Gluk
gluk gluk
Teguk terakhir untuk cangkir kopi ketiga malam ini. Aku
tau, Arya tidak suka dan ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuanku malam ini.
“Lo mau sampai berapa gelas, Mey? Gak sekalian rokok gue
aja nih lo coba?” Celetuk Arya, sinis.
“Boleh, kalau lo ngizinin.”
“Kampret, enggak lah. Kenapa sih, lo? “
Aku tau, Arya sebenarnya khawatir dengan tingkahku malam
ini. Jujur aja, aku pun enggak tau kenapa aku seperti ini. Yang jelas, aku
hanya sedang berusaha mengikhlaskan sesuatu...
“Bukan gini caranya kalau lo mau ngelupain semuanya. Toh,
sampai kapanpun lo enggak akan pernah bisa ngelupain.” Sulut Arya sambil
mematik rokok keduanya.
“Lagian, anak sd mana yang diajarin caranya melupakan?
Dari jaman nenek moyang, yang diajarin itu menghafal dan mengingat, bukan
melupakan.”
Hmmm
Aku pengin banget lempar gelas kopi ini ke mukanya Arya,
sayang dia masih sahabatku. Diseberang meja, aku tau kalau Arya menaikan bibir
kanannya. Seperti itu lah reaksinya, kalau dia tau bahwa sebenarnya, dia menang.
Aku hanya diam saja, enggan menatap atau pun membalas Arya.
“Siapa bilang gue mau ngelupain?” Aku tau, Arya enggak
akan percaya. Tapi, memang iya kok, aku hanya ingin mengikhlaskan, bukan
melupakan. Bukannya mengikhlaskan bagian dari move on?
“Lo kalau mau move on yang niat dikit gitu. Cari cowok
atau apa lah. Bukannya bengang-bengong gini-gini doang.”
“Lo tuh ya, galiat apa dari tadi gue ngapain? Baca novel.
Lo kali tuh yang bengang-bengong kagak ada kerjaan. Dari tadi ngomentarin gue
mulu.” Iya, aku selalu gampang tersulut api yang dibikin oleh Arya. Dan dalam
hitungan detik dia akan tertawa. Tiga.. Dua.. Satu..
“Hahahaha gitu dong, Mey.” Tangan kanannya mencubit pipi
kiriku.
Kalian tau? Kadang yang kita butuhkan hanya seorang
sahabat yang bisa membuat kita acak-adul jungkir balik untuk membuat kita move
on. Arya lebih dari sekedar sahabat, Arya itu seperti.. Hm saudara kembar? Ya,
apa pun namanya lah, yang mendeskripsikan kami. Arya tau luar dalam tentangku,
begitupun sebaliknya. Arya yang paling tau gimana cara ‘menemani’ yang benar. Arya
tau...
“Huussh, bengong lagikan. Sekarang mikirin apa? Siapa? Gue?”
Lambaian tangannya menyadarkanku dari lamumanku tentang... dia? Jadi, baru aja
aku mikirin Arya? Oh My G.. Kalau dia tau, dia pasti akan jungkir-balik, senang
setengah mati.
“Hahahaha tuh kan bener, pasti lo mikirin gue, yakan,
Mey?”
“Upil. Enggak sudi gue mikirin lo. Hahaha.” Bola-bola
tisu jatuh tepat diwajahnya.
“Udah ngaku aja. Gue ikhlas kok kalau dijadiin lo
pelampiasan buat move on.” Senyum jahil mulai muncul di wajahnya. Iya, kadang,
aku memang menikmati senyum itu. Menenangkan. Entah bagaimana caranya.
“Oh! Atau gue bantu move on mau gak? Gue bikin lo jatuh
hati ke gue. Gimana?”
“Bisa gak sih, sekali aja, lo enggak usah ganggu gue
dengan humor receh lo itu?”
“Enggak bisa, sayang.” Tangan kanannya, lagi-lagi,
mencubit pipi kiriku.
“Hehhh lo tuh ya....” Aku hanya mengerlingkan mata. Bukan
Arya namanya kalau belum melihat lawannya tunduk kepadanya.
Dulu sekali, Arya pernah bilang, kalau sahabat tidak akan
bisa dan tidak akan pernah menjadi cinta. Jadi, hal-hal semacam tadi hanya aku
anggap bercanda. Dan Arya memang menganggap begitu, kan?
“Coba deh, Mey. Sekarang, lo merem. Lo rasain sekitar lo,
termasuk keberadaan gue. Gimana rasanya?”
“Hmm.. Tenang.”
“Trus lo pikirin hal atau orang yang bikin lo enggak bisa
move on itu.”
“Hmm.. Oke, lalu?”
“Apa rasanya? Gausah buru-buru. Rasain dulu.”
“Rasanya.. Tenang. Lega. Ikh... Las?” Aku membuka mata
seketika. Dan melihat Arya tersenyum simpul ditempatnya.
“Yang lo butuhin hanya tenang dan lingkungan sekitar yang
mendukung lo untuk move on. Termasuk gue.”
Aku speechless.
Arya begitu terlihat tenang ditempatnya, tidak menunjukkan gelagat-gelagat
aneh. Dan unfortunately, jantungku
berdegup lebih cepat. Oh My G...
“Mey, lo selalu tau, kan? Kalau gue selalu ada di sini.
Kapan pun lo butuh. Sebagai apa pun, gue siap.”
“Lo kesambet apaan, Ar...” Aku, jujur, bingung. Arya
memang pernah seserius ini, tapi itu dulu, waktu aku mau pacaran sama yang
terakhir ini. Setelah itu, dia enggak pernah bahas atau menyinggung masalah
semacam ini dan seserius ini. Bukan Arya banget.
“Jam berapa sih sekarang?” tanyaku sambil melihat jam
tangan.
“Oh, sebelas. Pantes otak lo udah mulai geser.” Sambungku
tanpa memberi celah.
“Ayo, Ar, kita pulang. Ngantuk gue. Besok masih harus
ngedit artikel.” Aku benar-benar mengantuk. Dan, ya, sedikit canggung.
Aku membereskan novel dan barang-barangku yang tercecer
di meja. Arya menghabiskan teh jahenya. Kami sudah berdiri, bersiap-siap jalan
meninggalkan meja. Dan...
“Mey, lo tau, kan? Kalau gue akan selalu jadi creamer
disetiap kopi hitam yang lo minum.”
Dan aku diam, termangu.
***
21.03 – 4 Januari 2016