Jumat, 02 Januari 2015

Ceritaku Dan Ray

Ini sebuah kisah sederhana tentang aku dan kamu. Tentang pertemuan kita di satu senja. Tentang perpisahan kita di satu cafe kelabu.

"Airin!" Begitu lah kamu memanggilku. Tahukah kamu? Bahwa hanya kamu seorang, yang memanggilku dengan nama tengahku. Senja itu, aku terduduk sendiri di tepi pantai. Memandang langit sore dengan mulut berkerucut dan kamu datang dengan seulas senyum, ikut duduk disampingku. "Mengapa wajahmu ditekuk?" Itu lah kalimat perkenalan yang kamu ucapkan. Aku hanya menengok kearahmu sambil mengkerutkan kening. Kemudian kamu mengulurkan tangan, "Namaku Ray, kamu Airin, kan?" Aku hanya menggelengkan kepala. Kamu terlihat panik dan salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepalamu yang aku yakin pasti tidak gatal. Sejurus kemudian aku tertawa terbahak-bahak. "Airin ialah nama tengahku, panggil aku Vin, kependekkan dari Vinnellia." Kataku sambil menyambut tanganmu. "Aku lebih suka memanggilmu Airin." Katamu dengan senyum tulusmu, Mulai sore itu, kami resmi berteman. Kami bercerita, tertawa dan berlari-larian. Hingga matahari benar-benar tenggelam.
Dan kami berjanji untuk bertemu kembali esok senja. Sejak saat itu, soreku tak pernah lagi sepi. Aku, yang berumur tujuh tahun, akhirnya menemukan teman akrab yang berjanji untuk terus menemaniku disetiap senja. Tawa, senyum, dan kejahilanmu yang kini selalu hadir dalam setiap senjaku. Itulah semangatku, semangat anak kecil berumur 7 tahun.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan kereta api yang akan membawaku ke Yogyakarta sudah tiba. Sepanjang perjalanan, aku teringat akan masa laluku, masa kecilku bersama Ray. Lelaki dengan raut wajah yang unik dan senyum yang selalu tulus. Lelaki yang kukuh memanggilku Airin. Sekarang umurku sudah 20 tahun, itu berarti sudah hampir 4 tahun sejak perpisahan kita. Bertemu pada usia 7 tahun dan berpisah pada usia 16 tahun. Sembilan tahun bukan waktu yang singkatkan, Ray? Dan 4 tahun itu waktu yang sangat cukup untuk meyakinkan diriku, bahwa aku benar-benar merindukanmu, Ray. Ya, I mean it, Ray. Pasti kamu akan tertawa terbahak-bahak dan meledekku karena perkataanku itu.

Tiba-tiba, perempuan disampingku bertanya mengapa aku tersenyum sendiri, mungkin ia pikir aku aneh. Ah tapi mengapa matanya menunjukkan keramahan dan keteduhan? Dan sebelum aku menjawab, perempuan itu memperkenalkan dirinya dan menceritakan masa lalunya bersama mantan pacarnya. Aku merasakan keteduhan, ketenangan tetapi juga ada kesedihan yang seperti sangat dalam.

Setelah selesai ia bercerita, ia bertanya kepadaku, "Apakah kau pernah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupmu?" Aku hanya memalingkan muka ke jendela, menghindari tatapannya dan aku langsung menemukan pikiranku menunjuk Ray, teman kecilku, sebagai pelakunya. Saat aku berpaling kepada perempuan itu dan ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba ia berkata "Kalau kamu tidak mau bercerita, tidak masalah, Vin." Aku hanya terdiam. Aku memang butuh teman untuk membagi kisahku ini. Seumur hidupku, tidak ada yang tau tentang Ray kecuali orang tuaku. Ya, selain faktor aku tidak mempunyai teman sebaya yang dekat selain Ray, aku juga tidak pernah percaya dan leluasa bercerita mengenai kisahku kepada siapapun, iya kecuali Ray (lagi) tentunya. Mungkin aku bisa bercerita dengan perempuan asing ini? Memang tidak menjamin ceritaku bisa tetap terjaga, tetapi setidaknya kami tidak saling mengenal untuk bisa saling menyakiti, bukan? Jadi kemungkinan aku tersakiti oleh perkataannya atau ketidakterjaminnya-ceritaku-tetap-terjaga ya sangat kecil.

***

Namanya Ray. Kami bertemu di tepi pantai suatu senja saat usia kami 7 tahun. Mulai hari itu, Ray lah yang menemani setiap senjaku. Kami bercerita, tertawa, berlarian, berenang, bermain, hingga bertengkar. Bertengkar aku dan Ray memang tidak pernah serius. Kami hanya saling tidak berbicara untuk beberapa senja, tetapi ia tetap menemaniku duduk atau tidur di pasir. Selepas aktivitas seharian, aku dan Ray punya tradisi untuk saling bercerita aktivitas selama seharian itu. Kalau hari ini Ray yang memulai, berarti besok giliran aku yang pertama bercerita. Aku tau Ray begitu menyukai es krim seperti aku menyukai cokelat. Aku tau Ray begitu tergila-gila akan photography sama seperti aku tergila-gila akan novel. Aku tau Ray rela tidur larut demi mengedit hasil-hasil fotonya hari itu dibandingkan menyelesaikan tugas sekolahnya. Aku tau Ray selalu ke tepi pantai tengah malam bila sedang ingin menyendiri dari keributan didalam rumahnya. Aku tau Ray sangat fanatik dengan warna Abu-abu dan sandal jepit. Aku tau sekali dalam seminggu Ray berantem dengan geng populer di sekolahnya karena pasti saat senja kami bertemu, dia punya beberapa luka yang kelihatan masih segar. Aku tau Ray selalu terlihat tidak tenang bila punya masalah tetapi malu menceritakannya. Aku tau Ray... Ah banyak sekali yang aku tau tentang Ray.  Tetapi walau begitu, aku tidak pernah tau rumah Ray, begitupun Ray yang tidak tau rumahku. Begitu pula dengan sekolah dan nomor handphone kami. Entah ini sengaja atau tidak, kami hanya berusaha saling mengenal dan dekat tanpa benar-benar tau identitas masing-masing kami. Begitu terus hingga 9 tahun, ketika usia kami menginjak 16 tahun. 

Ray tidak pernah absen datang ke tepi pantai, kalaupun ia tidak datang, pasti beberapa hari sebelumnya ia mengatakan kepadaku. Tetapi, hari itu berbeda. Aku, seperti biasa, duduk dibawah pohon di tepi pantai sambil membaca novel. Jam ditangan kiriku telah menunjukkan pukul 5 sore tetapi Ray belum menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, kalau Ray terlambat pasti hanya 30 menit, tetapi hari itu ia terlambat satu jam. Aku berdiri dan mengulet, mulai tidak tenang. Aku berjalan-jalan di tepi pantai dan ini ketiga kalinya aku melihat jam dan menunjukkan pukul 5.40. Aku akan menunggunya hingga pukul 6 dan kalau ia tidak datang, aku akan pulang. Begitu lah pikiranku sore itu dan benar saja, Ray tidak datang. Begitu pula lima senja kemudian. 

Hingga pada senja keenam, aku memutuskan untuk tidak ke tepi pantai, aku ingin pergi ke mall, mencari udara segar. Tentu saja segar maksudku adalah bebas dari bayangan Ray. Aku pergi ke toko buku di salah salah satu mall. Dan saat aku sedang mengantre, aku melihat laki-laki mirip sekali seperti Ray. Tinggi, sawo matang, kacamata bingkai putih, bekas luka di pelipis kiri, senyum jahilnya, tetapi bedanya laki-laki itu memakai sneakers bukan sandal jepit. Aku meninggalkan antrean dan berjalan sedikit lebih cepat kearah laki-laki itu untuk memastikan bahwa itu benar-benar Ray seperti perkiraanku atau bukan. Aku tinggal beberapa langkah lagi dari laki-laki itu dan akhirnya..

“Ray?” Panggilku.

“Airin?” Tengok Ray kearahku dengan nada yang lebih tinggi dan sambil menengok ke kiri dan kanan, pertanda kalau ia sedang panik.

“Sedang apa kamu, Ray? Kemana saja kamu? Kenapa ka...” Belum selesai aku bertanya, ia langsung menarikku dan berjalan cepat ke salah satu cafe dan mengambil tempat duduk disudut ruangan yang jauh dari keramaian.

“Ada apa, Ray?” Tanyaku cemas.

“Maaf, Airin. Kamu tidak akan mengerti.” Jawabnya sambil menundukkan kepala.

“Tidak mengerti apa? Aku bingung. Kemana saja kamu, Ray?”

“Kita tidak bisa bertemu lagi, Airin. Aku tidak bisa bertemu lagi denganmu.”

“Kenapa, Ray? Aku salah ya? Maaf, Ray.” Ujarku pelan. Aku benar-benar tidak mengerti maksud Ray.

“Pertemanan kita tidak lagi benar-benar murni pertemanan, Airin. Toh kehidupan berjalan dan kita juga harus berjalan, tidak bisa berdiam diri dan tetap berada di goa nyaman kita, bukan?” Ucap Ray yang diikuti tatapan matanya yang menusuk tetapi ada kilat kesedihan disana.

“Apa maksudmu tidak benar-benar murni pertemanan? Aku merasa kita berteman baik-baik saja selama ini.” Sanggahku dengan nada yang agak menuntut.

“Coba tanya pada dirimu sendiri, Airin.” Ray tidak benar-benar menjawab pertanyaanku.

“Aku harus pergi sekarang Airin. Terima kasih atas pertemanan dan kenangannya.” Ray berdiri dari tempat duduknya. Dan sebelum ia sempat melangkah, aku menahan tanggannya dan bertanya,

“Kemana saja kamu dari kemarin? Tolong, Ray.”

“Aku mencari hal baru, Airin. Mencari aktivitas baru dan keluar dari goa nyamanku bersamamu disetiap senja.” Tangan Ray memberontak halus dari cengkramanku, tetapi aku belum mau melepaskannya.

“Apakah kita bisa bertemu lagi suatu saat, Ray?” Tanyaku lemah sambil menatap matanya sebelum ia benar-benar pergi. Dan Ray hanya mengangguk dan tersenyum tulus. Lalu aku membiarkannya pergi. Menatap punggungnya berjalan membelakangiku adalah hal paling 
sulit untuk aku lihat. Aku menutup mata dan menangis.

Sejak sore itu, aku tidak pernah lagi pergi ke tepi pantai. Aku mencari kegiatan lain, kegiatan yang diluar dugaanku akan aku ikuti, seperti klub debat dan klub sains. Aku berusaha keluar dari goa nyamanku seperti Ray lakukan, sambil tetap berdoa, suatu saat agar aku dan Ray dipertemukan kembali di satu senja yang indah.

***

Aku menghembuskan napas. “Maaf, ya, ceritanya jadi panjang seperti ini.” Ujarku kemudian kepada perempuan disampingku ini.

“Aku tersentuh. Maaf telah membuatmu mengingat masa-masa kelam itu.” Ucap perempuan itu seraya tersenyum dan memberikan sebotol air mineral untukku.
Kereta api yang kami naiki sudah sampai di stasium tujuan. Aku dan perempuan itu membereskan barang dan bersiap untuk turun.


“Kita memang tidak pernah bisa melupakan masa lalu, Vin. Tetapi, kita bisa membuat masa lalu itu menjadi sebuah pelajaran dengan membiarkannya berjalan bersama waktu. Membiarkannya ikut kita meraih masa depan kita. Karena masa lalu adalah bagin hidup kita, Vin. Jangan direnungi, tetapi dibiarkan. Sampai jumpa, Vin.” Kata perempuan itu diujung koridor stasiun sebelum kami berbelok kearah yang berlawanan.

***

23.58 - 1 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar