Selasa, 05 Januari 2016

Creamer di Kopi Hitam

Gluk gluk gluk

Teguk terakhir untuk cangkir kopi ketiga malam ini. Aku tau, Arya tidak suka dan ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuanku malam ini.

“Lo mau sampai berapa gelas, Mey? Gak sekalian rokok gue aja nih lo coba?” Celetuk Arya, sinis.

“Boleh, kalau lo ngizinin.”

“Kampret, enggak lah. Kenapa sih, lo? “

Aku tau, Arya sebenarnya khawatir dengan tingkahku malam ini. Jujur aja, aku pun enggak tau kenapa aku seperti ini. Yang jelas, aku hanya sedang berusaha mengikhlaskan sesuatu...

“Bukan gini caranya kalau lo mau ngelupain semuanya. Toh, sampai kapanpun lo enggak akan pernah bisa ngelupain.” Sulut Arya sambil mematik rokok keduanya.

“Lagian, anak sd mana yang diajarin caranya melupakan? Dari jaman nenek moyang, yang diajarin itu menghafal dan mengingat, bukan melupakan.”

Hmmm

Aku pengin banget lempar gelas kopi ini ke mukanya Arya, sayang dia masih sahabatku. Diseberang meja, aku tau kalau Arya menaikan bibir kanannya. Seperti itu lah reaksinya, kalau dia tau bahwa sebenarnya, dia menang. Aku hanya diam saja, enggan menatap atau pun membalas Arya.

“Siapa bilang gue mau ngelupain?” Aku tau, Arya enggak akan percaya. Tapi, memang iya kok, aku hanya ingin mengikhlaskan, bukan melupakan. Bukannya mengikhlaskan bagian dari move on?

“Lo kalau mau move on yang niat dikit gitu. Cari cowok atau apa lah. Bukannya bengang-bengong gini-gini doang.”

“Lo tuh ya, galiat apa dari tadi gue ngapain? Baca novel. Lo kali tuh yang bengang-bengong kagak ada kerjaan. Dari tadi ngomentarin gue mulu.” Iya, aku selalu gampang tersulut api yang dibikin oleh Arya. Dan dalam hitungan detik dia akan tertawa. Tiga.. Dua.. Satu..

“Hahahaha gitu dong, Mey.” Tangan kanannya mencubit pipi kiriku.

Kalian tau? Kadang yang kita butuhkan hanya seorang sahabat yang bisa membuat kita acak-adul jungkir balik untuk membuat kita move on. Arya lebih dari sekedar sahabat, Arya itu seperti.. Hm saudara kembar? Ya, apa pun namanya lah, yang mendeskripsikan kami. Arya tau luar dalam tentangku, begitupun sebaliknya. Arya yang paling tau gimana cara ‘menemani’ yang benar. Arya tau...

“Huussh, bengong lagikan. Sekarang mikirin apa? Siapa? Gue?” Lambaian tangannya menyadarkanku dari lamumanku tentang... dia? Jadi, baru aja aku mikirin Arya? Oh My G.. Kalau dia tau, dia pasti akan jungkir-balik, senang setengah mati.

“Hahahaha tuh kan bener, pasti lo mikirin gue, yakan, Mey?”

“Upil. Enggak sudi gue mikirin lo. Hahaha.” Bola-bola tisu jatuh tepat diwajahnya.

“Udah ngaku aja. Gue ikhlas kok kalau dijadiin lo pelampiasan buat move on.” Senyum jahil mulai muncul di wajahnya. Iya, kadang, aku memang menikmati senyum itu. Menenangkan. Entah bagaimana caranya.

“Oh! Atau gue bantu move on mau gak? Gue bikin lo jatuh hati ke gue. Gimana?”

“Bisa gak sih, sekali aja, lo enggak usah ganggu gue dengan humor receh lo itu?”

“Enggak bisa, sayang.” Tangan kanannya, lagi-lagi, mencubit pipi kiriku.

“Hehhh lo tuh ya....” Aku hanya mengerlingkan mata. Bukan Arya namanya kalau belum melihat lawannya tunduk kepadanya.

Dulu sekali, Arya pernah bilang, kalau sahabat tidak akan bisa dan tidak akan pernah menjadi cinta. Jadi, hal-hal semacam tadi hanya aku anggap bercanda. Dan Arya memang menganggap begitu, kan?

“Coba deh, Mey. Sekarang, lo merem. Lo rasain sekitar lo, termasuk keberadaan gue. Gimana rasanya?”

“Hmm.. Tenang.”

“Trus lo pikirin hal atau orang yang bikin lo enggak bisa move on itu.”

“Hmm.. Oke, lalu?”

“Apa rasanya? Gausah buru-buru. Rasain dulu.”

“Rasanya.. Tenang. Lega. Ikh... Las?” Aku membuka mata seketika. Dan melihat Arya tersenyum simpul ditempatnya.

“Yang lo butuhin hanya tenang dan lingkungan sekitar yang mendukung lo untuk move on. Termasuk gue.”

Aku speechless. Arya begitu terlihat tenang ditempatnya, tidak menunjukkan gelagat-gelagat aneh. Dan unfortunately, jantungku berdegup lebih cepat. Oh My G...

“Mey, lo selalu tau, kan? Kalau gue selalu ada di sini. Kapan pun lo butuh. Sebagai apa pun, gue siap.”

“Lo kesambet apaan, Ar...” Aku, jujur, bingung. Arya memang pernah seserius ini, tapi itu dulu, waktu aku mau pacaran sama yang terakhir ini. Setelah itu, dia enggak pernah bahas atau menyinggung masalah semacam ini dan seserius ini. Bukan Arya banget.

“Jam berapa sih sekarang?” tanyaku sambil melihat jam tangan.

“Oh, sebelas. Pantes otak lo udah mulai geser.” Sambungku tanpa memberi celah.

“Ayo, Ar, kita pulang. Ngantuk gue. Besok masih harus ngedit artikel.” Aku benar-benar mengantuk. Dan, ya, sedikit canggung.

Aku membereskan novel dan barang-barangku yang tercecer di meja. Arya menghabiskan teh jahenya. Kami sudah berdiri, bersiap-siap jalan meninggalkan meja. Dan...

“Mey, lo tau, kan? Kalau gue akan selalu jadi creamer disetiap kopi hitam yang lo minum.”

Dan aku diam, termangu.




***

21.03 – 4 Januari 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar