Sabtu, 15 Desember 2018
Berlari dan Pergi
"Ini sudah pukul 7 malam. Kenapa baru datang?"
"Macet."
"Itu bukan alasan. Aku kenal kamu."
Kamu duduk di tepi bangku. Jauh dariku. Kemudian, hanya bisu dan terpaku.
"Kenapa selalu berlari?"
Tidak ada jawaban dari mulutmu. Aku sedikit mendekat dengan ragu.
"Butuh waktu berapa lama lagi?"
"Aku.."
Aku menunggu jawabmu. Tapi, hanya itu. Kamu kembali membatu.
"Aku tidak punya banyak waktu. Aku butuh penjelasanmu."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi."
"Kenapa? Kamu takut merasakan rasa salah? Atau rasa sesal?"
Kamu termangu. Matamu terlihat pilu.
"Maaf, aku tidak bermaksud sekasar itu. Aku hanya..."
"Aku mengerti. Kamu memang benar. Aku takut. Tapi, bukan dengan kedua rasa itu, melainkan dengan kamu."
"Kenapa aku?"
"Aku takut ini terlalu menyakiti. Aku takut duniamu berhenti."
"Sebelum kamu berkata seperti ini, itu sudah terjadi."
"Iya, aku tau. Aku pun kenal kamu. Tapi, aku tidak bisa. Kamu tidak akan mengerti. Ini terlalu rumit."
"Kamu meragukanku? Atau meragukan hubungan ini?"
"Hubungan ini."
"Kalau begitu, selesaikan saja. Jangan berlari. Kamu tau itu semakin menyakiti."
"Maaf, aku hanya butuh jeda. Mungkin saja, ragu ini dapat mereda."
"Ternyata tidak, bukan?"
"Maaf.. Tapi, sungguh, bukan ini yang aku mau."
"Kamu..."
Suaraku parau.
"Jangan menangis di sini. Sebentar lagi, keretaku datang."
"Kamu hati-hati."
"Kamu juga. Jaga diri. Jaga hati. Bukan untukku, tapi untuk masa depanmu."
"Kamu juga. Jika ada kesempatan lain, beri aku kabar."
"Untuk apa? Jangan berharap. Aku takut."
"Tidak, tidak. Hanya untuk bertukar cerita. Bertukar kehidupan setelah aku tidak lagi di sisi."
Keretamu datang sangat cepat. Secepat kamu berlari hingga benar-benar pergi.
"Aku pergi. Maaf untuk segalanya. Aku masih sayang kamu."
Kamu pergi.
Tidak menoleh kepadaku lagi.
Kamu pergi.
Meninggalkan hati yang sepi.
Kamu pergi.
Menghancurkan mimpi-mimpi.
Kamu pergi.
Hati
ini
terbengkalai.
***
Jakarta, 15 Desember 2018
Sabtu, 27 Oktober 2018
Bergerak dan Bertahan
"Ram, kenapa ya, aku pasti tremor kalau mau motret?" kataku dengan lalu, dan masih berusaha mengambil satu saja foto dirimu yang layak untuk dipamerkan.
"Mana aku tau. Kan, yang tremor kamu, bukan aku." jawabmu dengan nada khas nakal yang sedikit menyebalkan.
"Ram, liat, deh!" ucapku sambil menarik tangan kirimu. Kamu memutar badan dan pandangan matamu mengikuti arah tanganmu yang aku tarik untuk menunjuk satu titik.
Kamu berdalih. Pura-pura tidak terkesima. Aku tau, kamu pun setuju dengan pemandangan yang indah itu. Pemandangan indah tidak selamanya alam hijau atau matahari tenggelam diujung senja, bukan?
Kami berhenti di jembatan yang menghubungkan antara satu halte TransJakarta dengan halte lainnya. Kami menikmati semilir angin malam yang cukup bersahabat. Lalu lintas dibawah kami cukup padat, tapi tidak bising. Mungkin, orang-orang sedang malas memainkan klaksonnya seperti biasa.
"Kenapa orang-orang mau, ya, macet-macetan?" tanyamu dengan mata lurus memandang ke jalan.
"Karena keharusan. Mau tidak mau mereka harus tetap bergerak." jawabku dengan pandangan yang sama.
"Kamu pun begitu?"
"Iya, aku yakin, semua orang pun begitu."
Kami terdiam. Angin memainkan anak rambutmu. Kamu terlihat sibuk dengan pikiranmu. Pun terlihat tenang.
"Kamu lagi mikir apa?" tanyaku yang masih memandangmu. Aku selalu suka membiarkan mataku terhanyut kedalam dirimu.
"Enggak papa. Aku cuma heran, apa bedanya bergerak dengan bertahan?" tanyamu dengan alis berkerut.
Aku tersenyum. "Bagiku, semua orang butuh untuk bergerak agar tetap bisa menghidupi hidup. Tapi tidak dengan bertahan. Bertahan itu sulit. Apalagi, bertahan untuk tetap hidup pada satu titik kehidupan." jawabku sembari kembali memperhatikan mobil-mobil yang sibuk mencari celah untuk mendahului.
"Kenapa sulit?"
"Tidak selamanya satu titik dalam hidup itu kita inginkan. Itu yang membuat sulit."
"Jika bertahan untuk hidup dititik yang kita inginkan itu mudah, kenapa harus merasa sulit ketika ada dititik yang tidak diinginkan?"
"Karena pada dasarnya, ego sangat mendominasi. Diinginkan dan tidak diinginkan hanya perkara nafsu atau ego kita semata, bukan?"
Kamu tersenyum dengan tatapan yang semakin melembut. "Jadi maksudmu, bahwa sebenarnya, tidak semua titik yang tidak kita inginkan itu terasa sulit. Justru sebenarnya mudah dan mungkin itu adalah titik yang kita butuhkan. Begitu?" ucapmu dengan tetap menatap mataku semakin dalam.
Aku semakin terhanyut. Aku merasa, saat ini, hanya satu yang aku butuhkan. Oksigen. Aku takut tidak bisa bernapas saat tenggelam didalam matamu. Dan dirimu.
"Betul! Kamu cenayang, ya?" jawabku dengan sedikit gugup. Aku hanya ingin bernapas lega dan merasakan angin lagi, Ini terlalu sesak. Iya, untuk hatiku.
Kamu tertawa. Sedetik kemudian, kamu menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan kembali.
"Aku tau, Ram. Aku hanya perlu merasakan dan menemukan apa yang sesungguhnya aku butuhkan."
"Hanya itu?"
"Iya, hanya itu. Karena dalam prosesnya nanti, aku pasti akan tau apa yang sebenarnya aku inginkan, yang lebih dapat membuatku bergerak untuk terus menghidupi hidup."
"Dan jangan lupa poin bertahannya, Rys."
"Tentu! Bergerak dan bertahan. Terima kasih, Ram!" ucapku dengan menghadap ke arahmu dan tersenyum jenaka.
Kamu tertawa.
Dan menguatkan genggaman kita.
***
Jakarta, 27 Oktober 2018
Kamis, 27 September 2018
Senja yang Merindu
Senja hari ini
Tak seperti senja kemarin
Senja hari ini redup
Tak menampakan semburat warna lain
Sepertinya senja tau
Akan hati yang merisau
Pun senja mengerti
Atas harapan yang hanya terpatri
Dan masih menunggu untuk terealisasi
Semoga senja tidak sadar
Bahwa rindu ini semakin mengakar
Agar senja tidak turut merayakan
Perihal rindu yang tak kunjung diluapkan
Rabu, 19 September 2018
(Bukan) Teman Hidup
Jumat, 24 Agustus 2018
Di Stasiun Sore Itu
Aku sudah pernah cerita, belum? Kalau aku menyukai stasiun. Aku menyukai hiruk pikuk dari ruang tunggu, loket tiket, dan cafetaria. Tapi, kamu selalu tersenyum miring. Katamu, "Mereka hanya melakukan kegiatan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang spesial." Tidak, kamu tidak mengerti. Stasiun menjadi tempat singgah dari satu tujuan ke tujuan berikutnya.
Minggu, 05 Agustus 2018
Kal, Ve, dan Sepi
Kamis, 14 Juni 2018
Kal, Ve, dan Rindu
"Ve, kamu tau enggak? Rindu itu terbuat dari apa?"
"Dari... Lima huruf. Hehehe."
"Kalau itu terdiri, Ve, bukan terbuat."
"Apa, dong? Aku enggak tau."
"Kamu pernah rindu, Ve?"
"Kayaknya, enggak."
"Kok, bisa, sih?"
"Aku enggak tau. Aku cuma tau, kalau aku pengin ketemu seseorang, ya, aku harus berusaha temui dia."
"Kalau ternyata kamu enggak bisa temui dia?"
"Aku enggak pengin lagi dan enggak akan aku pikirin."
"Segampang itu, ya, Ve?"
"Iya. Kenapa harus susah kalau bisa dibuat gampang?"
"Kalau ada orang yang rindu sama kamu, tapi kamu enggak pengin ketemu dia, gimana, Ve?"
"Kalau orang itu niat dan beneran, you-called-it, rindu, ya, harus usaha bikin aku pengin ketemu dia."
*hening*
"Kal?"
"Hmmm."
"Kamu lagi rindu, ya?"
"Mungkin. Tapi, yang pasti, aku lagi sama kamu, Ve."
"Iya, aku tau. Garing, Kal."
"Hehehehe."
*hening*
"Ve, aku cuma takut, suatu hari nanti, kalau aku sedang rindu-rindunya, dia tidak ingin ditemui."
"Percaya, deh, Kal. Kalau rindu itu baik dan tulus, semesta akan mendukung."
"Kira-kira, aku baik buat dia, enggak?"
"Mana aku tau, Kal. Aku aja enggak kenal."
"Kamu kenal banget, kok, Ve."
"Oh, ya? Siapa?"
"Kapan-kapan aku kasih tau, kalau kamu udah tau rindu terbuat dari apa."
***
Jakarta, 14 Juni 2018 - 00:45
Sabtu, 09 Juni 2018
Membuka Lembar
Senin, 05 Februari 2018
Kita dan Jarak
Rabu, 31 Januari 2018
Another Day
Aldo mengatakan itu dengan menatapku langsung ke manik mata. Aku diam, tidak berkutik.