Bait terakhir lirik lagu Sepatu dari Tulus itu masih
berdengung didalam kepala Arla. Baru selangkah Arla meninggalkan cafe itu, ia
teringat akan pesan singkat yang masuk tepat ketika ia akan mematikan laptop
dan bait terakhir itu berdendang. Pesan singkat yang membuat kepalanya terasa
berputar dan hampir menjatuhkan handphone dari tangannya.
Valen:
Bisa kita bertemu, La?
Hingga Arla berbaring di kasur, pesan itu belum
terbalaskan. Bukan, Arla bukan tidak ingin membalas pesan itu, tetapi untuk
apa? Untuk apa ia membalas pesan yang hanya membuatnya berharap? Untuk apa
membalas pesan yang hanya akan membuatnya kecewa? Dan untuk apa Arla membalas
pesan yang nantinya juga tidak akan terbalas kembali? Hal-hal seperti itu lah
yang selalu membayangi benak Arla sejak Valen memilih
meninggalkannya setelah
memberikan banyak harapan kepadanya.
Kamu
tau ketakutanku saat ini, Val? Aku takut kecewa untuk kedua kalinya.
<<<
*lima tahun sebelumnya*
Pagi itu burung-burung berkicau seperti mengetuk jendela.
Secercah cahaya masuk melalui cela-cela gorden. Arla bangun karena silau cahaya
menyentuh lembut matanya, dan begitu melihat jam di meja tidurnya, matanya
melotot dan buru-buru mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi.
Dret
dret dret
Dret
dret dret
Tangan kiri Arla mengobrak-abrik tempat tidur tetapi mata
dan tangan kanannya fokus pada makanan di piringnya. Ia bisa pingsan kalau
tidak sarapan, seburu-buru dan segenting apa keadaan pagi itu, ia harus tetap
sarapan.
2
New Messages
Agnes:
Lo enggak kesiangankan, La? Gue udah sama Dio nih.
Dio:
Eh, kampret, lo dimana? Kita bisa telat nih presentasinya.
Iya, pagi ini Arla ada presentasi mata kuliah jam
pertama, untung saja semua file sudah ia siapkan tadi malam. Arla membereskan sarapannya,
kemudian merapikan barang bawaannya dan bergegas turun ke lantai bawah untuk
pamitan dengan kedua adiknya yang pasti sedang sarapan.
“Kakak berangkat dulu ya, Alan, Alya. Bilang Pak Kodir,
bawa mobilnya hati-hati.” Arla menciumi rambut kedua adiknya.
“Mama sama Papa enggak pulang lagi ya, Kak?” Tanya Alya,
adik terkecilnya, dengan polos.
“Enggak sepertinya. Nanti Kakak telpon deh, ya. Bye,
guys.” Jawab Arla sambil lalu. Ia selalu malas kalau salah satu adiknya sudah
menanyakan mengenai orang tua mereka
pulang atau tidak, karena Arla tau kalau mereka hanya ingin mengonfirmasi
pertanyaan yang jawabannya mereka sudah tau sendiri.
“Hai, guys! Sorry telat.” Sapa Arla begitu ia sampai di
depan kelas.
“Gila lo, La. Lima menit lagi giliran kita dan lo baru
sampai? Bagus! Untung lo pinter.” Saut
Dio dengan wajah ditekuk dan mulut
berkerucut.
Agnes dan Dio adalah teman dekat Arla sejak SMP. Mereka
adalah satu-satunya teman yang bisa bertahan sangat lama dengan Arla. Arla
bukan tipe yang gampang bergaul dan mendapat teman. Ia memang pintar, jago
basket dan menulis, punya rambut cokelat tua alami yang membuat
perempuan-perempuan lainnya menatap iri, tetapi itu semua tidak menjamin ia
mendapatkan banyak teman. Dan akibat susah bergaul ini pula yang menyebabkan Arla
belum pernah berpacaran dan selalu gagal di langkah terakhir dengan para calon
pacarnya. Walau banyak yang mendekatinya dan berusaha menjadi pacarnya –walau
akhirnya gagal, hanya ada satu nama sejak SMA yang bertengger paling atas di
hatinya. Namanya Valen Adriantino.
“Eh kemana kita pulang ini? Temenin nyalon yuk? ” Tanya Agnes dengan wajah suntuk karena kena semprot
seharian dari para dosen.
“Lo ngajak gue nih, Nes? Yakali lo ngajak cowok se-charming gue nyalon?” Dio meledek Agnes sambil menjambak rambutnya yang sudah
tidak karuan.
“Gue enggak bisa, Nes, sorry. Udah ada janji sama Valen
mau ke kwitang.” Timpal Arla sambil mengaduk-aduk tasnya, mencari benda sakral
yang tadi ia masukkan asal kedalam tas saat di toilet, kacamata.
“Apa?! Lo masih berhubungan sama monyet yang satu itu?”
Teriak Agnes seketika hingga membuat Dio dan Arla refleks menutup telinga, dan
orang-orang disekitar menengok kearahnya.
“Eh, sorry, gila lo, La, ngapain lo masih jalan sama
dia?” Kata Agnes dengan suara yang lebih kecil.
“Iya, La, bukannya kemarin lo udah liat sendiri ya kalau
dia jalan sama cewek lain, mesra lagi.” Timpal Dio sambil menggiring dua
perempuan itu duduk di salah satu meja kantin.
“Ya terus kenapa? Gue pacarnya aja bukan, punya alasan
apa gue buat marah dan ngejauhin dia? Gue sama dia kan cuma temenan.” Tutur
Arla dengan lebih pelan, takut ada yang nguping.
“Ah basi lo, La, temenan
macam apa kalau salah satunya nyimpen perasaan.” Sindir Dio sambil melirik
tajam kearah Arla.
“Udah lah. Gue duluan ya,
udah ditungguin.” Arla sambil berdiri dan pergi meninggalkan meja mereka.
Sepanjang jalan dari kantin
ke tempat parkiran, Arla memikirkan perkataan Dio. Apakah
dirinya benar-benar
memiliki perasaan kepada Valen?
Memangnya
salah ya kalau berteman tetapi menyimpan rasa? Batinnya.
“Hai, La! Kok bengong sih
jalannya?” Arla melonjak dan hampir
kesandung kebelakang kalau tidak cepat-cepat Valen memegang tangannya. Arla
tersenyum kikuk karena jarak kedua wajah mereka terlalu dekat.
Sore itu Valen
menggunankan kaos polo putih dengan celana jeans dan sepatu Nike kesayangannya.
Serasi sekali dengan Arla yang menggunakan baju you-can-see putih dan rok marun
dibawah lutut dengan sepatu cats hitam kesayangannya. Memang agak salah kostum
sih kalau tujuannya ingin ke kwitang.
“Kita beneran ke
kwitang nih, Val?” Arla membuka pembicaraan ketika mereka sudah didalam mobil.
“Dengan
pakaian lo yang kayak gini? Ya enggak lah, cantik. Sayang-sayang kali
penampilan lo kayak gini malah gue bawa ke kwitang.” Saut Valen dengan wajah
yang sesekali menengok kearah Arla.
“Haha
bisa aja lo,” Arla tersipu, “Terus kita mau kemana?”.
“Makan
aja yuk. Sekalian gue mau cari sepatu di Kuningan City”
***
“La,
sebenernya lo sama Valen tuh kayak gimana sih?” Agnes bertanya tiba-tiba
disela-sela ngopi sore mereka, dengan
Dio juga tentunya.
“Kayak
gimana apa? Ya kita temenan.” Suara Arla yang terdengar tenang, walau
sebenarnya jantungnya berdetak kencang dan hatinya bertanya-tanya mengenai ia
dan Valen. Bukan status, tapi perasaan. Ia bertanya-tanya seperti apa perasaan
sebenarnya ke Valen, begitu pula sebaliknya.
“Ya
lo berdua, temenan pakai sayang-sayangan, peluk-pelukan, good night-good nightan,
ke puncak berdua, ke bali berdua, lebih sering makan malam berdua dari pada
sama temen-temen, ngegym berdua, temenan macam apa!” Ledek Dio dengan melempar
bantal kecil kearah Arla dan membuatnya terkekeh.
“Tolong
diralat ya, Dio. yang pakai
sayang-sayangan itu hanya Valen. Gue enggak ikutan ngomong.” Jawab Arla geli
mendengar perkataan-perkataan kedua temannya. Jauh didalam pikirannya, Arla secara
sengaja memutar semua memorinya dengan Valen tepat dibagian Valen memanggilnya
dengan sapaan Sayang. Semua terasa indah tanpa celah sedikit pun.
“La,
lo tuh cantik, pinter, rambut pirang, suara tenang, yaa walau kadang
keteledoran dan kengaretan lo yang gak banget itu merusak semuanya, tapi that’s
all right, La. Masih banyak ikan di laut yang bersedia lo tangkep.” Lanjut
Agnes dengan suara serius dan diikutin lemparan bantal kecil dari Dio dengan
muka mesemnya.
“Tapi,
enggak ada ikan yang kayak Valen, Nes.”
“Lo
berdua, sekali lagi pakai kata ikan, gue minggat.” Dan pecah lah suara tawa
dari Arla dan Agnes.
“Jadi,
ceritain dong gimana kemarin lo jalan sama dia, awkward gak?” Pertanyaan dari
Agnes langsung membuat Arla menerawang kekejadian kemarin sore, disaat semuanya
terasa masih indah diawal bertemu dan tiba-tiba menjadi pahit saat pulang.
Sore itu, setelah
selesai Arla dan Valen berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mencari sepatu
yang pas untuk Valen, mereka memutuskan untuk duduk di salah satu cafe favorit mereka.
“Lo
kopi yang biasakan, La?”
“Iya,
Val, tolong ya, makasih.” Jawab Arla dengan senyum yang tak kalah indahnya dari
semburat senja sore itu.
“Apa
rencana lo selesai kuliah, La?” Tanya Valen sambil menatap mata Arla.
“Cari
kerja dulu.” Arla membalas tatapan mata Valen, dalam. Seandainya Valen tau,
bahwa Arla sangat menyukai hal kecil seperti ini, saling tatap disetp obrolan
santai mereka.
“Kenapa
enggak cari beasiswa keluar kayak kakak lo?”
“Kasihan
nanti adik-adik gue gak ada temannya di rumah.” Lanjut Arla, tapi kali ini
dengan memalingkan wajahnya kearah kaca luar cafe yang menyajikan pemandangan
kota jakarta dari ketinggian di sore hari.
“Ah,
ya, um sorry, La.”
“It’s
okay. Lo sendiri?”
“Gue
mau lanjut ke Jepang, La. Nyokap nyuruh gue buat sekolah dan kerja disana, dan
pulang setelah mapan buat menikah dan menlanjutkan bisnis bokap.” Valen
menghela napasnya yang terdengar berat. Seperti ada sesuatu yang ingin
dikatakan.
“Kenapa,
Val? Bilang aja.” Arla bisa membaca helaan napas Valen. Dan tanp disadari,
tangan Arla dingin dan ia mulai merasakan kakinya bergerak-gerak tidak tenang.
“Nyokap
minta gue buat..” Valen menarik napas panjang, “Cari calon istri yang seagama,
La.”
“Dan
dia menyarankan, sebaiknya kita enggak usah berhubungan lagi. Nyokap melihat
hubungan kita tidak sekedar berteman biasa.” Suara Valen mulai melemah tetapi
matanya masih menunjukkan kilat teduh menenangkan saat menatap Arla.
“Apa
yang salah dari pertemanan kita, Val?” Suara Arla juga mulai melemah. Ia mulai
merasakan ada yang mengganjal di pelupuk matanya, begitu pula di hatinya.
“Gue
sayang lo, La, melebih teman. Gue ingin kita lebih dari teman.” Kalimat itu
membuat Arla terkesiap dan satu tetes air mata jatuh diujung matanya. Ia tidak
tau harus senang atau sedih.
“Kenapa...
Begini, Val?” Valen mengerutkan kening mendengar pertanyaan Arla. Arla
sendiripun tidak yakin apa maksud pertanyaannya.
“Nyokap
melarang kita, La. Kita beda keyakinan. Dan gue enggak mungkin melanggar
perintah nyokap gue, La.”
“Gue
juga sayang lo, Val. Tapi, kenapa harus begini?” Suara Arla makin melirih dan
kepalanya menunduk untuk menutupi air matanya yang mulai tumpah.
“Iya,
gue tau. La, sorry..” Valen menarik tangan Arla dalam genggamannya. Tapi, baru
sekali ini, Arla menolak untuk digenggam, ia menarik tanggannya dan
menyembunyikannya kebawah meja.
“Dan
cewek yang namanya Clara, yang tempo hari lo liat jalan sama gue, itu cewek
yang nyokap pilihin agar gue mulai mencoba melihat cewek lain selain lo, La.”
Valen selalu tidak tega melihat Arla menunduk sedih seperti itu, ingin rasanya
menarik Arla dalam pelukannya. Tapi ia tau, itu akan membuat dirinya dan Arla
semakin hancur.
“Gue
duluan ya, La. Terima kasih buat semua kenangannya.” Valen berdiri dan menaruh
sebuah kotak biru manis diatas meja. Dari ekor matanya, Arla bisa melihat Valen
berlalu membelakanginya. Ia selalu benci melihat punggung cowok itu berjalan
membelakanginya. Meninggalkan hatinya bersama hati Arla yang sama-sama hancur.
>>>
*lima tahun kemudian*
“Nes, Di, gue balas apa
enggak nih?” Akhirnya Arla tidak tahan untuk bertanya kepada kedua sahabatnya
saat mereka sedang ngopi sore di sala
satu cafe favorit mereka.
“Balas lah, Bro. Kali aja
ada yang penting. Ngucapin bye-bye karena doi mau merit.” Jawab
Dio asal dan
tetap fokus pada laptop didepannya.
“Jangan lah, emang lo mau
nerima ucapan bye-bye karena doi mau merit? Gue jadi lo sih, ogah.” Timpal
Agnes ikut-ikutn menanggapi jawaban Dio.
“Gue serius...” Arla
menghela napas dan menyerah dengan memandang pesan dari Valen untuk kesekian
kalinya.
“Balas, La.” Kata Dio dan
Agnes, barengan. Mereka saling lirik dan tertawa.
Mungkin
enggak ada salahnya kalau dibalas. Batin Arla.
Arla:
Bisa. Kapan?
Dan tidak harus menunggu
lama sampai akhirnya ada balasan.
Valen:
Malam ini di Kuningan City, cafe biasa ya, La.
Dan disini lah Arla dan
Valen malam ini, cafe favorit mereka untuk menghabiskan waktu bersantai, dulu.
“Apa kabar, La?” Tanya Valen
dengan senyum yang masih sama walau dengan sorot mata yang lebih tajam. Valen
tidak banyak berubah, hanya wajahnya yang terlihat lebih terawat, dada lebih
bidang, dan sepatu Nike kesayangannya sudah digantikan dengan sepatu yang baru.
“Ya seperti yang kamu lihat,
Val.” Jawab Arla dengan mengendikkan bahu untuk terlihat lebih relaks. Arla pun
tidak banyak berubah, masih dengan rok sebawah lututnya tetapi sepatu catsnya
sudah berganti dengan heels yang tidak terlalu tinggi.
“Apa kabar Agnes dan Dio?”
Valen selalu tau bagaimana cara untuk membuat Arla bercerita panjang. Dan
sampai makanan mereka habis, mereka masih terlibat obrolan seru, seperti yang
mereka lakukan lima tahun lalu.
“La, gue mau..” Valen ragu
melanjutkan perkataannya.
Udah
setengah jalan, lanjutin aja Val. Katanya didalam hati
“Gue mau ngasih ini,
undangan pernikahan gue, dua minggu lagi.” Valen menaruh kertas apik berwarna
silver dengan paduan abu-abu, warna kesukaan Valen.
Arla didepannya hanya terdiam,
tidak bereaksi sama sekali.
Harusnya
gue tau. Harusnya gue gak merasa kayak gini lagi. Toh udah hampir lima tahun,
tapi kenapa semuanya terasa belum berubah. Harusnya gue gak boleh sedih dan..
Oh no,
kenapa air mata gue udah diujung sih.
“La? Lo enggak apa-apa, kan?”
Tanya Valen membuyarkan lamunan Arla.
“Iya, Val. Makasih ya.” Arla
memaksakan senyum. Bukan, bukan tersenyum, tetapi nyengir untuk menyembunyikan air matanya yang ingin jatuh.
“Yaudah kalau gitu, gue
duluan ya, Val. Udah malam juga. Insyaallah gue dateng kok.” Arla beranjak dari
tempat duduknya dan berbalik badan memunggungi Valen sebelum ia berkata apa-apa
lagi, dan berjalan menjauh sejauh yang ia bisa. Berjalan menjauhi Valen dan
berharap hatinya tetap tertinggal di cafe itu, agar ia tidak perlu repot-repot
menatanya sepulang dari ini. Arla berjalan cepat kearah parkiran sambil berdoa
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketakutannya datang lagi. Ia dikecewakan
lagi. Memang tidak seharusnya ia menemui Valen malam ini. Memang tidak
seharusnya dulu ia menunggu Valen yang jelas-jelas sudah meninggalkannya.
Meninggalkan hatinya di cafe itu, dan ini saatnya Arla untuk melepaskan hatinya
secara paksa di cafe yang sama. Pasti akan sulit untuknya membuka hati yang
baru. Bukan karena belum bisa melepaskan hati yang lama, tetapi karena takut
hatinya akan dikecewakan lagi. Mungkin benar, cinta memang banyak bentuknya,
tetapi tak semua bisa bersatu.
11.13. - 2 Januari 2015