Minggu, 07 Agustus 2016

[Bukan Fiksi 2] Berawal dari Uno

Saya ingin bertanya.
Tetapi sebelumnya, tolong jangan libatkan konteks agama kedalam pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bukan, bukan berarti tidak ingin menaati apa yang diajarkan agama, tetapi hanya ingin tau jawaban diluar konteks agama.
Jadi,
Sebenarnya, apa yang Anda cari dari hidup?
Sebenarnya, apa yang Anda lakukan untuk hidup?
Sebenarnya, apa yang akan Anda tuju dari hidup?

Malam ini saya bermain kartu uno bersama teman-teman saya. Tiba-tiba saja terlintas dalam benak saya berbagai macam pertanyaan. Mungkin dipicu dari aturan permainan tersebut bahwa yang kalah harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berupa pilihan yang harus dijawab secara cepat. Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya dipicu dari salah satu teman saya yang bertanya kepada saya untuk memilih antara menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir. Dengan cepat saya menjawab wanita karir dan teman saya kaget atas jawaban saya. Saya berpikir kenapa ia harus kaget. Daridulu memang orientasi saya adalah berkarir, berkarya, entah apapun itu bentuknya nanti. Kemudian pertanyaan selanjutnya datang dari teman dekat saya dengan mengharuskan saya menjawab pertanyaan yang menurut saya itu cukup sulit: memilih antara menikah dengan lelaki yang dicintai tetapi mengharuskan saya menjadi ibu rumah tangga atau menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai tetapi bisa berkarir sebebas yang saya mau. Saya butuh waktu lebih lama. Dan jujur saja, saya nervous bukan main. Iya, saya tau ini hanya sebuah hukuman dari sebuah permainan iseng dari anak-anak yang gabut, tetapi dampaknya? Tidak main-main sama sekali. Dari jawaban yang saya jawab, saya berpikir kembali. Benarkah jawaban itu yang saya inginkan pada kehidupan saya nantinya? Saya seperti merasa kehilangan diri saya yang dulu. Saya seperti merasa ada sesuatu yang benar-benar mengusik saya. Yang saya tau, itu bukan saya.

Setelah itu, berbagai macam pertanyaan menghantui kepala saya. Beribu alasan dan sangkalan dilayangkan logika dan hati yang saling tolak-menolak. Saya merasa tidak bisa mengendalikan keduanya. Hingga pada akhirnya, saya membeli kopi dan mencoba merangkai berbagai kemungkinan-kemungkinan beserta alasan yang mungkin masuk akal dan hati.

Pertama-tama, saya sangat menomor satukan passion dan cita-cita dari pada cinta. Saya akan berjuang apapun demi cita-cita saya. Mengapa? Bagi saya, menggapai cita-cita adalah cara saya bertanggungjawab dan menyampaikan rasa terima kasih saya kepada keluarga saya; orang-orang yang saya cintai. Kedua, bagi saya, home is everything. Sepenting apapun "pulang" dan rumah, tetap saja harus membuahkan hasil untuk dibawa. Dan hasil yang saya maksud adalah mendapatkan cita-cita. Bagaimana bila saya menemukan tempat pulang lain atau rumah lain selain keluarga saya yang sekarang, seorang lelaki contohnya? Sama saja. Perlakuan saya tidak akan berubah. Jika ia tempat saya pulang, home is everything.

Jadi, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ialah:

1. Bila saya memilih menikah dengan orang yang saya cinta tetapi saya harus menjadi ibu rumah tangga. Saya tidak akan benar-benar berguna. Saya tidak bisa memasak. Bagi beberapa lelaki, itu fatal. Bila ini terjadi, saya hanya akan merepotkan mereka dalam hal makanan. Diluar dari itu, saya tidak yakin bisa menikmati hidup bila keseharian saya selalu diliputi rasa bersalah. Karena, sudah tidak bisa memasak, saya tidak menghasil pemasukan untuk keluarga pula. Walau didalam hal lain saya masih bisa diandalkan, tetapi rasa bersalah akan terus menghantui saya.

2. Bila saya memilih menikah dengan orang yang tidak saya cintai tetapi saya diperbolehkan berkarir sebebas yang saya mau. Setidaknya rasa bersalah saya akan sedikit lebih kecil dari pada yang diatas. Karena apa? Setidaknya saya dapat menghasilkan sesuatu. Saya tidak bisa memasak, saya tidak keberatan uang hasil dari karir saya digunakan untuk membayar jasa seorang asisten rumah tangga untuk memasak, atau digunakan untuk membeli masakan sehari-hari, entah dalam bentuk matang ataupun mentah. Setidaknya, saya telah membayar dari apa yang tidak bisa saya beri. Setidaknya saya telah menggantinya. Iya, memang, tidak semua hal dapat diganti dengan uang. Tetapi, ah, setidaknya saya dapat menawarkan pilihan lain. Hal lainnya, saya mungkin akan berjanji untuk menjaga anak sebaik mungkin dan menjadi ibu yang bertanggungjawab, tetapi saya tidak dapat berjanji akan menjadi istri yang baik. Menumbuhkan benih cinta itu sangat lah sulit, bagi saya. Hal abstrak yang tidak bisa diinterpretasikan seperti cinta itu sangat-sangat sulit untuk saya terima.

Itu hanya sebgaian kecil yang dapat saya tuangkan dalam kata-kata, selebihnya hanya dapat saya pikirkan sendiri. Saya tidak cukup percaya diri dan percaya kepada orang lain untuk menuangkan semua ini.

Salah satu pertanyaan lainnya adalah bagaimana bila nanti hidup yang akan saya jalani bukan passion saya? Bagaimana bila itu justru hal yang tidak pernah saya bayangkan akan menjadi bagian dari hidup saya? Apakah saya akan bertahan dengan hal tersebut? Apakah saya akan bertahan dengan hidup yang saya jalani? Atau bahkan saya menyerah dengan mengikuti arus yang ada?

Didalam pikiran, hidup memang rumit. Didepan mata, hidup itu sederhana. Didengar telinga, hidup itu menyenangkan. Diucap mulut, hidup itu selaw. Karena itu, saya sangat menyukai bengong. Kala dimana pikiran, mata, telinga, dan mulut saya dipaksa untuk kosong.

Bagi saya, hidup tidak akan pernah mudah, tetapi tidak akan pernah sulit. Saya hanya suka memperdebatkan hal tersebut. Saya suka mendengar berbagai presepsi dan pandangan orang-orang mengenai hidup. Saya suka memandang hidup dengan rumit. 

Karena apa? Hidup saya tidak akan pernah indah nantinya. Saya dapat pastikan ini. :")



***
00.45 - 7 Agustus 2016

3 komentar:

  1. ANJIRRRR GAK BISA MASAK BUKKKKK

    BalasHapus
  2. Masih kecil udah ngomonginnya pernikahan ya.

    BalasHapus