“Minggu depan, kita jadi nonton Kahitna, kan? Aku enggak
sabar, deh. Kapan lagi kamu mau diajak nonton, ya, kan?”
Aku. Seperti biasa, heboh membicarakan setiap janji-janji
pertemuan kita.
Kamu. Seperti biasa, hanya mengangguk-angguk pasrah. Terkesan
tidak antusias. Atau memang tidak, ya? Ah, kamu hanya tidak ekspresif saja.
Iya, aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri.
“Mau beli minum? Aku haus.” tanyamu tiba-tiba, dan
dilanjut dengan menggandeng tanganku menuju sebuah restoran cepat saji. Pasti mau beli soft drink, deh, ucapku dalam
hati.
“Mbak, soft drink
dua, ya. Dine in.” katamu tanpa
bertanya kepadaku. Aku tersenyum, kemudian mengedarkan pandangan ke penjuru
restoran. Ada meja kosong dekat dengan jendela. Aku berjalan menuju meja
tersebut dan disusul olehmu.
“Gimana dinasnya? Ada cerita apa?” pancingku, dan
mengalir cerita darimu. Mata dan kedua tanganmu asyik bermain. Seolah-olah
memperagakan setiap kejadian yang kamu temui. Aku tidak bisa fokus pada setiap
ceritamu. Aku terlalu hanyut dalam indah matamu. Dalam tulus senyummu setiap kamu menemui sesuatu yang menyentuh hati. Dalam renyah tawamu ketika
hal-hal itu membuatmu terbahak. Aku selalu menyukai setiap hal yang kamu lakukan. Termasuk kehabisan napas setelah bercerita panjang kali lebar.
“Jadi, gitu. Seru, kan? Aku suka banget kalau harus dinas
lagi ke sana!” kedua ujung bibirmu mengangkat. Menampilkan deretan gigi yang
tidak rata, tapi memesona.
“Aku suka deh, kalau liat dan dengerin kamu cerita. Kamu
jadi ada jiwanya, lagi.” ucapku spontan. Sudah dapat dipastikan, wajahku merah
semerah udah rebus. Kamu hanya tersenyum. Kemudian, handphone-mu bergetar,
tanda pesan masuk.
Bang,
besok pagi jadi, kan?
Satu baris pesan yang membuat kami sama-sama termangu.
Bukan karena isi pesannya, tetapi karena nama si pengirim. Aku tidak dapat
mengalihkan pandanganku. Aku tidak berani menatapmu, yang sepertinya sedang
menatapku. Aku tidak dapat menggerakan bibirku. Aku tidak dapat berpikir.
“Kha?”
Kamu memanggilku dengan pelan. Perlahan tapi pasti, aku
membuang wajahku. Tepat saat satu bulir air mata jatuh. Secepat kilat aku
menghapus. Berharap kamu tidak tau, yang berarti sangat mustahil. Kamu pasti
tau.
“Kha, maaf.”
“Enggak perlu minta maaf, kok. Aku juga udah tau
semuanya.” ucapku akhirnya. Aku memberanikan diri untuk balas menatapnya dan
menjelaskan maksud perkataanku.
“Jadi, bagaimana? Aku butuh penjelasan dan kejelasan.” Ucapku
begitu mendapatkan satu cangkir kopi dan meneguknya hingga setengah gelas.
Untuk menghadapi kenyataan pahit yang akan datang, memang butuh asupan yang
juga pahit. Walau tidak akan sepahit kenyataan.
“Iya, kami masih intens komunikasi. Kalau kami ada di
kota yang sama, kami saling berinisiatif untuk bertemu. Tanpa memberi tau kamu.
Dia pun setuju. Dia takut menyakitimu. Aku pun.”
“Sudah ku bilang, apapun itu, cerita dan beri tau aku.”
“Kenapa, Kha?”
“Karena agar aku tau, kapan aku harus mundur dan kapan
aku harus bertahan. Agar aku tau, sejauh mana rasa yang kamu miliki.”
“Kha, maaf.”
“Ada lagi?”
“Semua yang pernah kita masalahkan tahun lalu, masih
terjadi di tahun ini.”
“Termasuk berbicara via telepon? Sedangkan kita saja
jarang melakukannya.”
“Iya, Kha. Besok kami berjanji untuk hunting foto di
Bogor. Minggu depan dia mengajakku untuk menonton film keluaran DC terbaru.”
“Disaat aku merengek minta ditemani mencari buku ke Pasar
Senen besok dan merengek minta ditemani nonton Kahitna minggu depan. Sepertinya,
aku memang sudah tidak diinginkan lagi, ya, No?”
Kamu hanya tertunduk dan mengetuk meja dengan jemarimu.
Aku menyesap kopiku. Berusaha menyusun kembali serpihan hatiku yang berserakan.
Memandang ke luar jendela dan menarik napas dalam-dalam. Bagaimana jika
sebenarnya rasa yang kami miliki ini salah?
Perasaanku tak bisa dustai
Tak seperti dulu lagi
Aku tak mau terus begini
Bila kau tak lagi sungguh sungguh cinta aku
Lagu
Aku Punya Hati dari Kahitna mengalun pelan. Aku tersenyum. Bahkan, restoran ini
pun tau cerita yang sedang kami ukir saat ini, di sini. Aku harus menikmati
setiap momen sore ini.
“Mikha?” panggilmu.
“Aku harus apa, Kha?” tanyamu kembali. Aku mengerutkan
kening, sembari tersenyum. Iya, aku tersenyum. Aku selalu suka ekspresimu. Kamu
tau, kan? Ekspresi apa pun itu.
“Kenapa kamu tanya aku? Didalam hubungan ini, yang
memiliki pilihan itu kamu. Kamu yang ada aku dan ada dia. Jadi, siapa yang kamu
pilih?” tanyaku dengan tenang. Aku sudah pernah menanyakan ini tahun lalu. Aku
sudah pernah melewati kejadian ini denganmu. Tapi, sepertinya, yang ini tidak
akan berakhir baik. Aku tidak ingin kamu terjebak dengan rasa yang tidak kamu
inginkan.
“Pertanyaan yang sama, ya? Harus aku yang benar-benar
menjawab dan memutuskannya?”
“Iya. Kenapa? Kamu takut menyesal, No?”
Kamu terdiam. Kamu tidak menjawab hingga akhirnya aku
yang mencoba memberanikan diri membuka suara. Aku hanya berdoa, semoga ini yang
terbaik untukmu. Iya, untukmu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku tidak peduli
harus menghancurkan hatiku sendiri. Aku tidak peduli harus mengesampingkan
egoku seberapa jauh. Aku tidak peduli harus kehilangan seseorang, lagi.
“Kalau begitu, let
me do it. Aku yang mundur, No. Bukan karena aku tidak ingin berjuang
bersama lagi, tapi karena aku ingin kamu bersikap tegas dan menerima setiap
rasa yang datang kepadamu. Aku ingin kamu mendapatkan bahagiamu, No.”
“Bagaimana kalau aku tidak bahagia nantinya?”
“Itu sudah resiko. Coba lihat sekarang. Apa kamu masih
antusias dengan pertemuan-pertemuan kita? Apa kamu masih merasakan debar yang
sama saat kulit kita bersentuhan? Apa kamu masih menginginkan pelukanku?”
Kalimat terakhir adalah kalimat yang
sangat sulit untuk aku katakan. Kalimat yang sangat terdengar depresif? Yeah, that’s me!
“Maaf, Kha.”
Aku menunggumu melanjutkan perkataan
itu. Aku menunggumu meraih tanganku dan menolak pernyataan mundurku. Aku
memunggumu mengucapkan tiga kata yang sering kamu ucapkan.
“Kamu harus bahagia, Rino. Kamu
baik. Ibu kamu pasti senang kalau kamu membawa dia ke rumah. Aku sangat yakin
itu.”
Aku tidak bisa menghentikan laju air
mataku. Aku tidak ingin menahannya lagi. Aku ingin, sore ini, kamu melihatku
hancur sehancur-hancurnya. Aku ingin kamu melihat sisi lainku, yang sudah
sesayang-sayangnya kepadamu.
Aku tersenyum. Menyentuh kedua
tanganmu yang mengepal, dan menggenggamnya. Mata kami bertemu.
“Aku sayang kamu, Rino. Kamu juga
harus sayangi diri kamu, ya? Tinggalkan aku dan temui dia. Temui bahagiamu.
Paham?”
Kamu menggangguk. Memasukan dompet
dan handphone-mu ke dalam tas
kecilmu. Kamu menatapku. Sendu dan getir. Aku tidak perlu dikasihani, kau tau itu.
”Rino, salam buat Ibu, ya? Maaf sudah
menahan anaknya sampai sejauh ini.” kataku dengan nada yang kian melemah. Kamu
beranjak dari kursimu dan diam menatapku. Tak lama, kamu duduk kembali. Menatapku
sedalam-dalamnya. Aku terhanyut. Iya, masih tetap terhanyut dengan tatapanmu.
“Kamu tau, Kha? Aku sangat bersyukur
sudah berjalan sejauh ini denganmu. Aku banyak belajar. Kamu perempuan tangguh.
Kamu layak mendapatkan yang lebih baik.”
Setelah itu, kamu berdiri. Mengusap
puncak kepalaku dan mengecupnya. Kemudian, kamu membalikan badan dan berlalu.
Aku hanya dapat terdiam menyaksikan
semua ini berlalu bergitu cepat. Sangat cepat. Hingga air mataku pun
berusaha mengalahi kecepatan waktu yang terjadi. Deras sekali.
Sore ini, di salah satu meja dekat
jendela di restoran cepat saji, aku hancur. Isi kepalaku mendadak kosong. Aku
tidak dapat memikirkan apa pun. Aku hanya dapat berpikir dua hal.
Satu, sehancur apa pun hati ini, aku
sayang kamu.
Dua, setidaknya, aku sudah melakukan
yang terbaik.
Dan aku berdoa kepada Tuhan,
semoga
kamu benar-benar bahagia.
Aamiin.
Hadirnya tanya yang tak terjawab,
mampu menjatuhkanku yang dikira
tegar.
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi,
yang dulu kita ukir bersama.
Raisa
– Usai Disini
***
Cikarang,
3 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar