bring your good mood for next challenges.
You are the smile of my sadness
the remedy to my pain
You are some kind of wonderful
Berfore we meet, kindly listen my new song. Yes, for you.
With Love,
Rory.
***
Jakarta, 22 Juni 2019
To : Liam Kendrick
Subject : Some Kind of Wonderful
Hi, Liam!
How are u? Doing fine, right?
You're right, goodbye means a promise to return to the people you love. Aku pulang ke rumah. And it was wonderful. Feeling better. Aku tidak pernah merasa selega seperti saat ini. Mungkin benar, jarak menyadarkan kita akan baik buruknya sesuatu. Jarak menyadarkanku bahwa sejauh dan selama apapun pergi dari rumah, ia akan tetap menjadi tujuan kita pulang. Suatu saat nanti.
Pun denganmu. Menghirup kembali udara Sidney, walau hanya dua hari, membuatku merindukanmu. Tidak, memang tidak secepat itu. Aku kembali hanya untuk mengunjungi Jay dan Ruben. Mereka akan selalu menjadi pulangku yang utama. Ruben berbisik kepadaku, katanya, kamu pasti mempunyai selera humor yang bagus dan dapat mengajarkannya membuat pasta terenak suatu hari nanti. Jay hanya tersenyum mendengar bisikan itu. Tapi, kamu tau? Sorot mata Jay tenang. Setelah Ruben kembali, Jay berkata bahwa aku harus menemuimu. Jay yakin kamu dapat membuatku memiliki sorot mata yang ia dambakan dan kagumi. He said that I can only behappy when I am brutally honest with myself. Jay pun bilang, maaf jika ia masih mencintaiku.
Aku? Tidak usah kamu pertanyakan. Aku sudah sangat ikhlas akan Jay dan Ruben. Saat ini, hanya ada kamu.
Tunggu aku di Via Crociferi. Bring your good mood for next challenges.
You are the smile of my sadness
the remedy to my pain
You are some kind of wonderful
Berfore we meet, kindly listen my new song. Yes, for you.
With Love,
Rory.
***
Jakarta, 22 Juni 2019
Minggu, 28 April 2019
Merelakan Untuk Kebahagiaan
Dan bila
kita bersama
Kan ku jaga
dirimu
Untuk
selamanya
Tolong
terima cintaku
RAN –
Pandangan Pertama
Lagu RAN mengalun dari speaker di pojok cafe. Sore ini gerimis
mengguyur Ibu Kota. Meja-meja di Cafe Utara penuh. Hanya tersisa dua meja
didekat pintu keluar. Vera menempati meja di sudut cafe dekat jendela. Dari
tempatnya, Vera dapat melihat seluruh aktivitas di dalam cafe. Cafe ini tidak
pernah benar-benar sepi. Tapi, Vera selalu beruntung karena meja ini selalu
tersedia untuknya kapanpun ia mau. Tatapan Vera beralih pada pintu masuk. Waktu
sudah menunjukan pukul 5 sore dan orang yang sangat ia tunggu belum juga tiba.
Secangkir teh putih pesanannya datang.
“Tumben pesannya white tea,
biasanya kopi atau chocolate.”ucap
Joan, salah satu pelayan yang sudah sangat ia kenal.
“Lagi pengin aja, Jo.” Vera menanggapi dengan enggan.
“Okay. Gue balik lagi, ya. Kalau lo butuh sesuatu, panggil gue aja.”
kata Joan sembari pergi menjauh dari meja Vera. Joan sudah sangat hafal akan
semua tindak tanduk Vera. Joan adalah salah satu saksi perjalanan hidup Vera
hingga sampai titik kejayaannya, pun terlemahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul 6 saat seseorang yang Vera tunggu
akhirnya tiba. Ia masih mengenakan kemeja putih lengkap dengan dasi biru muda
dan celana hitam formalnya. Yovi selalu terlihat memesona. Dalam keadaan apapun.
Iya, termasuk keadaan telat satu jam dan membuat Vera menunggu sambil merengut.
“Kurang lama, Yov.” kata Vera dengan mata menyipit mencari penjelasan.
Yovi tertawa sambil merebut cangkir gelas white
tea milik Vera yang sudah tinggal setengah.
“Ini choco doughnut pesanan
lo, Ver. Ini ice chocomint dan beef burger pesanan lo, Yov.” Joan
datang mengantarkan pesanan yang sudah disiapkan sejak sebelum Yovi datang.
“Kok, pesanan Yovi cepet, sih?” tanya Vera heran.
“Lo lupa Joan itu separuh jiwa gue?” jawab Yovi mengikuti gaya mata
Vera, menyipit.
“Gue selalu lupa karena lo sama Joan enggak mirip sama sekali.” balas
Vera semakin menggebu dengan kedua mata melotot.
“Hahaha, gue pamit, deh.” timpal Joan sembari tertawa dan membalikan
badan.
Sejak Joan meninggalkan mereka, mereka hanya diam dan menikmati
santapan masing-masing. Sibuk dengan kegaduhan dalam pikiran masing-masing.
Sibuk menata akal dan perasaan agar tetap sinkron dengan keadaan yang mereka
hadapi.
“Enggak ada penjelasan, nih? Kenapa lo menghilang selama dua jam,
membuat gue nunggu satu jam, tapi masih bisa order your food?” Vera menjawab
dengan mata memincing dan tangan bersedekap.
Yovi menghembuskan nafas. “Lo masih butuh kabar dan semua penjelasan
gue setelah hubungan kita berakhir?” ucap Yovi tidak kalah nyelekitnya. Vera terdiam. Vera sudah menebak Yovi akan menjawab
seperti ini. Ia tidak kaget dan sudah menyiapkan jawaban. Vera diam karena
benar-benar merasa tertampar oleh keadaan yang ternyata menyakitkan jika
diucapkan langsung oleh Yovi.
“Ver? Sorry, gue terlalu
kasar, ya?” ucap Yovi pelan sembari memajukan badan melihat ke wajah Vera
hingga membuat jarak wajah mereka hanya sekitar 10 cm. Tatapan Yovi melembut,
Vera melihat itu. Yovi selalu tau apa yang Vera rasakan.
“You always know about me, Yov.
I can’t hide everything. Especially about it.” balas Vera dengan menundukan
kepala. Ia tidak ingin Yovi melihat kelam matanya. Vera tau ia sedang ada dalam
bahaya besar karena memberanikan diri menemui Yovi saat Vera masih sedang dalam
titik terlemahnya.
“I am so sorry. Gue enggak
tau harus seberapa banyak lagi minta maaf ke lo, Ver. You always understanding me melebihi siapapun, termasuk dia. She can’t understanding me.” terang Yovi
dengan membuang pandangan. Yovi mencari objek apapun asal bukan Vera. Yovi
tidak ingin Vera melihat matanya. Terlalu kelam.
“Belum, Yov. Cuma belum aja, kok.” Vera tersenyum tulus. Senyum yang
ia harap dapat menenangkan Yovi. Sejak mereka memutuskan menyudahi hubungan
yang telah lima tahun mereka jalani, Vera berusaha menjadi teman yang baik bagi
Yovi. Setidaknya, ia tetap melakukan yang terbaik bagi Yovi, walau berlainan
dengan kata dan keadaan hatinya.
“Gue enggak pernah menyangka, ternyata rumah tangga akan serumit ini.
Gue pikir, dengan gue memilih dia, akan membuat semua hal yang gue inginin jauh
lebih gampang. Ternyata enggak juga.” Yovi memakan potongan beef burger terakhirnya. Ia tau membicarakan
ini semua dengan Vera hanya akan semakin menyakiti hati milik Vera dan hati
miliknya.
“Lo ngajak gue ke sini cuma buat curhat itu lagi? Besok-besok enggak
akan gue turutin lagi.” Vera melambaikan tangan. Ternyata, menghadapi Yovi
lagi, masih tetap butuh asupan kafein lebih.
“Gue cuma pengin ngobrol sama lo aja. Hari ini tanggal 10.” Yovi
memperhatikan perubahan pada wajah Vera. Vera kaget Yovi ingat tanggal mereka
memutuskan untuk menjalin hubungan. Yovi tersenyum simpul. Ia selalu menyukai
reaksi-reaksi kecil Vera. Vera, si ekspresif.
“Lo lagi marahan sama istri lo, ya?” tanya Vera mengalihkan topik.
Vera tau Yovi sedang melarikan diri dari kenyataan hidupnya. Vera pun demikian.
Tapi, tidak adil bagi Dea, istri Yovi yang juga teman kantor Vera.
“Iya, dia marah karena gue terlalu sibuk dan lebih banyak lembur sejak
kami nikah.”
Vera hanya mengangguk mendengar cerita Yovi selanjutnya. Yovi dan Dea
baru saja menikah selama satu bulan dan sudah tiga kali Yovi mengeluh tentang
prahara rumah tangganya. Dua kali via telefon dan satu kali via tatap muka,
sekarang ini.
“Ini kesekian kali gue bilang, ya, Yov. Gue enggak akan bisa jadi
orang yang benar-benar netral dan mengerti dengan rumah tangga. Gue aja masih
berkelut sama tesis dan ngotak-ngatik excel
di kantor, lo lagi ngomongin nikah.”
“Tapi, lo selalu mengerti gue, Ver.” Ucap Yovi dengan begitu
tenangnya. Ia tidak tau, bahwa lawan bicaranya sedang mengatur degup jantung
agar tidak terdengar olehnya.
“Lo tau enggak, kalau ini bukan lo banget?”
“Apanya, Ver?”
“Lari dari masalah.”
Selama lima tahun Vera berpacaran dengan Yovi, melarikan diri dari
masalah adalah jalan terakhir yang akan mereka lakukan. Bagi mereka, selesaikan
sekarang atau kamu akan menyesal, adalah salah satu motto dalam kelancaran
hubungan mereka.
“Ada cerita lainnya? Gue rasa, yang bikin lo melarikan diri ini,
enggak cuma satu masalah itu doang, deh.” Tanya Vera setelah meneguk Mocha Latte dari cangkirnya. Cangkir kedua.
Vera tidak bisa membayangkan akan habis berapa cangkir, jika didepannya masih
ada seorang Yovi Pradhana, 26 tahun, anak pemilik sekaligus pewaris pertama
dari salah satu perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia. Yovi Pradhana, yang
sudah mengisi hari-harinya selama 6 tahun terakhir. Satu tahun sebagai teman
dekat dan 5 tahun sebagai pacar. Yovi Pradhana yang sudah digadang-gadang
sebagai calon menantu idaman dari seorang Vera Putri Adhywijaya, anak perempuan
satu-satunya dari keluarga pemilik saham terbesar dari salah satu Startup terbesar di Asia Tenggara. Tidak
seperti Yovi yang memilih untuk membantu perusahaan keluarganya, Vera memilih
untuk bekerja sesuai dengan passion dan jurusan yang sudah ia tekuni. They was perfect couple.
“Kenapa, ya, Ver, dunia enggak akan pernah adil?”
Vera memincingkan mata, menelisik arah pembicaraan Yovi. Vera
memutuskan untuk diam dan tetap melihat tepat di manik mata Yovi.
“Selama beberapa tahun belakangan ini, gue merasa hidup gue sempurna.
Kurang satu dua, tapi bukan masalah besar. Tapi, gue tetap enggak bisa
bersyukur.” Yovi berhenti berbicara, kemudian meneguk tetesan terakhir di
cangkirnya.
“Sejak, lo pergi dan gue menikah, gue semakin enggak bisa bersyukur.”
“Tolong diralat. Gue enggak pergi, tapi lo yang menyudahi, walau lo
pun enggak pergi.”
“Whatever. Gue harus denial tentang hal itu.”
“Kenapa? Biar lo enggak dihantui rasa bersalah dan sesal?” balas Vera
dengan nada tenang, tapi mata memincing. Sudut bibir sebelah kiri Vera
terangkat. Vera tau kata-kata itu adalah benar.
“Ver, lo harus janji sama gue. Lo harus move on secepatnya, okay?”
“Kenapa? Apa urursannya sama lo?”
“Biar gue lebih tenang, Ver.”
“Gimana caranya lo tau gue udah move
on atau belum?”
Pertanyaan Vera dijawab dengan gelengan kepala oleh Yovi. Sebenarnya,
Vera tau, Yovi hanya ingin mengutarakan apa yang ada dipikirannya. Tidak bermaksud
lain. Yovi akan selalu menjadi Yovi yang polos dan terbuka dengan apa yang ia
rasakan dan pikirkan. Vera akan selalu menjadi Vera yang pengertian dengan
segala tingkah dan pikiran Yovi. Tapi, tidak dengan semesta. Semesta memiliki
mata, rasa, dan pikiran yang lain. Semesta melihat, merasakan, dan memikirkan
dari sisi lain yang tidak akan pernah diketahui oleh Vera dan Yovi. Sisi lain
yang jauh lebih baik dari sudut pandang selain Vera dan Yovi.
“Udah jam 9 malam, Yov. Pulang, yuk? Dea pasti udah nunggu di rumah.”
“Gue masih mau liat wajah lo.”
“Yov, Dea anak yang baik. Dia pun rajin beribadah dan pengetahuan
tentang agamanya luas. Kalau di kantor, dia sangat keibuan. Gue tau, kok, kalau
lo tau semua itu. Jadi, gue mohon, lo harus mulai bersyukur dengan adanya Dea.”
Yovi hanya mendengarkan dan menatap mata Vera. Vera tidak pernah tau,
Yovi selalu menunggu-nunggu saat Vera menasehatinya. Karena pada saat itu, Yovi
dapat melihat betapa besar rasa sayang Vera kepadanya. Tidak, Yovi tidak pede, itu semua benar.
“Gue tau, lo juga udah move on.
Gue pun tau, rasa sayang lo ke Dea udah mulai membuncah. Lo hanya belum terbiasa
menghadapi dia. Bukan gue.”
Vera tersenyum. Vera tau, malam ini, mungkin akan jadi malam terakhir
mereka bertemu sebagai ‘teman’ yang memakai tanda kutip.
“Lo tenang aja, gue udah enggak punya waktu lagi buat galau, kok. Gue
udah terlalu sibuk dengan semua masalah nyata di hidup gue sekarang.” Vera
menghela nafas. Ia meneguk sisa-sisa Mocha
Latte-nya dan bersiap untuk beranjak pergi.
“Kalau lo masih mau diem dan ngeliatin gue gitu, gue yang pergi
duluan, ya.”
“Lo jaga diri, ya, Ver.”
“Iya, lo juga, ya. Jaga Dea juga.”
Mereka beranjak dari kursi masing-masing. Berjabat tangan sembari
tersenyum sendu. Dalam hati mereka, mereka sama-sama ingin mengucapkan tiga
kata yang selalu mereka ucapkan sebelum pulang. Tapi, tidak bisa untuk kali
ini, Biar hati dan semesta saja yang tau, kata mereka dalam hati.
Pada satu sudut lain di dalam cafe, Joan melihat dari kejauhan.
Matanya panas setiap menyaksikan mereka. Joan tau, rasa yang ia pendam, tidak
akan pernah bisa menggantikan hubungan yang sudah ada dan sepertinya akan
selalu ada di dalam hati mereka.
How do I end up in the same old
place
Faced again with the same
mistakes
So stubborn thinking I know what
is right
But life proves me wrong
everytime
Bruno Mars – Move On
***
Cikarang, 28 April 2019
Sabtu, 06 April 2019
Akhir Cerita di Satu Sore
“Minggu depan, kita jadi nonton Kahitna, kan? Aku enggak
sabar, deh. Kapan lagi kamu mau diajak nonton, ya, kan?”
Aku. Seperti biasa, heboh membicarakan setiap janji-janji
pertemuan kita.
Kamu. Seperti biasa, hanya mengangguk-angguk pasrah. Terkesan
tidak antusias. Atau memang tidak, ya? Ah, kamu hanya tidak ekspresif saja.
Iya, aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri.
“Mau beli minum? Aku haus.” tanyamu tiba-tiba, dan
dilanjut dengan menggandeng tanganku menuju sebuah restoran cepat saji. Pasti mau beli soft drink, deh, ucapku dalam
hati.
“Mbak, soft drink
dua, ya. Dine in.” katamu tanpa
bertanya kepadaku. Aku tersenyum, kemudian mengedarkan pandangan ke penjuru
restoran. Ada meja kosong dekat dengan jendela. Aku berjalan menuju meja
tersebut dan disusul olehmu.
“Gimana dinasnya? Ada cerita apa?” pancingku, dan
mengalir cerita darimu. Mata dan kedua tanganmu asyik bermain. Seolah-olah
memperagakan setiap kejadian yang kamu temui. Aku tidak bisa fokus pada setiap
ceritamu. Aku terlalu hanyut dalam indah matamu. Dalam tulus senyummu setiap kamu menemui sesuatu yang menyentuh hati. Dalam renyah tawamu ketika
hal-hal itu membuatmu terbahak. Aku selalu menyukai setiap hal yang kamu lakukan. Termasuk kehabisan napas setelah bercerita panjang kali lebar.
“Jadi, gitu. Seru, kan? Aku suka banget kalau harus dinas
lagi ke sana!” kedua ujung bibirmu mengangkat. Menampilkan deretan gigi yang
tidak rata, tapi memesona.
“Aku suka deh, kalau liat dan dengerin kamu cerita. Kamu
jadi ada jiwanya, lagi.” ucapku spontan. Sudah dapat dipastikan, wajahku merah
semerah udah rebus. Kamu hanya tersenyum. Kemudian, handphone-mu bergetar,
tanda pesan masuk.
Bang,
besok pagi jadi, kan?
Satu baris pesan yang membuat kami sama-sama termangu.
Bukan karena isi pesannya, tetapi karena nama si pengirim. Aku tidak dapat
mengalihkan pandanganku. Aku tidak berani menatapmu, yang sepertinya sedang
menatapku. Aku tidak dapat menggerakan bibirku. Aku tidak dapat berpikir.
“Kha?”
Kamu memanggilku dengan pelan. Perlahan tapi pasti, aku
membuang wajahku. Tepat saat satu bulir air mata jatuh. Secepat kilat aku
menghapus. Berharap kamu tidak tau, yang berarti sangat mustahil. Kamu pasti
tau.
“Kha, maaf.”
“Enggak perlu minta maaf, kok. Aku juga udah tau
semuanya.” ucapku akhirnya. Aku memberanikan diri untuk balas menatapnya dan
menjelaskan maksud perkataanku.
“Jadi, bagaimana? Aku butuh penjelasan dan kejelasan.” Ucapku
begitu mendapatkan satu cangkir kopi dan meneguknya hingga setengah gelas.
Untuk menghadapi kenyataan pahit yang akan datang, memang butuh asupan yang
juga pahit. Walau tidak akan sepahit kenyataan.
“Iya, kami masih intens komunikasi. Kalau kami ada di
kota yang sama, kami saling berinisiatif untuk bertemu. Tanpa memberi tau kamu.
Dia pun setuju. Dia takut menyakitimu. Aku pun.”
“Sudah ku bilang, apapun itu, cerita dan beri tau aku.”
“Kenapa, Kha?”
“Karena agar aku tau, kapan aku harus mundur dan kapan
aku harus bertahan. Agar aku tau, sejauh mana rasa yang kamu miliki.”
“Kha, maaf.”
“Ada lagi?”
“Semua yang pernah kita masalahkan tahun lalu, masih
terjadi di tahun ini.”
“Termasuk berbicara via telepon? Sedangkan kita saja
jarang melakukannya.”
“Iya, Kha. Besok kami berjanji untuk hunting foto di
Bogor. Minggu depan dia mengajakku untuk menonton film keluaran DC terbaru.”
“Disaat aku merengek minta ditemani mencari buku ke Pasar
Senen besok dan merengek minta ditemani nonton Kahitna minggu depan. Sepertinya,
aku memang sudah tidak diinginkan lagi, ya, No?”
Kamu hanya tertunduk dan mengetuk meja dengan jemarimu.
Aku menyesap kopiku. Berusaha menyusun kembali serpihan hatiku yang berserakan.
Memandang ke luar jendela dan menarik napas dalam-dalam. Bagaimana jika
sebenarnya rasa yang kami miliki ini salah?
Perasaanku tak bisa dustai
Tak seperti dulu lagi
Aku tak mau terus begini
Bila kau tak lagi sungguh sungguh cinta aku
Lagu
Aku Punya Hati dari Kahitna mengalun pelan. Aku tersenyum. Bahkan, restoran ini
pun tau cerita yang sedang kami ukir saat ini, di sini. Aku harus menikmati
setiap momen sore ini.
“Mikha?” panggilmu.
“Aku harus apa, Kha?” tanyamu kembali. Aku mengerutkan
kening, sembari tersenyum. Iya, aku tersenyum. Aku selalu suka ekspresimu. Kamu
tau, kan? Ekspresi apa pun itu.
“Kenapa kamu tanya aku? Didalam hubungan ini, yang
memiliki pilihan itu kamu. Kamu yang ada aku dan ada dia. Jadi, siapa yang kamu
pilih?” tanyaku dengan tenang. Aku sudah pernah menanyakan ini tahun lalu. Aku
sudah pernah melewati kejadian ini denganmu. Tapi, sepertinya, yang ini tidak
akan berakhir baik. Aku tidak ingin kamu terjebak dengan rasa yang tidak kamu
inginkan.
“Pertanyaan yang sama, ya? Harus aku yang benar-benar
menjawab dan memutuskannya?”
“Iya. Kenapa? Kamu takut menyesal, No?”
Kamu terdiam. Kamu tidak menjawab hingga akhirnya aku
yang mencoba memberanikan diri membuka suara. Aku hanya berdoa, semoga ini yang
terbaik untukmu. Iya, untukmu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku tidak peduli
harus menghancurkan hatiku sendiri. Aku tidak peduli harus mengesampingkan
egoku seberapa jauh. Aku tidak peduli harus kehilangan seseorang, lagi.
“Kalau begitu, let
me do it. Aku yang mundur, No. Bukan karena aku tidak ingin berjuang
bersama lagi, tapi karena aku ingin kamu bersikap tegas dan menerima setiap
rasa yang datang kepadamu. Aku ingin kamu mendapatkan bahagiamu, No.”
“Bagaimana kalau aku tidak bahagia nantinya?”
“Itu sudah resiko. Coba lihat sekarang. Apa kamu masih
antusias dengan pertemuan-pertemuan kita? Apa kamu masih merasakan debar yang
sama saat kulit kita bersentuhan? Apa kamu masih menginginkan pelukanku?”
Kalimat terakhir adalah kalimat yang
sangat sulit untuk aku katakan. Kalimat yang sangat terdengar depresif? Yeah, that’s me!
“Maaf, Kha.”
Aku menunggumu melanjutkan perkataan
itu. Aku menunggumu meraih tanganku dan menolak pernyataan mundurku. Aku
memunggumu mengucapkan tiga kata yang sering kamu ucapkan.
“Kamu harus bahagia, Rino. Kamu
baik. Ibu kamu pasti senang kalau kamu membawa dia ke rumah. Aku sangat yakin
itu.”
Aku tidak bisa menghentikan laju air
mataku. Aku tidak ingin menahannya lagi. Aku ingin, sore ini, kamu melihatku
hancur sehancur-hancurnya. Aku ingin kamu melihat sisi lainku, yang sudah
sesayang-sayangnya kepadamu.
Aku tersenyum. Menyentuh kedua
tanganmu yang mengepal, dan menggenggamnya. Mata kami bertemu.
“Aku sayang kamu, Rino. Kamu juga
harus sayangi diri kamu, ya? Tinggalkan aku dan temui dia. Temui bahagiamu.
Paham?”
Kamu menggangguk. Memasukan dompet
dan handphone-mu ke dalam tas
kecilmu. Kamu menatapku. Sendu dan getir. Aku tidak perlu dikasihani, kau tau itu.
”Rino, salam buat Ibu, ya? Maaf sudah
menahan anaknya sampai sejauh ini.” kataku dengan nada yang kian melemah. Kamu
beranjak dari kursimu dan diam menatapku. Tak lama, kamu duduk kembali. Menatapku
sedalam-dalamnya. Aku terhanyut. Iya, masih tetap terhanyut dengan tatapanmu.
“Kamu tau, Kha? Aku sangat bersyukur
sudah berjalan sejauh ini denganmu. Aku banyak belajar. Kamu perempuan tangguh.
Kamu layak mendapatkan yang lebih baik.”
Setelah itu, kamu berdiri. Mengusap
puncak kepalaku dan mengecupnya. Kemudian, kamu membalikan badan dan berlalu.
Aku hanya dapat terdiam menyaksikan
semua ini berlalu bergitu cepat. Sangat cepat. Hingga air mataku pun
berusaha mengalahi kecepatan waktu yang terjadi. Deras sekali.
Sore ini, di salah satu meja dekat
jendela di restoran cepat saji, aku hancur. Isi kepalaku mendadak kosong. Aku
tidak dapat memikirkan apa pun. Aku hanya dapat berpikir dua hal.
Satu, sehancur apa pun hati ini, aku
sayang kamu.
Dua, setidaknya, aku sudah melakukan
yang terbaik.
Dan aku berdoa kepada Tuhan,
semoga
kamu benar-benar bahagia.
Aamiin.
Hadirnya tanya yang tak terjawab,
mampu menjatuhkanku yang dikira
tegar.
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi,
yang dulu kita ukir bersama.
Raisa
– Usai Disini
***
Cikarang,
3 April 2019
Sabtu, 05 Januari 2019
Dear San (6)
Dear San,
It's been a year..
Happy New Year for you, San!
And..
It's been 3 years 1 month.. Kamu benar-benar menghilang dari duniaku.
Yeah, melanjutkan hidup, memang. Menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Tapi, San, apakah kita tidak benar adanya? Bahkan, Bandung dan Yogyakarta sangat nyata dan benar adanya.
Anyway, tadi malam kamu mampir, ya? Iya, ke mimpiku. Aku dan kamu bertemu di stasiun yang tidak aku kenal. Tangga megah berdiri sangat kokoh dan spot-spot artistik disetiap sudut ruangnya. Kamu masih dengan senyum dan tatapan yang sama, yang berbeda hanya model kacamata yang kamu gunakan. Kamu tidak percaya aku ada di kota yang sama denganmu. Sungguh, aku tidak tau di kota mana kita bertemu, I have no idea, like I have no idea too untuk aku dan kamu, apakah akan bertemu kembali? After.. Eerr.. 4 or 5 years?
San, aku selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa aku dan kamu menjadi seperti ini? Menjadi orang asing, ketika dunia sedang keras-kerasnya. Menjadi bertolak belakang, ketika keadaan mengatakan sebaliknya.
Aku selalu berandai-andai, jika saja saat itu aku tidak terbawa arus hubungan yang tidak sehat.
Andai saja saat itu aku tetap pada pendirianku dengan mimpi di universitas yang sama dan jurusan yang aku idam-idamkan.
Andai saja saat itu aku cepat menangkap dan merasakan sesuatu yang terjadi diantara kita.
Andai saja saat itu aku tetap berjuang.
Andai saja saat itu aku tidak bertindak bodoh.
Andai saja...
Sulit sekali, ya, untuk tidak berandai-andai.
Kamu tau hal tersulit dari semua ini?
Menemukan teman berbicara, teman diskusi, teman bermain, teman makan, teman menunggu, teman mellow, teman berbagi cerita hidup, teman berbagi cerita fiks, dan teman lainnya, selengkap kamu.
San, I promise, in another life, I would stay and make you stay. Iya, seperti lagu The One That Got Away yang selalu mengalun bila aku ingin mengenangmu.
With smile,
Fin
P.S.: Gedung tempat aku dan kamu melihat senja terapik sudah beralih fungsi. Tepatnya, sudah bukan milik salah satu lembaga belajar lagi. Time flies and I can't... believe it.
Jakarta, 5 Januari 2019
It's been a year..
Happy New Year for you, San!
And..
It's been 3 years 1 month.. Kamu benar-benar menghilang dari duniaku.
Yeah, melanjutkan hidup, memang. Menjalani hidup yang sebenar-benarnya. Tapi, San, apakah kita tidak benar adanya? Bahkan, Bandung dan Yogyakarta sangat nyata dan benar adanya.
Anyway, tadi malam kamu mampir, ya? Iya, ke mimpiku. Aku dan kamu bertemu di stasiun yang tidak aku kenal. Tangga megah berdiri sangat kokoh dan spot-spot artistik disetiap sudut ruangnya. Kamu masih dengan senyum dan tatapan yang sama, yang berbeda hanya model kacamata yang kamu gunakan. Kamu tidak percaya aku ada di kota yang sama denganmu. Sungguh, aku tidak tau di kota mana kita bertemu, I have no idea, like I have no idea too untuk aku dan kamu, apakah akan bertemu kembali? After.. Eerr.. 4 or 5 years?
San, aku selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa aku dan kamu menjadi seperti ini? Menjadi orang asing, ketika dunia sedang keras-kerasnya. Menjadi bertolak belakang, ketika keadaan mengatakan sebaliknya.
Aku selalu berandai-andai, jika saja saat itu aku tidak terbawa arus hubungan yang tidak sehat.
Andai saja saat itu aku tetap pada pendirianku dengan mimpi di universitas yang sama dan jurusan yang aku idam-idamkan.
Andai saja saat itu aku cepat menangkap dan merasakan sesuatu yang terjadi diantara kita.
Andai saja saat itu aku tetap berjuang.
Andai saja saat itu aku tidak bertindak bodoh.
Andai saja...
Sulit sekali, ya, untuk tidak berandai-andai.
Kamu tau hal tersulit dari semua ini?
Menemukan teman berbicara, teman diskusi, teman bermain, teman makan, teman menunggu, teman mellow, teman berbagi cerita hidup, teman berbagi cerita fiks, dan teman lainnya, selengkap kamu.
San, I promise, in another life, I would stay and make you stay. Iya, seperti lagu The One That Got Away yang selalu mengalun bila aku ingin mengenangmu.
With smile,
Fin
P.S.: Gedung tempat aku dan kamu melihat senja terapik sudah beralih fungsi. Tepatnya, sudah bukan milik salah satu lembaga belajar lagi. Time flies and I can't... believe it.
Jakarta, 5 Januari 2019
Langganan:
Postingan (Atom)