Stasiun Gambir, 23:00 - 25 Juli 2015
“Kereta lo jam berapa sih, Ra? Lama bener.”
“Setengah jam lagi, hehe. Lo duluan juga gapapa kok, Mir.”
“Ah lo tuh ya, kenapa dadakan banget sih ke Yogya-nya?”
Malam minggu kali ini, Mira, sahabatku mengantarku ke
Stasiun Gambir karena aku ingin pulang ke kampung halamanku, Yogyakarta.
Sebenarnya, Yogya bukanlah kampung halamanku yang sesungguhnya. Aku menyebutnya
kampung halamanku karena semua langkahku berawal dari kota itu. Sejak pertama
aku menapakkan kaki di dunia hingga berulangtahun ke-17. Hingga sampai pada
saatnya aku harus kuliah dan bekerja di Jakarta karena tuntutan orang tua.
“Eh, Ra! Kok lo bengong sih? Jawab dong pertanyaan gue,
kenapa dadakan banget ke Yogya-nya? Gak biasanya lo kayak gini.”
“Pengin ke sana aja, hehe. Butuh udara segar.”
Dan pergi dari
kenyataan. Tentu saja yang ini aku ucapkan dalam hati.
“Lo mau menghindar dari Fahril, ya? Ya, kan, Ra? Ngaku deh
lo sama gue!”
“Kenapa lagi sih lo sama dia? Bukannya kalian udah baikkan
ya kemarin? Heran deh gue sama lo, udah punya cowok kece abis macam Fahril tapi
tetep aja cuek-cuek bebek. Lo harusnya bersyukur, Ra.”
“Menurut gue, coba deh lo terima perhatian dan kasih sayang dia.
Terima juga kekurangan dia yang suka main mata itu. Namanya juga cowok,
wajarkan?”
Aku biarkan semua perkataan-perkataan Mira menyesaki
pikiranku. Aku biarkan semua mengambang tak terjawab. Saat ini, aku hanya butuh
kota Yogya beserta isinya. Iya, ‘isinya’.
***
Malioboro, 17.00 – 27 Juli 2015
Sejuknya udara sore kota Yogya mengajakku untuk terus
menyusuri jalan Malioboro ini. Sudah genap tiga tahun aku tidak pulang ke kota
nan indah ini. Sore ini, aku tidak berhenti tersenyum. Kurasa, setiap orang
disepanjang jalan ini pun begitu. Mereka selalu tersenyum, menawarkan keramahan
yang tak ada tandingannya. Para penjual dan pembeli yang sedang tawar-menawar,
para musisi jalanan yang tak henti-hentinya bersenandung walaupun uang receh
sudah mereka terima, para tukang becak yang tak lelah menawarkan tumpangan, dan
para pedangan makanan lesehan yang menggoda perut dikiri jalan.
Aku terus berjalan sambil mengingat-ingat setiap
kejadian yang terjadi disetiap sudut jalan ini. Memori-memori itu tersimpan
sempurna disalah satu bagian otakku. Tentang apa yang terjadi didepan plang
jalan Malioboro. Tentang apa yang terjadi didepan masjid sebelah gedung DPRD.
Tentang apa yang terjadi didepan Mall Malioboro. Tentang apa yang terjadi
didepan Museum Benteng Vredeburg. Tentang apa yang terjadi di halaman sekitar
Monumen SO 1 Maret. Dan semua itu tidak jauh-jauh dari kamu, Leo.
Aku tidak ingat bagaimana persisnya obrolan awal kita
beberapa menit yang lalu, karena aku sibuk terpesona akan kehadiranmu. Aku
tidak ingat apa yang aku dan kamu katakan sampai akhirnya membawa kita pada
rumput hijau dibelakang Monumen SO 1 Maret ini. Kamu asyik bercerita dan yang
aku lakukan hanya mendengarkan sambil diam-diam mengagumimu, seperti yang
kulakukan beberapa tahun lalu. Hingga pertanyaanmu menyadarkanku.
“Aku lupa deh kapan kita terakhir ngobrol kayak gini.
Rasanya kayak udah lama banget.” Ucapmu dengan entengnya sambil menengadah ke
langit sore yang sangat sangat indah. Indah seperti perasaanku saat ini. Saat sedang
bersamamu.
“Tujuh tahun lalu sebelum aku pindah ke Jakarta.” Aku tidak
yakin kamu benar-benar membutuhkan jawabku yang satu ini.
“Oiya ya! Yaampun lama banget ya. Tapi, aku ngerasanya udah
kayak puluhan tahun deh. Ra, kamu kenapa gak tinggal di sini lagi aja sih?
Kalau kamu tinggal di sini lagi, aku juga pindah ke sini lagi deh!”
“Lho emang kamu sekarang tinggal di mana? Kok gak cerita
sih?”
“Hahaha gimana mau cerita, wong kamu dihubungi aja ndak bisa. Aku pindah ke Bali beberapa bulan
setelah kamu pindah, Ra.” Matamu, oh no! Kenapa kamu menatapku seperti ini,
Leo? Ingin membuatku semakin terperangkap, hem?
“Kenapa?” Tanyaku sambil menelan ludah dengan susah payah.
“Karena Yogya tanpamu bukan lah Yogya yang seru dan indah
lagi. Sejak kamu pindah, semuanya sepi. Aku enggak menemukan lagi keseruan di
sini.” Hei! Bukannya harusnya aku yang mengatakan seperti itu? Bukannya aku yang
harusnya mengatakan itu ke kamu? Duniaku tanpamu, Leo, sepi dan tidak indah.
Sangat sangat tidak indah.
“Kamu kenapa sih, Ra?” Tanyamu dengan tatapan menuntut.
“Kenapa apanya?” Aku butuh air dingin saat ini. Sungguh.
“Kamu kayak menghindari aku. Padahal dulu, kamu sendiri yang
bilang kalau kita jangan sampai lost contact. Bikin aku pusing sendiri tau gak,
Ra.” Katamu sambil mengacak-acak rambut tebalmu itu hingga membuat kacamatamu
sedikit goyang. Kamu benar-benar terlihat frustasi, huh? Atau ini perasaanku
saja?
“Kapan aku bilang begitu?”
“Waktu kita umur 10 tahun. Di sini juga. Sore hari juga.
Kamu yakin lupa? Biasanya kamu yang paling ingat semua hal-hal tentang kita.”
Aku.. Aku tidak tau harus berkata apa. Leo benar-benar
ingat. Aku hanya bisa diam sambil memandangi orang-orang yang sedang bermain
skateboard. Aku selalu berpikir kalau kamu tidak akan mengingat hal-hal kecil
tentang kita. Hal-hal penting tentang dirimu sendiri saja lupa, bagaimana
tentang kita?
Semua pembicaraan kita membuat perasaanku semakin tidak
karuan, walau terselip rasa nyaman dan tenang. Aku pulang ke Yogya memang untuk
mencari ketenangan dan kenyamanan, dan salah satunnya ada pada dirimu. Tetapi,
aku tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Mungkin tidak bagimu, tapi iya
bagiku. Kamu membuat perasaan dan pikiranku semakin rumit. Terlalu banyak
pertanyaan yang membutuhkan penjelasan. Terlalu banyak rasa yang membutuhkan
pembalasan. Usahaku selama tujuh tahun ini yang kurasa cukup ternyata... Tidak.
“Trus, kenapa kamu sekarang bisa di Yogya, Leo?”
“Enggak tau, akhir-akhir ini aku kangen Yogya. Jadi, tiga
hari lalu aku memutuskan untuk ke sini. Eh, ternyata kamu juga di sini.
Kebetulan bangetkan, Ra?” Senyummu tetap menghiasi bibirmu yang bercampur asap. Batang kelima untuk kurun waktu dua jam ini, sebanyak itu kah kamu merokok?
Hem, teori kebetulan, Leo? Kebetulan Indonesia merdeka? Benteng
Vredeburg dibangun di Yogya? Kebetulan orang tua kita berteman akrab? Kebetulan
aku dan kamu bertetangga saat kita kecil? Kebetulan kita masuk di SD, SMP dan
SMA favorit yang sama? Dan kebetulan kita bertemu lagi di sini? Di Yogyakarta
ini? Tidak masuk akal. Kamu tau betul kalau aku sangat menentang teori kebetulan,
bukan?
“Kamu di sini sampai kapan?”
“Sampai kamu pulang ke Jakarta, Ra. Aku mau habisin waktu
sama kamu selagi ada kesempatan. Gapapa, kan?” Tanyamu sambil menyentuh
jari-jari tanganku. Seperti dulu, ketika kamu sedang memohon sesuatu kepadaku. Bila
kamu sudah melalukan ini dan ditambah menunjukkan binar mata memohon, aku tidak
akan sanggup menolak. Dan, yap, seperti dulu, aku tidak bisa menolak.
“Kenapa kamu ke Yogya, Ra? Ada pekerjaan?”
“Enggak kok, cuma kangen aja. Jakarta terlalu keras buat
berpikir jernih.”
Dan terlalu keras
untuk menyembuhkan luka hati. Imbuhku dalam hati.
“Kayak bukan kamu deh, Ra. Pasti kamu ada masalah, yakan?
Kamu bisa kok cerita ke aku, kayak dulu.” Kayak
dulu. Aku mengikuti dua kata terakhirmu. Terasa sekali luka hati yang telah
lama kering yang ternyata tidak benar-benar kering. Entah ini benar-benar hanya
lukaku saja atau ada lukamu? Benarkah kamu juga terluka?
Leo, dari dulu aku yang selalu bercerita tentang semua
masalahku dari mulai masalah keluarga hingga masalah cita-cita, dari masalah
kecil hingga masalah besar. Begitu pula denganmu. Tetapi, kenapa dari semua
masalah yang kita bagi, tidak pernah ada masalah tentang cinta? Memang benar
tidak ada masalah cinta dikehidupan kita ataukah memang kita saling
menyembunyikan masalah cinta kita masing-masing?
Bila kamu ingin tau masalah cintaku, Leo. Namamu lah yang
akan selalu aku sebut. Kamu akan selalu mendengar namamu sendiri bila aku
sedang bercerita tentang masalah cinta. Tidak pernah ada nama lain sampai aku
pindah ke Jakarta dan ada seseorang datang merusak apa arti cinta itu sendiri. Ia
merusak cintaku kepadamu, Leo. Ia merusak arti cinta bagiku. Ia merusak
filosofiku. Aku sakit karena dia, dan juga karenamu. Tapi, pada akhirnya aku
menyerah dengan menerima dia sebagai kekasihku. Ia adalah Fahril. Kukira dengan
bersamanya, bayanganmu akan hilang dengan sendirinya. Tetapi ternyata, tidak
semudah itu. Tidak mudah menghilangkan bayanganmu. Tidak mudah untuk melangkah
dari hatimu, Leo. Sampai pada waktunya, aku merasa benar-benar lelah. Aku tidak
tau harus bagaimana. Aku tidak bisa merasakan perasaanku sendiri. Aku merasa
seperti mencintai keduanya, kamu dan Fahril. Aku benar-benar tidak bisa
mendeteksi perasaanku.
***
Bandara Adisucipto, 06:30 – 1 Agustus 2015
“Arghh, kenapa sih jam terbangku duluan dari pada jam kereta
kamu, aarghh.” Keluhmu sambil mengacak-aack rambutmu yang sudah rapi. Aku hanya
tertawa menanggapi ulah kekanak-kanakanmu itu.
“Dari pada kamu besok kamu telat? Bukannya kamu harus foto
prewed?”
“Ah, iya. Aku masih gak nyangka deh harus nikah secepat ini.
Rasanya masih mau main-main pasir atau panjat pohon sama kamu, Ra, hehe.”
Iya, aku juga tidak menyangka kamu akan secepat ini ‘meninggalkanku’.
Aku senang? Tentu aku senang, melihatmu tersenyum bahagia seperti itu. Aku
sedih? Tentu aku sedih. Bagaimana tidak? Aku mencintaimu terlalu lama dan dalam.
Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Tidak ada selain berdoa kepada Tuhan agar
kamu benar-benar diberi kebahagiaan dan aku benar-benar dikuatkan untuk
melewati semua ini.
“Ra? Kamu kok bengong? Lho, kamu kenapa nangis?” Iya, aku
memang bodoh. Tidak bisa menahan air mataku. Benar-benar bodoh.
“Kamu kenapa? Jangan sedih dong. Kita kan masih bisa ketemu
dan ngobrol lagi. Toh dua bulan lagi
kita ketemu di acara pernikahanku, kan?” Katamu sambil mengusap butir-butir air
mata yang jatuh di pipiku. Aku tersenyum. Senyum yang sangat susah untuk aku
lakukan.
“Nah, gitu dong, senyum. Kan jadi enak diliatnya. Aku suka
banget deh Ra ngeliat kamu senyum gitu.” Katamu sambil terus megusap pipiku. Aku
tetap mempertahankan senyumku sambil memejamkan mata. Merasakan sentuhanmu,
merasakan kelembutan tanganmu, merasakan apa yang bisa aku rasakan saat ini.
Tuhan, aku mohon, tolong hentikan waktu ini, sebentar saja.
“Ra, kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Janji apa?”
“Kamu harus selalu tersenyum, seberat apapun masalah kamu.
Percaya deh, kalau senyum itu sedikit meringankan beban kamu. Oke, Ra?” Katamu
sambil tersenyum tulus dan memegang kedua tanganku. Kamu, seperti biasa, terus
tersenyum dan menungguku untuk mengatakan “oke” atau menganggukkan kepala.
“Oke, aku janji.”
“Yaudah, aku pergi dulu ya, Ra. Jaga dirimu baik-baik.” Kamu
mengambil tas ranselmu dan mengangkatnya menuju pundakmu.
“Kamu hati-hati ya, Leo. Nanti sms aku kalau sudah sampai.
Jangan sampai ada yang ketinggalan di pesawat lho nanti.”
“Iya. Oiya, Ra..”
“Ya, kenapa? Kamu mau aku peluk lagi? Atau kita harus
ber-hivi kayak dulu?” Kataku sambil sedikit tertawa.
“Jangan lupa dengerin lagu yang barusan aku kirim ya.”
“Iya, Leo, kamu udah bilang ini ratusan kali. Hahahaha.” Leo
memang selalu lucu.
“I will miss you, Lira” Katamu dengan muka serius.
“Heh? Hem, me too, Leo.” Tawaku berhenti.
“Bye, Ra!” Katamu kemudian sambil melambaikan tangan dan
membalikkan badan.
And I love you, Leo.
Always love you.
Dan aku membuka handphone untuk mendengarkan lagu yang kamu
berikan. Terima kasih, Leo. Untuk lagu ini dan segala kenangan yang kamu buat
untukku.
Yogyakarta – Kla Project
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru
dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku
bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan
nostalgi
Saat kita sering
luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Yogya
Di persimpangan
langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian
khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai
beraksi
Seiring laraku
kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu
Walau kini kau telah
tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan
senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk
selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi
tanpa terobati
***
23.05 – 1 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar