Sabtu, 03 Januari 2015

Cinta tak Bersatu


Bait terakhir lirik lagu Sepatu dari Tulus itu masih berdengung didalam kepala Arla. Baru selangkah Arla meninggalkan cafe itu, ia teringat akan pesan singkat yang masuk tepat ketika ia akan mematikan laptop dan bait terakhir itu berdendang. Pesan singkat yang membuat kepalanya terasa berputar dan hampir menjatuhkan handphone dari tangannya.

Valen: Bisa kita bertemu, La?

Hingga Arla berbaring di kasur, pesan itu belum terbalaskan. Bukan, Arla bukan tidak ingin membalas pesan itu, tetapi untuk apa? Untuk apa ia membalas pesan yang hanya membuatnya berharap? Untuk apa membalas pesan yang hanya akan membuatnya kecewa? Dan untuk apa Arla membalas pesan yang nantinya juga tidak akan terbalas kembali? Hal-hal seperti itu lah yang selalu membayangi benak Arla sejak Valen memilih 
meninggalkannya setelah memberikan banyak harapan kepadanya.

Kamu tau ketakutanku saat ini, Val? Aku takut kecewa untuk kedua kalinya.

<<< 

*lima tahun sebelumnya*

Pagi itu burung-burung berkicau seperti mengetuk jendela. Secercah cahaya masuk melalui cela-cela gorden. Arla bangun karena silau cahaya menyentuh lembut matanya, dan begitu melihat jam di meja tidurnya, matanya melotot dan buru-buru mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi.

Dret dret dret

Dret dret dret

Tangan kiri Arla mengobrak-abrik tempat tidur tetapi mata dan tangan kanannya fokus pada makanan di piringnya. Ia bisa pingsan kalau tidak sarapan, seburu-buru dan segenting apa keadaan pagi itu, ia harus tetap sarapan.

2 New Messages

Agnes: Lo enggak kesiangankan, La? Gue udah sama Dio nih.

Dio: Eh, kampret, lo dimana? Kita bisa telat nih presentasinya.

Iya, pagi ini Arla ada presentasi mata kuliah jam pertama, untung saja semua file sudah ia siapkan tadi malam. Arla membereskan sarapannya, kemudian merapikan barang bawaannya dan bergegas turun ke lantai bawah untuk pamitan dengan kedua adiknya yang pasti sedang sarapan.

“Kakak berangkat dulu ya, Alan, Alya. Bilang Pak Kodir, bawa mobilnya hati-hati.” Arla menciumi rambut kedua adiknya.

“Mama sama Papa enggak pulang lagi ya, Kak?” Tanya Alya, adik terkecilnya, dengan polos.

“Enggak sepertinya. Nanti Kakak telpon deh, ya. Bye, guys.” Jawab Arla sambil lalu. Ia selalu malas kalau salah satu adiknya sudah menanyakan mengenai orang tua  mereka pulang atau tidak, karena Arla tau kalau mereka hanya ingin mengonfirmasi pertanyaan yang jawabannya mereka sudah tau sendiri.

“Hai, guys! Sorry telat.” Sapa Arla begitu ia sampai di depan kelas.

“Gila lo, La. Lima menit lagi giliran kita dan lo baru sampai? Bagus! Untung lo pinter.” Saut 
Dio dengan wajah ditekuk dan mulut berkerucut.

Agnes dan Dio adalah teman dekat Arla sejak SMP. Mereka adalah satu-satunya teman yang bisa bertahan sangat lama dengan Arla. Arla bukan tipe yang gampang bergaul dan mendapat teman. Ia memang pintar, jago basket dan menulis, punya rambut cokelat tua alami yang membuat perempuan-perempuan lainnya menatap iri, tetapi itu semua tidak menjamin ia mendapatkan banyak teman. Dan akibat susah bergaul ini pula yang menyebabkan Arla belum pernah berpacaran dan selalu gagal di langkah terakhir dengan para calon pacarnya. Walau banyak yang mendekatinya dan berusaha menjadi pacarnya –walau akhirnya gagal, hanya ada satu nama sejak SMA yang bertengger paling atas di hatinya. Namanya Valen Adriantino.

“Eh kemana kita pulang ini? Temenin nyalon yuk? ” Tanya Agnes dengan wajah suntuk karena kena semprot seharian dari para dosen.

“Lo ngajak gue nih, Nes? Yakali lo ngajak cowok se-charming gue nyalon?” Dio meledek Agnes sambil menjambak rambutnya yang sudah tidak karuan.

“Gue enggak bisa, Nes, sorry. Udah ada janji sama Valen mau ke kwitang.” Timpal Arla sambil mengaduk-aduk tasnya, mencari benda sakral yang tadi ia masukkan asal kedalam tas saat di toilet, kacamata.

“Apa?! Lo masih berhubungan sama monyet yang satu itu?” Teriak Agnes seketika hingga membuat Dio dan Arla refleks menutup telinga, dan orang-orang disekitar menengok kearahnya.

“Eh, sorry, gila lo, La, ngapain lo masih jalan sama dia?” Kata Agnes dengan suara yang lebih kecil.

“Iya, La, bukannya kemarin lo udah liat sendiri ya kalau dia jalan sama cewek lain, mesra lagi.” Timpal Dio sambil menggiring dua perempuan itu duduk di salah satu meja kantin.

“Ya terus kenapa? Gue pacarnya aja bukan, punya alasan apa gue buat marah dan ngejauhin dia? Gue sama dia kan cuma temenan.” Tutur Arla dengan lebih pelan, takut ada yang nguping.

“Ah basi lo, La, temenan macam apa kalau salah satunya nyimpen perasaan.” Sindir Dio sambil melirik tajam kearah Arla.

“Udah lah. Gue duluan ya, udah ditungguin.” Arla sambil berdiri dan pergi meninggalkan meja mereka.

Sepanjang jalan dari kantin ke tempat parkiran, Arla memikirkan perkataan Dio. Apakah 
dirinya benar-benar memiliki perasaan kepada Valen?

Memangnya salah ya kalau berteman tetapi menyimpan rasa? Batinnya.

“Hai, La! Kok bengong sih jalannya?”  Arla melonjak dan hampir kesandung kebelakang kalau tidak cepat-cepat Valen memegang tangannya. Arla tersenyum kikuk karena jarak kedua wajah mereka terlalu dekat.

Sore itu Valen menggunankan kaos polo putih dengan celana jeans dan sepatu Nike kesayangannya. Serasi sekali dengan Arla yang menggunakan baju you-can-see putih dan rok marun dibawah lutut dengan sepatu cats hitam kesayangannya. Memang agak salah kostum sih kalau tujuannya ingin ke kwitang.

“Kita beneran ke kwitang nih, Val?” Arla membuka pembicaraan ketika mereka sudah didalam mobil.

“Dengan pakaian lo yang kayak gini? Ya enggak lah, cantik. Sayang-sayang kali penampilan lo kayak gini malah gue bawa ke kwitang.” Saut Valen dengan wajah yang sesekali menengok kearah Arla.

“Haha bisa aja lo,” Arla tersipu, “Terus kita mau kemana?”.

“Makan aja yuk. Sekalian gue mau cari sepatu di Kuningan City”

***

“La, sebenernya lo sama Valen tuh kayak gimana sih?” Agnes bertanya tiba-tiba disela-sela ngopi sore mereka, dengan Dio juga tentunya.

“Kayak gimana apa? Ya kita temenan.” Suara Arla yang terdengar tenang, walau sebenarnya jantungnya berdetak kencang dan hatinya bertanya-tanya mengenai ia dan Valen. Bukan status, tapi perasaan. Ia bertanya-tanya seperti apa perasaan sebenarnya ke Valen, begitu pula sebaliknya.

“Ya lo berdua, temenan pakai sayang-sayangan, peluk-pelukan, good night-good nightan, ke puncak berdua, ke bali berdua, lebih sering makan malam berdua dari pada sama temen-temen, ngegym berdua, temenan macam apa!” Ledek Dio dengan melempar bantal kecil kearah Arla dan membuatnya terkekeh.

“Tolong diralat ya, Dio.  yang pakai sayang-sayangan itu hanya Valen. Gue enggak ikutan ngomong.” Jawab Arla geli mendengar perkataan-perkataan kedua temannya. Jauh didalam pikirannya, Arla secara sengaja memutar semua memorinya dengan Valen tepat dibagian Valen memanggilnya dengan sapaan Sayang. Semua terasa indah tanpa celah sedikit pun.

“La, lo tuh cantik, pinter, rambut pirang, suara tenang, yaa walau kadang keteledoran dan kengaretan lo yang gak banget itu merusak semuanya, tapi that’s all right, La. Masih banyak ikan di laut yang bersedia lo tangkep.” Lanjut Agnes dengan suara serius dan diikutin lemparan bantal kecil dari Dio dengan muka mesemnya.

“Tapi, enggak ada ikan yang kayak Valen, Nes.”

“Lo berdua, sekali lagi pakai kata ikan, gue minggat.” Dan pecah lah suara tawa dari Arla dan Agnes.

“Jadi, ceritain dong gimana kemarin lo jalan sama dia, awkward gak?” Pertanyaan dari Agnes langsung membuat Arla menerawang kekejadian kemarin sore, disaat semuanya terasa masih indah diawal bertemu dan tiba-tiba menjadi pahit saat pulang.

Sore itu, setelah selesai Arla dan Valen berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mencari sepatu yang pas untuk Valen, mereka memutuskan untuk duduk di salah satu cafe favorit mereka.

“Lo kopi yang biasakan, La?”

“Iya, Val, tolong ya, makasih.” Jawab Arla dengan senyum yang tak kalah indahnya dari semburat senja sore itu.

“Apa rencana lo selesai kuliah, La?” Tanya Valen sambil menatap mata Arla.

“Cari kerja dulu.” Arla membalas tatapan mata Valen, dalam. Seandainya Valen tau, bahwa Arla sangat menyukai hal kecil seperti ini, saling tatap disetp obrolan santai mereka.

“Kenapa enggak cari beasiswa keluar kayak kakak lo?”

“Kasihan nanti adik-adik gue gak ada temannya di rumah.” Lanjut Arla, tapi kali ini dengan memalingkan wajahnya kearah kaca luar cafe yang menyajikan pemandangan kota jakarta dari ketinggian di sore hari.

“Ah, ya, um sorry, La.”

“It’s okay. Lo sendiri?”

“Gue mau lanjut ke Jepang, La. Nyokap nyuruh gue buat sekolah dan kerja disana, dan pulang setelah mapan buat menikah dan menlanjutkan bisnis bokap.” Valen menghela napasnya yang terdengar berat. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan.

“Kenapa, Val? Bilang aja.” Arla bisa membaca helaan napas Valen. Dan tanp disadari, tangan Arla dingin dan ia mulai merasakan kakinya bergerak-gerak tidak tenang.

“Nyokap minta gue buat..” Valen menarik napas panjang, “Cari calon istri yang seagama, La.”

“Dan dia menyarankan, sebaiknya kita enggak usah berhubungan lagi. Nyokap melihat hubungan kita tidak sekedar berteman biasa.” Suara Valen mulai melemah tetapi matanya masih menunjukkan kilat teduh menenangkan saat menatap Arla.

“Apa yang salah dari pertemanan kita, Val?” Suara Arla juga mulai melemah. Ia mulai merasakan ada yang mengganjal di pelupuk matanya, begitu pula di hatinya.

“Gue sayang lo, La, melebih teman. Gue ingin kita lebih dari teman.” Kalimat itu membuat Arla terkesiap dan satu tetes air mata jatuh diujung matanya. Ia tidak tau harus senang atau sedih.

“Kenapa... Begini, Val?” Valen mengerutkan kening mendengar pertanyaan Arla. Arla sendiripun tidak yakin apa maksud pertanyaannya.

“Nyokap melarang kita, La. Kita beda keyakinan. Dan gue enggak mungkin melanggar perintah nyokap gue, La.”

“Gue juga sayang lo, Val. Tapi, kenapa harus begini?” Suara Arla makin melirih dan kepalanya menunduk untuk menutupi air matanya yang mulai tumpah.

“Iya, gue tau. La, sorry..” Valen menarik tangan Arla dalam genggamannya. Tapi, baru sekali ini, Arla menolak untuk digenggam, ia menarik tanggannya dan menyembunyikannya kebawah meja.

“Dan cewek yang namanya Clara, yang tempo hari lo liat jalan sama gue, itu cewek yang nyokap pilihin agar gue mulai mencoba melihat cewek lain selain lo, La.” Valen selalu tidak tega melihat Arla menunduk sedih seperti itu, ingin rasanya menarik Arla dalam pelukannya. Tapi ia tau, itu akan membuat dirinya dan Arla semakin hancur.

“Gue duluan ya, La. Terima kasih buat semua kenangannya.” Valen berdiri dan menaruh sebuah kotak biru manis diatas meja. Dari ekor matanya, Arla bisa melihat Valen berlalu membelakanginya. Ia selalu benci melihat punggung cowok itu berjalan membelakanginya. Meninggalkan hatinya bersama hati Arla yang sama-sama hancur.

>>> 

*lima tahun kemudian*

“Nes, Di, gue balas apa enggak nih?” Akhirnya Arla tidak tahan untuk bertanya kepada kedua sahabatnya saat mereka sedang ngopi sore di sala satu cafe favorit mereka.

“Balas lah, Bro. Kali aja ada yang penting. Ngucapin bye-bye karena doi mau merit.” Jawab 
Dio asal dan tetap fokus pada laptop didepannya.

“Jangan lah, emang lo mau nerima ucapan bye-bye karena doi mau merit? Gue jadi lo sih, ogah.” Timpal Agnes ikut-ikutn menanggapi jawaban Dio.

“Gue serius...” Arla menghela napas dan menyerah dengan memandang pesan dari Valen untuk kesekian kalinya.

“Balas, La.” Kata Dio dan Agnes, barengan. Mereka saling lirik dan tertawa.

Mungkin enggak ada salahnya kalau dibalas. Batin Arla.

Arla: Bisa. Kapan?

Dan tidak harus menunggu lama sampai akhirnya ada balasan.

Valen: Malam ini di Kuningan City, cafe biasa ya, La.

Dan disini lah Arla dan Valen malam ini, cafe favorit mereka untuk menghabiskan waktu bersantai, dulu.

“Apa kabar, La?” Tanya Valen dengan senyum yang masih sama walau dengan sorot mata yang lebih tajam. Valen tidak banyak berubah, hanya wajahnya yang terlihat lebih terawat, dada lebih bidang, dan sepatu Nike kesayangannya sudah digantikan dengan sepatu yang baru.

“Ya seperti yang kamu lihat, Val.” Jawab Arla dengan mengendikkan bahu untuk terlihat lebih relaks. Arla pun tidak banyak berubah, masih dengan rok sebawah lututnya tetapi sepatu catsnya sudah berganti dengan heels yang tidak terlalu tinggi.

“Apa kabar Agnes dan Dio?” Valen selalu tau bagaimana cara untuk membuat Arla bercerita panjang. Dan sampai makanan mereka habis, mereka masih terlibat obrolan seru, seperti yang mereka lakukan lima tahun lalu.

“La, gue mau..” Valen ragu melanjutkan perkataannya.

Udah setengah jalan, lanjutin aja Val. Katanya didalam hati

“Gue mau ngasih ini, undangan pernikahan gue, dua minggu lagi.” Valen menaruh kertas apik berwarna silver dengan paduan abu-abu, warna kesukaan Valen.
Arla didepannya hanya terdiam, tidak bereaksi sama sekali.

Harusnya gue tau. Harusnya gue gak merasa kayak gini lagi. Toh udah hampir lima tahun, tapi kenapa semuanya terasa belum berubah. Harusnya gue gak boleh sedih dan.. Oh no, 
kenapa air mata gue udah diujung sih.

“La? Lo enggak apa-apa, kan?” Tanya Valen membuyarkan lamunan Arla.

“Iya, Val. Makasih ya.” Arla memaksakan senyum. Bukan, bukan tersenyum, tetapi nyengir untuk menyembunyikan air matanya yang ingin jatuh.


“Yaudah kalau gitu, gue duluan ya, Val. Udah malam juga. Insyaallah gue dateng kok.” Arla beranjak dari tempat duduknya dan berbalik badan memunggungi Valen sebelum ia berkata apa-apa lagi, dan berjalan menjauh sejauh yang ia bisa. Berjalan menjauhi Valen dan berharap hatinya tetap tertinggal di cafe itu, agar ia tidak perlu repot-repot menatanya sepulang dari ini. Arla berjalan cepat kearah parkiran sambil berdoa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketakutannya datang lagi. Ia dikecewakan lagi. Memang tidak seharusnya ia menemui Valen malam ini. Memang tidak seharusnya dulu ia menunggu Valen yang jelas-jelas sudah meninggalkannya. Meninggalkan hatinya di cafe itu, dan ini saatnya Arla untuk melepaskan hatinya secara paksa di cafe yang sama. Pasti akan sulit untuknya membuka hati yang baru. Bukan karena belum bisa melepaskan hati yang lama, tetapi karena takut hatinya akan dikecewakan lagi. Mungkin benar, cinta memang banyak bentuknya, tetapi tak semua bisa bersatu.

11.13. - 2 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar