Ini sebuah kisah sederhana tentang aku dan kamu. Tentang
pertemuan kita di satu senja. Tentang perpisahan kita di satu cafe kelabu.
"Airin!" Begitu lah kamu memanggilku. Tahukah
kamu? Bahwa hanya kamu seorang, yang memanggilku dengan nama tengahku. Senja
itu, aku terduduk sendiri di tepi pantai. Memandang langit sore dengan mulut
berkerucut dan kamu datang dengan seulas senyum, ikut duduk disampingku.
"Mengapa wajahmu ditekuk?" Itu lah kalimat perkenalan yang kamu
ucapkan. Aku hanya menengok kearahmu sambil mengkerutkan kening. Kemudian kamu
mengulurkan tangan, "Namaku Ray, kamu Airin, kan?" Aku hanya
menggelengkan kepala. Kamu terlihat panik dan salah tingkah dengan
menggaruk-garuk kepalamu yang aku yakin pasti tidak gatal. Sejurus kemudian aku
tertawa terbahak-bahak. "Airin ialah nama tengahku, panggil aku Vin,
kependekkan dari Vinnellia." Kataku sambil menyambut tanganmu. "Aku
lebih suka memanggilmu Airin." Katamu dengan senyum tulusmu, Mulai sore
itu, kami resmi berteman. Kami bercerita, tertawa dan berlari-larian. Hingga
matahari benar-benar tenggelam.
Dan kami berjanji untuk bertemu kembali esok senja. Sejak
saat itu, soreku tak pernah lagi sepi. Aku, yang berumur tujuh tahun, akhirnya
menemukan teman akrab yang berjanji untuk terus menemaniku disetiap senja.
Tawa, senyum, dan kejahilanmu yang kini selalu hadir dalam setiap senjaku.
Itulah semangatku, semangat anak kecil berumur 7 tahun.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan kereta api yang
akan membawaku ke Yogyakarta sudah tiba. Sepanjang perjalanan, aku teringat
akan masa laluku, masa kecilku bersama Ray. Lelaki dengan raut wajah yang unik
dan senyum yang selalu tulus. Lelaki yang kukuh memanggilku Airin. Sekarang
umurku sudah 20 tahun, itu berarti sudah hampir 4 tahun sejak perpisahan kita.
Bertemu pada usia 7 tahun dan berpisah pada usia 16 tahun. Sembilan tahun bukan
waktu yang singkatkan, Ray? Dan 4 tahun itu waktu yang sangat cukup untuk
meyakinkan diriku, bahwa aku benar-benar merindukanmu, Ray. Ya, I mean it, Ray.
Pasti kamu akan tertawa terbahak-bahak dan meledekku karena perkataanku itu.
Tiba-tiba, perempuan disampingku bertanya mengapa aku
tersenyum sendiri, mungkin ia pikir aku aneh. Ah tapi mengapa matanya
menunjukkan keramahan dan keteduhan? Dan sebelum aku menjawab, perempuan itu
memperkenalkan dirinya dan menceritakan masa lalunya bersama mantan pacarnya.
Aku merasakan keteduhan, ketenangan tetapi juga ada kesedihan yang seperti
sangat dalam.
Setelah selesai ia bercerita, ia bertanya kepadaku,
"Apakah kau pernah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupmu?"
Aku hanya memalingkan muka ke jendela, menghindari tatapannya dan aku langsung
menemukan pikiranku menunjuk Ray, teman kecilku, sebagai pelakunya. Saat aku
berpaling kepada perempuan itu dan ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba ia
berkata "Kalau kamu tidak mau bercerita, tidak masalah, Vin." Aku
hanya terdiam. Aku memang butuh teman untuk membagi kisahku ini. Seumur
hidupku, tidak ada yang tau tentang Ray kecuali orang tuaku. Ya, selain faktor
aku tidak mempunyai teman sebaya yang dekat selain Ray, aku juga tidak pernah
percaya dan leluasa bercerita mengenai kisahku kepada siapapun, iya kecuali Ray
(lagi) tentunya. Mungkin aku bisa bercerita dengan perempuan asing ini? Memang
tidak menjamin ceritaku bisa tetap terjaga, tetapi setidaknya kami tidak saling
mengenal untuk bisa saling menyakiti, bukan? Jadi kemungkinan aku tersakiti
oleh perkataannya atau ketidakterjaminnya-ceritaku-tetap-terjaga ya sangat
kecil.
***
Namanya
Ray. Kami bertemu di tepi pantai suatu senja saat usia kami 7 tahun. Mulai hari
itu, Ray lah yang menemani setiap senjaku. Kami bercerita, tertawa, berlarian,
berenang, bermain, hingga bertengkar. Bertengkar aku dan Ray memang tidak
pernah serius. Kami hanya saling tidak berbicara untuk beberapa senja, tetapi
ia tetap menemaniku duduk atau tidur di pasir. Selepas aktivitas seharian, aku
dan Ray punya tradisi untuk saling bercerita aktivitas selama seharian itu.
Kalau hari ini Ray yang memulai, berarti besok giliran aku yang pertama
bercerita. Aku tau Ray begitu menyukai es krim seperti aku menyukai cokelat. Aku
tau Ray begitu tergila-gila akan photography sama seperti aku tergila-gila akan
novel. Aku tau Ray rela tidur larut demi mengedit hasil-hasil fotonya hari itu
dibandingkan menyelesaikan tugas sekolahnya. Aku tau Ray selalu ke tepi pantai tengah
malam bila sedang ingin menyendiri dari keributan didalam rumahnya. Aku tau Ray
sangat fanatik dengan warna Abu-abu dan sandal jepit. Aku tau sekali dalam
seminggu Ray berantem dengan geng populer di sekolahnya karena pasti saat senja
kami bertemu, dia punya beberapa luka yang kelihatan masih segar. Aku tau Ray
selalu terlihat tidak tenang bila punya masalah tetapi malu menceritakannya. Aku
tau Ray... Ah banyak sekali yang aku tau tentang Ray. Tetapi walau begitu, aku tidak pernah tau
rumah Ray, begitupun Ray yang tidak tau rumahku. Begitu pula dengan sekolah dan
nomor handphone kami. Entah ini sengaja atau tidak, kami hanya berusaha saling
mengenal dan dekat tanpa benar-benar tau identitas masing-masing kami. Begitu
terus hingga 9 tahun, ketika usia kami menginjak 16 tahun.
Ray tidak pernah
absen datang ke tepi pantai, kalaupun ia tidak datang, pasti beberapa hari
sebelumnya ia mengatakan kepadaku. Tetapi, hari itu berbeda. Aku, seperti
biasa, duduk dibawah pohon di tepi pantai sambil membaca novel. Jam ditangan
kiriku telah menunjukkan pukul 5 sore tetapi Ray belum menunjukkan batang
hidungnya. Biasanya, kalau Ray terlambat pasti hanya 30 menit, tetapi hari itu
ia terlambat satu jam. Aku berdiri dan mengulet,
mulai tidak tenang. Aku berjalan-jalan di tepi pantai dan ini ketiga
kalinya aku melihat jam dan menunjukkan pukul 5.40. Aku akan menunggunya hingga
pukul 6 dan kalau ia tidak datang, aku akan pulang. Begitu lah pikiranku sore
itu dan benar saja, Ray tidak datang. Begitu pula lima senja kemudian.
Hingga
pada senja keenam, aku memutuskan untuk tidak ke tepi pantai, aku ingin pergi
ke mall, mencari udara segar. Tentu saja segar maksudku adalah bebas dari
bayangan Ray. Aku pergi ke toko buku di salah salah satu mall. Dan saat aku
sedang mengantre, aku melihat laki-laki mirip sekali seperti Ray. Tinggi, sawo
matang, kacamata bingkai putih, bekas luka di pelipis kiri, senyum jahilnya,
tetapi bedanya laki-laki itu memakai sneakers bukan sandal jepit. Aku
meninggalkan antrean dan berjalan sedikit lebih cepat kearah laki-laki itu
untuk memastikan bahwa itu benar-benar Ray seperti perkiraanku atau bukan. Aku
tinggal beberapa langkah lagi dari laki-laki itu dan akhirnya..
“Ray?”
Panggilku.
“Airin?”
Tengok Ray kearahku dengan nada yang lebih tinggi dan sambil menengok ke kiri
dan kanan, pertanda kalau ia sedang panik.
“Sedang apa
kamu, Ray? Kemana saja kamu? Kenapa ka...” Belum selesai aku bertanya, ia
langsung menarikku dan berjalan cepat ke salah satu cafe dan mengambil tempat
duduk disudut ruangan yang jauh dari keramaian.
“Ada apa,
Ray?” Tanyaku cemas.
“Maaf, Airin.
Kamu tidak akan mengerti.” Jawabnya sambil menundukkan kepala.
“Tidak
mengerti apa? Aku bingung. Kemana saja kamu, Ray?”
“Kita tidak
bisa bertemu lagi, Airin. Aku tidak bisa bertemu lagi denganmu.”
“Kenapa, Ray?
Aku salah ya? Maaf, Ray.” Ujarku pelan. Aku benar-benar tidak mengerti maksud
Ray.
“Pertemanan
kita tidak lagi benar-benar murni pertemanan, Airin. Toh kehidupan berjalan dan kita
juga harus berjalan, tidak bisa berdiam diri dan tetap berada di goa nyaman
kita, bukan?” Ucap Ray yang diikuti tatapan matanya yang menusuk tetapi ada
kilat kesedihan disana.
“Apa maksudmu
tidak benar-benar murni pertemanan? Aku merasa kita berteman baik-baik saja
selama ini.” Sanggahku dengan nada yang agak menuntut.
“Coba tanya
pada dirimu sendiri, Airin.” Ray tidak benar-benar menjawab pertanyaanku.
“Aku harus
pergi sekarang Airin. Terima kasih atas pertemanan dan kenangannya.” Ray
berdiri dari tempat duduknya. Dan sebelum ia sempat melangkah, aku menahan
tanggannya dan bertanya,
“Kemana saja
kamu dari kemarin? Tolong, Ray.”
“Aku mencari
hal baru, Airin. Mencari aktivitas baru dan keluar dari goa nyamanku bersamamu
disetiap senja.” Tangan Ray memberontak halus dari cengkramanku, tetapi aku
belum mau melepaskannya.
“Apakah kita
bisa bertemu lagi suatu saat, Ray?” Tanyaku lemah sambil menatap matanya
sebelum ia benar-benar pergi. Dan Ray hanya mengangguk dan tersenyum tulus.
Lalu aku membiarkannya pergi. Menatap punggungnya berjalan membelakangiku
adalah hal paling
sulit untuk aku lihat. Aku menutup mata dan menangis.
Sejak sore
itu, aku tidak pernah lagi pergi ke tepi pantai. Aku mencari kegiatan lain,
kegiatan yang diluar dugaanku akan aku ikuti, seperti klub debat dan klub
sains. Aku berusaha keluar dari goa nyamanku seperti Ray lakukan, sambil tetap
berdoa, suatu saat agar aku dan Ray dipertemukan kembali di satu senja yang
indah.
***
Aku
menghembuskan napas. “Maaf, ya, ceritanya jadi panjang seperti ini.” Ujarku
kemudian kepada perempuan disampingku ini.
“Aku
tersentuh. Maaf telah membuatmu mengingat masa-masa kelam itu.” Ucap perempuan
itu seraya tersenyum dan memberikan sebotol air mineral untukku.
Kereta api
yang kami naiki sudah sampai di stasium tujuan. Aku dan perempuan itu
membereskan barang dan bersiap untuk turun.
“Kita memang
tidak pernah bisa melupakan masa lalu, Vin. Tetapi, kita bisa membuat masa lalu
itu menjadi sebuah pelajaran dengan membiarkannya berjalan bersama waktu. Membiarkannya
ikut kita meraih masa depan kita. Karena masa lalu adalah bagin hidup kita,
Vin. Jangan direnungi, tetapi dibiarkan. Sampai jumpa, Vin.” Kata perempuan itu
diujung koridor stasiun sebelum kami berbelok kearah yang berlawanan.
***
23.58 - 1 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar