Sabtu, 27 Februari 2021

Satu Arah Dua Tujuan

 I love you but I am letting go

Berapa lama waktu yang dibutuhkan pikiran dan hati untuk mencerna sebuah kejadian? Mengapa semua terasa begitu lambat?

Ketukan pintu kamar menyadarkan Vira lamunannya. Alih-alih membukakan pintu atau menjawab ketukan, Vira semakin menenggelamkan diri didalam selimut dan membesarkan volume pada earphone-nya.

Little did I know, love is easy, but why was it so hard?

Vira memejamkan mata. Berusaha membangkitkan memori-memori yang seharusnya ia pupuk dalam-dalam. Dipelupuk matanya sudah terbentuk bulir-bulir yang menunggu waktu untuk dapat menyentuh pipi. Lagi-lagi, Vira menangis hingga terlelap.

***

Tok tok tok

"Vir, kamu beneran belum bangun? Vir?" Tok tok tok

"Udah, kok, Ma. Mau tiduran aja."

"Ini udah ada yang nunggu. Kasian loh, pagi-pagi udah dateng ke sini."

Vira langsung loncat dari tempat tidur dan melihat jam dinding. Pukul 8 pagi dan siapa yang berani ganggu Minggu pagi gue? Katanya dalam hati sembari memilih baju yang sedikit layak untuk dilihat orang lain. Sebelum masuk kamar mandi, Vira bertanya sedikit membisik siapa yang datang ke mama. Mama hanya tersenyum dan Vira semakin cemberut. Firasatnya semakin menjadi-jadi. 

Dan ternyata benar, ia yang sedang menunggu di rumah tamu adalah orang yang paling tidak ia harapkan di dunia ini.

"Kita ngobrol di luar aja, ya. Sekalian cari sarapan." Ucap Vira tanpa sapaan pembuka. Alih-alih menjawab, lelaki yang sedari tadi hanya menunduk, langsung berdiri dan dengan sigap mengambil tas dan memakai sepatu. Vira sudah berjalan menjauhi pagar rumah. Langkahnya sangat cepat, tanda bahwa ia sedang marah.

"Vir, kita enggak bisa jalan pelan-pelan, ya? Kita mau ke mana, sih?"

"McDonald's."

"Kenapa jalan kaki, sih? Kan, kita bisa naik motor atau mobil."

Vira hanya diam dan semakin mempercepat langkahnya. Dalam hatinya, Vira takut, jika harus didalam satu ruangan yang hanya mereka berdua. Vira takut pertahanannya melemah.

"Aku yang pesenin aja, Vir. Kamu duduk aja."

"Enggak perlu, gue bisa sendiri."

***

Mata lelaki itu tidak bisa lepas dari kesibukan yang Vira buat-buat. Ada sesuatu yang menusuk di hati lelaki itu, dalam sekali. Ia tidak pernah merasakan sakit yang terlalu, seperti saat ini. Ia mengerti, rasa ini tidak akan sebanding dengan rasa sakit yang telah ia berikan kepada perempuan berambut hitam legam yang sedang dikuncir kuda didepannya ini. Untuk saat ini, yang ia inginkan hanya menaruh tangan kanannya diatas kepala perempuan itu dan mengacak-acak rambutnya, agar Vira tersenyum. Tapi, itu tidak akan bisa ia lakukan.

"Kalau tujuan lo ke sini cuma buat ngeliatin gue doang, mending lo pulang sekarang."

"Aku.. Aku cuma mau minta maaf, Vir."

Vira kembali mengaduk-aduk kopi didepannya, tidak berminat untuk menatap lawan bicaranya, walau ia tau kedua mata yang meneduhkan hatinya itu sedang menatapnya dalam-dalam. Vira takut terhanyut didalamnya. Untuk kesekian kalinya.

"Aku tau semua enggak akan pernah sama lagi. Aku juga tau akan susah buat ambil hati kamu lagi, tapi tolong, maafin aku, Vir."

Vira menahan bibirnya untuk berbicara, lo salah, hati gue masih ada sama lo, jadi enggak ada yang perlu lo ambil, lo salah, katanya dalam hati. Vira tidak akan mengutarakan apapun yang akan membuatnya jatuh ke dalam lubang yang sama lagi. Setidaknya, untuk hari ini dan dalam waktu dekat. 

"Mungkin enggak usah dimaafin sekarang, gapapa. Maafinnya bisa besok atau lusa atau minggu depan, tapi yang jelas, tolong dimaafin, ya, Vir?" 

Ia meraih dagu Vira agar Vira menatap matanya. Dua pasang mata yang sama-sama menyiratkan rasa sayang dan rasa sakit yang bersamaan. Dua pasang mata yang sama-sama tidak ada yang ingin saling mememutuskan tatapan tersebut. Bagi Vira, jatuh ke dalam tatapan mata lelaki didepannya ini adalah hal menyenangkan. Jika ini dalam kondisi baik-baik saja, ia akan sangat senang dengan moment ini, ia akan senyum-senyum sembari menatap lebih dalam lagi. Unfortunately, ini bukan kondisi yang ia inginkan. Dalam waktu yang sengat cepat, ia akan kehilangan tatapan yang ia sukai itu. Cepat atau lambat, tatapan tersebut akan menjadi miliki perempuan lain yang ia tidak pernah tau siapa dan seperti apa. Semoga perempuan itu adalah perempuan yang membuat kamu cukup, katanya didalam hati, untuk beribu kalinya.

"Iya, gue maafin dan akan mencoba ikhlas. Lo gausah khawatir, lo tau kan, untuk soal memaafkan gue sangat cepat, tapi enggak untuk mengikhlaskan dan menerima kembali. Maaf.."

"Aku masih boleh ketemu kamu?"

"Untuk berteman dan bergaul dengan teman-teman yang lain, seperti biasa? Tentu bisa."

Ia menggenggam kedua tangan Vira. Menyimpan tangan kecilnya kedalam tangannya yang besar. 

"Vir, kalau kamu butuh bantuan atau apapun itu, kamu bisa kabarin aku."

"Emang cewek lo gak akan marah?"

"Vir..."

"Iya, okay." Vira menarik kembali tangannya. Hatinya masih membara. Memaafkan memang mudah, tapi mengetahui lelaki yang kamu sayangi bersama perempuan lain? Sulit sekali menerima kenyataan itu.

"Aku pesenin kamu ojek online, ya? Biar kamu enggak usah jalan kaki ke rumah."

"Gausah, gue mau jalan aja."

"Nanti kamu capek."

"Lo udah kenal gue berapa tahun, sih?"

Lelaki tersebut menelan ludah. Ia tau jika Vira memang keras kepala, tapi ia melupakan fakta bahwa Vira menyukai jalan kaki dan menikmati waktu-waktu sendirinya, terutama di kondisi seperti ini.

"Lo aja sana pesen ojek online. Gue tau lo gak bisa jalan kaki terlalu jauh."

"Tapi motor aku di rumah kamu."

"Ya lo pesennya ke rumah gue lah."

"Enggak, aku ikut kamu jalan kaki aja."

Vira menatapnya tajam. Lagi-lagi, lelaki itu sadar, bahwa ia tidak cukup mengenal perempuan yang sangat mengenalnya ini.

"Iya, iya, aku jalannya dibelakang kamu."

"Okay, yuk." Vira berdiri sambil menjulurkan tangannya.

"Dalam rangka apa?" Tanya lelaki tersebut sembari menyusul berdiri dan menyambut uluran tangan Vira.

"Kita berteman?" Vira tersenyum. Tidak lepas memang, tetapi didalam hatinya, seperti ada sesuatu yang lepas. Lega sekali.

Lelaki tersebut balas tersenyum dan mengayunkan jabat tangan mereka, "Iya, teman."

Vira berjalan lebih dulu, ia membiarkan lelaki itu tertinggal dibelakangnya. Ia sudah pernah bilang berkali-kali bahwa ia sangat menyukai jalan kaki dan menikmati waktu-waktu tersebut. Jadi jangan salahkan Vira, jika ia meninggalkan lelaki tersebut. Tapi Vira tau, mata lelaki tersebut tidak pernah lepas dari punggungnya. 

Semoga perempuan itu adalah perempuan yang bisa membuat kamu merasa cukup. Cukup hanya memiliki satu. Semoga perempuan yang beruntung itu bisa menyayangi kamu sebaik aku menyayangi kamu, bahkan lebih dari aku. Semoga kamu tidak akan membuat banyak hati terluka lagi, cukup berhenti di aku, ya? 

Ucap Vira dalam hati dan diikuti dengan tetesan air dari ujung matanya. Vira berjalan dalam derasnya air mata yang mengalir. Ia tersenyum, ternyata rasa sakit yang ia rasakan bisa menemukan rasa lega diantaranya. Langkah mereka mungkin bersisian dan satu arah, tetapi tujuan mereka tidak lagi sama. Setelah ini, Vira akan terus melanjutkan hidupnya, dengan harapan tidak terlalu terseok-seok, dan lelaki tersebut akan pulang ke tempat yang mungkin ia anggap rumah. 

Satu hal yang tidak Vira sampaikan, ia masih menyayangi lelaki tersebut seperti semua baik-baik saja.


But now I'll go
Sit on the floor wearing your clothes
All that I know is I don't know
How to be something you miss
I never thought we'd have a last kiss
Never imagined we'd end like this
Your name, forever the name on my lips

Last Kiss - Taylor Swift


***

Jakarta, 27 Februari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar