Minggu, 02 Agustus 2015

Yogyakarta

Stasiun Gambir, 23:00 - 25 Juli 2015

“Kereta lo jam berapa sih, Ra? Lama bener.”

“Setengah jam lagi, hehe. Lo duluan juga gapapa kok, Mir.”

“Ah lo tuh ya, kenapa dadakan banget sih ke Yogya-nya?”

Malam minggu kali ini, Mira, sahabatku mengantarku ke Stasiun Gambir karena aku ingin pulang ke kampung halamanku, Yogyakarta. Sebenarnya, Yogya bukanlah kampung halamanku yang sesungguhnya. Aku menyebutnya kampung halamanku karena semua langkahku berawal dari kota itu. Sejak pertama aku menapakkan kaki di dunia hingga berulangtahun ke-17. Hingga sampai pada saatnya aku harus kuliah dan bekerja di Jakarta karena tuntutan orang tua.

“Eh, Ra! Kok lo bengong sih? Jawab dong pertanyaan gue, kenapa dadakan banget ke Yogya-nya? Gak biasanya lo kayak gini.”

“Pengin ke sana aja, hehe. Butuh udara segar.”

Dan pergi dari kenyataan. Tentu saja yang ini aku ucapkan dalam hati.

“Lo mau menghindar dari Fahril, ya? Ya, kan, Ra? Ngaku deh lo sama gue!”

“Kenapa lagi sih lo sama dia? Bukannya kalian udah baikkan ya kemarin? Heran deh gue sama lo, udah punya cowok kece abis macam Fahril tapi tetep aja cuek-cuek bebek. Lo harusnya bersyukur, Ra.”

“Menurut gue, coba deh lo terima perhatian dan kasih sayang dia. Terima juga kekurangan dia yang suka main mata itu. Namanya juga cowok, wajarkan?”

Aku biarkan semua perkataan-perkataan Mira menyesaki pikiranku. Aku biarkan semua mengambang tak terjawab. Saat ini, aku hanya butuh kota Yogya beserta isinya. Iya, ‘isinya’.

***

Malioboro, 17.00 – 27 Juli 2015

Sejuknya udara sore kota Yogya mengajakku untuk terus menyusuri jalan Malioboro ini. Sudah genap tiga tahun aku tidak pulang ke kota nan indah ini. Sore ini, aku tidak berhenti tersenyum. Kurasa, setiap orang disepanjang jalan ini pun begitu. Mereka selalu tersenyum, menawarkan keramahan yang tak ada tandingannya. Para penjual dan pembeli yang sedang tawar-menawar, para musisi jalanan yang tak henti-hentinya bersenandung walaupun uang receh sudah mereka terima, para tukang becak yang tak lelah menawarkan tumpangan, dan para pedangan makanan lesehan yang menggoda perut dikiri jalan.

Aku terus berjalan sambil mengingat-ingat setiap kejadian yang terjadi disetiap sudut jalan ini. Memori-memori itu tersimpan sempurna disalah satu bagian otakku. Tentang apa yang terjadi didepan plang jalan Malioboro. Tentang apa yang terjadi didepan masjid sebelah gedung DPRD. Tentang apa yang terjadi didepan Mall Malioboro. Tentang apa yang terjadi didepan Museum Benteng Vredeburg. Tentang apa yang terjadi di halaman sekitar Monumen SO 1 Maret. Dan semua itu tidak jauh-jauh dari kamu, Leo.

Aku tidak ingat bagaimana persisnya obrolan awal kita beberapa menit yang lalu, karena aku sibuk terpesona akan kehadiranmu. Aku tidak ingat apa yang aku dan kamu katakan sampai akhirnya membawa kita pada rumput hijau dibelakang Monumen SO 1 Maret ini. Kamu asyik bercerita dan yang aku lakukan hanya mendengarkan sambil diam-diam mengagumimu, seperti yang kulakukan beberapa tahun lalu. Hingga pertanyaanmu menyadarkanku.

“Aku lupa deh kapan kita terakhir ngobrol kayak gini. Rasanya kayak udah lama banget.” Ucapmu dengan entengnya sambil menengadah ke langit sore yang sangat sangat indah. Indah seperti perasaanku saat ini. Saat sedang bersamamu.

“Tujuh tahun lalu sebelum aku pindah ke Jakarta.” Aku tidak yakin kamu benar-benar membutuhkan jawabku yang satu ini.

“Oiya ya! Yaampun lama banget ya. Tapi, aku ngerasanya udah kayak puluhan tahun deh. Ra, kamu kenapa gak tinggal di sini lagi aja sih? Kalau kamu tinggal di sini lagi, aku juga pindah ke sini lagi deh!”

“Lho emang kamu sekarang tinggal di mana? Kok gak cerita sih?”

“Hahaha gimana mau cerita, wong kamu dihubungi aja ndak  bisa. Aku pindah ke Bali beberapa bulan setelah kamu pindah, Ra.” Matamu, oh no! Kenapa kamu menatapku seperti ini, Leo? Ingin membuatku semakin terperangkap, hem?

“Kenapa?” Tanyaku sambil menelan ludah dengan susah payah.

“Karena Yogya tanpamu bukan lah Yogya yang seru dan indah lagi. Sejak kamu pindah, semuanya sepi. Aku enggak menemukan lagi keseruan di sini.” Hei! Bukannya harusnya aku yang mengatakan seperti itu? Bukannya aku yang harusnya mengatakan itu ke kamu? Duniaku tanpamu, Leo, sepi dan tidak indah. Sangat sangat tidak indah.

“Kamu kenapa sih, Ra?” Tanyamu dengan tatapan menuntut.

“Kenapa apanya?” Aku butuh air dingin saat ini. Sungguh.

“Kamu kayak menghindari aku. Padahal dulu, kamu sendiri yang bilang kalau kita jangan sampai lost contact. Bikin aku pusing sendiri tau gak, Ra.” Katamu sambil mengacak-acak rambut tebalmu itu hingga membuat kacamatamu sedikit goyang. Kamu benar-benar terlihat frustasi, huh? Atau ini perasaanku saja?

“Kapan aku bilang begitu?”

“Waktu kita umur 10 tahun. Di sini juga. Sore hari juga. Kamu yakin lupa? Biasanya kamu yang paling ingat semua hal-hal tentang kita.”

Aku.. Aku tidak tau harus berkata apa. Leo benar-benar ingat. Aku hanya bisa diam sambil memandangi orang-orang yang sedang bermain skateboard. Aku selalu berpikir kalau kamu tidak akan mengingat hal-hal kecil tentang kita. Hal-hal penting tentang dirimu sendiri saja lupa, bagaimana tentang kita?

Semua pembicaraan kita membuat perasaanku semakin tidak karuan, walau terselip rasa nyaman dan tenang. Aku pulang ke Yogya memang untuk mencari ketenangan dan kenyamanan, dan salah satunnya ada pada dirimu. Tetapi, aku tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Mungkin tidak bagimu, tapi iya bagiku. Kamu membuat perasaan dan pikiranku semakin rumit. Terlalu banyak pertanyaan yang membutuhkan penjelasan. Terlalu banyak rasa yang membutuhkan pembalasan. Usahaku selama tujuh tahun ini yang kurasa cukup ternyata... Tidak.

“Trus, kenapa kamu sekarang bisa di Yogya, Leo?”

“Enggak tau, akhir-akhir ini aku kangen Yogya. Jadi, tiga hari lalu aku memutuskan untuk ke sini. Eh, ternyata kamu juga di sini. Kebetulan bangetkan, Ra?” Senyummu tetap menghiasi bibirmu yang bercampur asap. Batang kelima untuk kurun waktu dua jam ini, sebanyak itu kah kamu merokok?

Hem, teori kebetulan, Leo? Kebetulan Indonesia merdeka? Benteng Vredeburg dibangun di Yogya? Kebetulan orang tua kita berteman akrab? Kebetulan aku dan kamu bertetangga saat kita kecil? Kebetulan kita masuk di SD, SMP dan SMA favorit yang sama? Dan kebetulan kita bertemu lagi di sini? Di Yogyakarta ini? Tidak masuk akal. Kamu tau betul kalau aku sangat menentang teori kebetulan, bukan?

“Kamu di sini sampai kapan?”

“Sampai kamu pulang ke Jakarta, Ra. Aku mau habisin waktu sama kamu selagi ada kesempatan. Gapapa, kan?” Tanyamu sambil menyentuh jari-jari tanganku. Seperti dulu, ketika kamu sedang memohon sesuatu kepadaku. Bila kamu sudah melalukan ini dan ditambah menunjukkan binar mata memohon, aku tidak akan sanggup menolak. Dan, yap, seperti dulu, aku tidak bisa menolak.

“Kenapa kamu ke Yogya, Ra? Ada pekerjaan?”

“Enggak kok, cuma kangen aja. Jakarta terlalu keras buat berpikir jernih.”

Dan terlalu keras untuk menyembuhkan luka hati. Imbuhku dalam hati.

“Kayak bukan kamu deh, Ra. Pasti kamu ada masalah, yakan? Kamu bisa kok cerita ke aku, kayak dulu.” Kayak dulu. Aku mengikuti dua kata terakhirmu. Terasa sekali luka hati yang telah lama kering yang ternyata tidak benar-benar kering. Entah ini benar-benar hanya lukaku saja atau ada lukamu? Benarkah kamu juga terluka?

Leo, dari dulu aku yang selalu bercerita tentang semua masalahku dari mulai masalah keluarga hingga masalah cita-cita, dari masalah kecil hingga masalah besar. Begitu pula denganmu. Tetapi, kenapa dari semua masalah yang kita bagi, tidak pernah ada masalah tentang cinta? Memang benar tidak ada masalah cinta dikehidupan kita ataukah memang kita saling menyembunyikan masalah cinta kita masing-masing?

Bila kamu ingin tau masalah cintaku, Leo. Namamu lah yang akan selalu aku sebut. Kamu akan selalu mendengar namamu sendiri bila aku sedang bercerita tentang masalah cinta. Tidak pernah ada nama lain sampai aku pindah ke Jakarta dan ada seseorang datang merusak apa arti cinta itu sendiri. Ia merusak cintaku kepadamu, Leo. Ia merusak arti cinta bagiku. Ia merusak filosofiku. Aku sakit karena dia, dan juga karenamu. Tapi, pada akhirnya aku menyerah dengan menerima dia sebagai kekasihku. Ia adalah Fahril. Kukira dengan bersamanya, bayanganmu akan hilang dengan sendirinya. Tetapi ternyata, tidak semudah itu. Tidak mudah menghilangkan bayanganmu. Tidak mudah untuk melangkah dari hatimu, Leo. Sampai pada waktunya, aku merasa benar-benar lelah. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku tidak bisa merasakan perasaanku sendiri. Aku merasa seperti mencintai keduanya, kamu dan Fahril. Aku benar-benar tidak bisa mendeteksi perasaanku.

***

Bandara Adisucipto, 06:30 – 1 Agustus 2015

“Arghh, kenapa sih jam terbangku duluan dari pada jam kereta kamu, aarghh.” Keluhmu sambil mengacak-aack rambutmu yang sudah rapi. Aku hanya tertawa menanggapi ulah kekanak-kanakanmu itu.

“Dari pada kamu besok kamu telat? Bukannya kamu harus foto prewed?”

“Ah, iya. Aku masih gak nyangka deh harus nikah secepat ini. Rasanya masih mau main-main pasir atau panjat pohon sama kamu, Ra, hehe.”

Iya, aku juga tidak menyangka kamu akan secepat ini ‘meninggalkanku’. Aku senang? Tentu aku senang, melihatmu tersenyum bahagia seperti itu. Aku sedih? Tentu aku sedih. Bagaimana tidak? Aku mencintaimu terlalu lama dan dalam. Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Tidak ada selain berdoa kepada Tuhan agar kamu benar-benar diberi kebahagiaan dan aku benar-benar dikuatkan untuk melewati semua ini.

“Ra? Kamu kok bengong? Lho, kamu kenapa nangis?” Iya, aku memang bodoh. Tidak bisa menahan air mataku. Benar-benar bodoh.

“Kamu kenapa? Jangan sedih dong. Kita kan masih bisa ketemu dan ngobrol lagi. Toh dua bulan lagi kita ketemu di acara pernikahanku, kan?” Katamu sambil mengusap butir-butir air mata yang jatuh di pipiku. Aku tersenyum. Senyum yang sangat susah untuk aku lakukan.

“Nah, gitu dong, senyum. Kan jadi enak diliatnya. Aku suka banget deh Ra ngeliat kamu senyum gitu.” Katamu sambil terus megusap pipiku. Aku tetap mempertahankan senyumku sambil memejamkan mata. Merasakan sentuhanmu, merasakan kelembutan tanganmu, merasakan apa yang bisa aku rasakan saat ini. Tuhan, aku mohon, tolong hentikan waktu ini, sebentar saja.

“Ra, kamu mau janji sesuatu sama aku?”

“Janji apa?”

“Kamu harus selalu tersenyum, seberat apapun masalah kamu. Percaya deh, kalau senyum itu sedikit meringankan beban kamu. Oke, Ra?” Katamu sambil tersenyum tulus dan memegang kedua tanganku. Kamu, seperti biasa, terus tersenyum dan menungguku untuk mengatakan “oke” atau menganggukkan kepala.

“Oke, aku janji.”

“Yaudah, aku pergi dulu ya, Ra. Jaga dirimu baik-baik.” Kamu mengambil tas ranselmu dan mengangkatnya menuju pundakmu.

“Kamu hati-hati ya, Leo. Nanti sms aku kalau sudah sampai. Jangan sampai ada yang ketinggalan di pesawat lho nanti.”

“Iya. Oiya, Ra..”

“Ya, kenapa? Kamu mau aku peluk lagi? Atau kita harus ber-hivi kayak dulu?” Kataku sambil sedikit tertawa.

“Jangan lupa dengerin lagu yang barusan aku kirim ya.”

“Iya, Leo, kamu udah bilang ini ratusan kali. Hahahaha.” Leo memang selalu lucu.

“I will miss you, Lira” Katamu dengan muka serius.

“Heh? Hem, me too, Leo.” Tawaku berhenti.

“Bye, Ra!” Katamu kemudian sambil melambaikan tangan dan membalikkan badan.

And I love you, Leo. Always love you.

Dan aku membuka handphone untuk mendengarkan lagu yang kamu berikan. Terima kasih, Leo. Untuk lagu ini dan segala kenangan yang kamu buat untukku.

Yogyakarta – Kla Project

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Yogya

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu

Walau kini kau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati


***


23.05 – 1 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar