Kamis, 22 Januari 2015

Sepahit Kopi Hitam

Pahit kopi hitam sore itu menamparku akan realita hidup.

Hembusan angin sore menusuk tajam permukaan kulit seolah-olah ingin menyadarkanku dari alam bawah sadarku.

Kutengguk kembali kopi didalam gelas itu.

Rasa pahit dan panas membasahi tenggorokanku. Membuat jantungku berdetak lebih cepat. Adrenalinku terpacu, tetapi  malah membuatku  merasa lebih tenang.

Aku tidak tahu bagaimana cara roda hidup berputar. Aku pun tidak mengerti bagaimana alam selalu tahu isi kepala kami—para yang hidup. Dan aku tidak bisa tidak peduli akan kemisteriusan semesta bekerja dan memengaruhi hari-hari setiap yang bernapas.

Aku merasa tidak adil. Tidak adil akan keadilan yang entah nyata atau maya di dunia ini.

Bagaimana bisa kesejahteraan dan kesengsaraan tidak mempunyai porsi yang sama pada dunia, yang usut punya usut, ada keadilan didalamnya.

Bagaimana bisa kecurangan dan kelicikan lebih mengusai dan memenangkan pertarungan hidup dibandingkan dengan kelurusan dan kejujuran yang seharunya menjadi moral utama.

Bagaimana bisa kecantikan dan ketampanan menjadi lebih berat timbangannya dari pada kesopanan dan kesantunan.

Tidakkah seharusnya keadilan membuat segala timbangan menjadi seimbang?

Hidup memang pahit.

Sepahit kopi hitam soreku.

Walaupun aku tahu, sepahit apapun kopi hitam, kita masih tetap menikmatinya.

Dan aku mencoba belajar untuk menikmati hidup dari secangkir kopi hitam.

Walau tetap, ketidakadilan yang merajalela.


17.50 - 22 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar